tirto.id - Dalam dunia pertarungan bebas, tak ada yang tak kenal Ronda Rousey. Jika ada raja dan ratu di UFC, rajanya saat ini adalah Conor McGregor, dan Ronda adalah ratunya. Di UFC, tak ada petarung perempuan lain yang bisa menyamai popularitasnya. Ronda begitu dominan. Sejak pertama kali terjun ke dunia tarung bebas profesional pada 2011, Rousey memenangkan 12 pertandingan berturut-turut.
Dia berhasil membuat dunia pertarungan perempuan sejajar dengan lelaki. Sama dahsyatnya, sama meriahnya. Sesuatu yang bahkan tak bisa dilakukan oleh Laila Ali di tinju.
Ronda tak segan mengeluarkan kata pedas pada musuh, sesuatu yang baru dalam dunia pertarungan bebas perempuan. Itu sesuatu yang jamak dilakukan para atlet pria UFC sebelum bertarung. Tapi di kalangan petarung perempuan? Ronda yang dianggap mengawalinya.
Dia tak segan menantang orang lain. Suatu ketika dia dengan terang-terangan bilang ingin menghajar Floyd Mayweather Jr. Petinju dengan rekor mentereng itu dikenal punya catatan kelam perihal kekerasan terhadap perempuan.
"Biar dia sekali-kali tahu rasanya dihajar oleh perempuan," kata Ronda.
Di atas ring, Ronda amat buas dan luwes. Pengalamannya sebagai atlet judo membuatnya ahli dalam mencengkeram lawan, menjatuhkannya, kemudian mengunci hingga lawan menyerah. Nyaris semua pertarungan yang dilaluinya berakhir dengan singkat, beberapa bahkan hanya bertahan belasan detik. Membuat petarung berjuluk Rowdy ini begitu digemari.
Begitu pula soal bayaran. Ronda tercatat sebagai salah satu atlet tarung bebas termahal, bersisian dengan Conor McGregor. Di pertarungan kelimanya melawan Miesha Tate untuk merebut gelar juara kelas Bantam, Ronda dibayar 1 juta dolar. Tak jauh beda dengan yang didapat McGregor saat merebut gelar juara kelas bulu dari Jose Aldo, yakni 1,4 juta dolar.
Wajahnya yang rupawan, ditambah badannya yang atletis, membuat Ronda dilirik beragam perusahaan sebagai bintang iklan. Dia menjadi bintang untuk iklan perusahaan asuransi Insureon, Reebok, dan restoran fast food Carl's Jr. Pada 2014, kariernya makin moncer dan lebar. Dia bermain di film The Expandables bersama Sylvester Stallone, Jason Statham, Antonio Banderas, dan Jet Li. Setahun kemudian, Ronda membintangi film waralaba terkenal, Furious 7 bersama Vin Diesel. Juga Entourage yang diangkat dari film serial terkenal.
Ronda juga menjadi model. Termasuk berpose telanjang dalam majalah ESPN pada 2012, dan nyaris telanjang di majalah Sports Illustrated. Ronda juga dimasukkan dalam daftar Maxim Hot 100, sebuah daftar perempuan terseksi versi Maxim. Pendek kata, hingga 14 November 2015, dia adalah petarung perempuan kesayangan semua orang. Dari Presiden UFC, Dana White, hingga sesama petarung seperti Chuck Liddel.
Hingga tibalah ia pada 15 November 2015: bertarung dengan Holly Holm.
Titik Balik Hidup Ronda
Holly Holm bukan petarung kemarin sore. Dia lebih dulu menekuni tinju. Di bidang ini, dia juga bukan ayam sayur. Holly pernah menjadi juara kelas Welter Ringan versi WBF. Total, Holm sudah bertinju sebanyak 38 kali, dengan catatan 33 kali menang, 2 kali kalah, dan 3 kali imbang. Holly yang juga menekuni kickboxing ini kemudian menekuni bela diri lain, seperti karate, gulat, dan Brazilian Jiu-Jitsu. Di ajang tarung bebas, dia mencatatkan kemenangan 9 kali beruntun sebelum menantang Ronda.
Sebelum tanding, Ronda sudah melancarkan perang urat syaraf terlebih dahulu. "Aku pikir dia akan lebih menikmati hidup kalau dia kalah. Karena kehidupan seorang juara rasanya tidak cocok untuk semua orang," kata Ronda.
Pertarungan Ronda melawan Holly diadakan di ajang UFC 193. Acara ini dihelat di Etihad Stadium, Melbourne, Australia. Sekitar 56 ribu orang datang menonton langsung. Membuat pertarungan ini menjadi ajang UFC paling banyak ditonton. Yang lebih diunggulkan tentu adalah Ronda. Dia tak terkalahkan dalam 12 pertandingan. Usianya, saat itu baru 28 tahun. Sedangkan The Preacher's Daughter, julukan Holly, sudah berusia 34 tahun.
Setelah bel dibunyikan, Ronda merangsek dengan cepat. Mereka bertukar pukulan sejenak. Holly tampak lebih unggul dalam hal kelincahan kaki. Pengalamannya sebagai petinju jelas tak bisa disembunyikan. Dia lincah, bergerak memutar dan menghindar dengan efektif. Sedangkan Ronda tampak lebih agresif ketimbang biasanya. Di sudut ring, pelatih Ronda, Edmond Tarverdyan, berteriak memberi instruksi. Menjelang menit dua, Ronda kena bogem oleh kepalan kidal Holly. Edmond sedikit panik.
"Tetap bertarung seperti itu dan rileks. Bernafas, oke! Dengarkan aku, yang ingin dia lakukan adalah merenggutmu dengan tangan kirinya dan menghajarmu dengan pukulan hook-nya. Mengelaklah. Bergeraklah dengan lebih cepat. Lebih disiplin. Oke, Champ?" kata Edmond pada jeda antara ronde pertama dan kedua.
Ronde kedua dimulai. Rasanya seperti pengulangan dari babak pertama. Ronda frustrasi mengejar Holly. Bahkan ada satu momen yang membuat penonton bersorak kegirangan: Ronda meloncat dan mengirimkan tendangan lutut. Dengan indah, Holly mengelak, lalu melesat kabur ke arah 180 derajat. Membuat Ronda bengong macam kena copet.
Setelah itu, terjadilah momen yang membuat penonton terperanjat. Berawal dari mengelaknya Holly dari usaha kuncian ke arah kepala, dia bergerak ke arah kanan dan langsung melepas hook kanan ke arah wajah Ronda. Yang dihantam kaget, berusaha membalas dengan pukulan tapi luput. Dia malah kehilangan keseimbangan dan jatuh berlutut. Saat berusaha bangun dengan tergopoh, Ronda tak sadar kalau Holly ada di belakangnya. Ketika menengok ke belakang, dia melihat kaki Holly berkelebat dengan cepat ke arah rahang.
Brakkk!
Tendangan kaki kanan Holly mendarat telak di rahang kiri Ronda. Yang kena sepak tentu saja langsung terpelanting. Tak ada manusia mana pun yang kuat berdiri kalau rahangnya kena cocor seperti itu. Tak membuang waktu, Holly langsung merangsek ke bawah dan menghadiahi muka Ronda dengan godam tangan kiri. Satu. Dua. Saat akan melepaskan godam ketiga, wasit memisah. Ronda tak sadar.
Holly jadi juara baru UFC kelas bantam.
Kekalahan dan Kecenderungan Bunuh Diri
Setelah kalah oleh Holly, Ronda jadi sosok yang berubah. Dia menutup diri. Nyaris tak pernah muncul di media. Ketika akhirnya bersuara soal kekalahannya dalam acara Ellen DeGeneres, dia membuat pengakuan yang mengejutkan. Dalam talk show pertama setelah kekalahannya itu, dia bilang kalau ingin bunuh diri setelah kalah dan kehilangan status tak terkalahkan.
"Waktu itu aku ada di ruang medis dan aku terdiam di pojokan," kata Ronda yang tampak emosional. "Aku kemudian berpikir untuk bunuh diri saat itu juga. Aku berpikir kalau aku sudah bukan siapa-siapa. Tanpa gelar juara, tak ada orang yang peduli padaku lagi."
Ronda bilang bahwa dalam keluarganya, kecenderungan bunuh diri memang agak tinggi. Kakek dan ayahnya sama-sama bunuh diri. Saat sang ayah bunuh diri, Ronda baru berusia 8 tahun.
Ada riset yang menunjukkan bahwa pengidap depresi bisa menurunkan kecenderungannya pada keturunannya. Itu mengapa, di antaranya, Ronda mencemaskan dirinya sendiri.
Lima dari keluarga Hemingway bunuh diri, termasuk Hemingway yang bernama Ernest, pengarang The Old Man and The Sea itu. Penyair Sylvia Plath bunuh diri pada 1963, begitu juga anaknya: Nicholas Hughes. Penyair John Berryman bunuh diri pada 1972 dengan terjun bebas dari Jembatan Minneapolis, menyusul ayahnya yang bunuh diri saat Berryman masih kecil. Penulis lakon Spalding Gray bunuh diri pada 2004, mengikuti jejak ibunya beberapa tahun sebelumnya.
"Bunuh diri ayahku itu amat mempengaruhi keluarga kami. Dan kalau ada yang bisa kulakukan untuk mengurangi dampaknya, aku akan melakukannya," kata Ronda.
Ronda dibayang-bayangi depresi. Juga ketakutan akan sejarah bunuh diri yang mengalir dalam darahnya. Dia juga bilang bahwa berbicara tentang bunuh diri bukanlah sesuatu yang harusnya ditabukan. Malah, menurut Ronda, membicarakannya akan amat membantu dan bisa menyelamatkan nyawa orang yang sedang depresi.
Inilah satu dari dua "akar" dalam hidup Ronda: sejarah bunuh diri keluarganya. Dan ia tak ingin rambatan "akar" itu menyelinap dalam riwayat hidupnya.
Ronda sampai bekerja membantu Didi Hirsch Mental Health Services, sebuah klinik gratis di Los Angeles yang bergerak di bidang kesehatan mental. Selain untuk memulihkan mental, ia jelas ingin memusnahkan dorongan bunuh diri, "akar" yang mengerikan itu.
Ronda kemudian kembali rutin berlatih bersama Edmond Tarverdyan. Targetnya adalah kembali mengalahkan Holly. Sang juara itu ditantang oleh mantan juara sebelum Ronda, Miesha Tate. Miesha ternyata bisa mengalahkan Holly. Jadi target Ronda adalah kembali mengalahkan Miesha. Tapi ternyata Miesha kemudian dikalahkan oleh penantangnya, Amanda Nunes pada Juli 2016. Maka target dialihkan ke Nunes.
Sebenarnya ini adalah langkah berisiko. Umumnya, petarung yang baru kalah akan menantang petarung lain yang secara peringkat atau kemampuan lebih rendah. Apalagi Ronda sudah setahun tidak naik ring. Kekhawatiran ini sempat diungkapkan mantan juara UFC, Chuck Liddel.
"Kalau aku jadi pelatihnya, aku akan membawanya ke pertandingan ringan dulu. Ini untuk membantu mentalnya," kata Liddel dalam sebuah wawancara bersama situs berita News. "Aku tak merasa mental Ronda sudah pulih sepenuhnya."
Dalam pertarungan melawan Nunes, Ronda dibayar 3 juta dolar. Menjadikannya salah satu petarung bebas termahal, bersisian dengan juara UFC kelas Welter dan Ringan. Sedangkan Amanda Nunes, sang juara, hanya dibayar 100 ribu dolar, plus bonus 100 ribu dolar jika menang. Perbedaan yang amat jauh. Ya, sebesar itulah pesona Ronda.
Dalam pertarungan ini, para pandit tarung bebas sedikit terbelah. Sebagian menganggap Ronda terlalu prematur karena langsung menantang sang juara. Sebagian lain menganggap Ronda sudah punya persiapan yang matang untuk menjatuhkan Amanda.
Jangan Sekali-kali Melupakan Akar!
Kekhawatiran Chuck langsung terbukti. Ronda memang tampak tak siap. Dia banyak keraguan. Langkahnya nanggung. Gaya bertarungnya juga tampak amat berubah.
Dulu andalan Ronda adalah gaya khas Judo: renggut, menjatuhkan lawan, lalu menguncinya. Karena itu, dalam 12 kemenangan, 9 kalinya dipersembahkan lewat kuncian. Hanya sekali saja Ronda menang karena pukulan, satu lagi melalui tendangan lutut ke arah badan. Gaya merenggut dan menjatuhkan ini juga punya keunggulan seperti diperlihatkan Ronda ketika melawan Miesha: memukul dari atas lawan yang terjerembab.
Melawan petarung tipe striker seperti Amanda, seperti juga saat melawan petarung sejenis semisal Liz Carmouche atau Sarah Kaufman, biasanya Ronda melakukan gaya bertarung andalannya. Dan itu terbukti efektif. Tapi kali ini, Ronda seperti petarung yang memaksakan diri bermain karate atau kickboxing, padahal itu bukan kekuatan yang melambungkan namanya.
Berkali-kali dia coba melempar pukulan lurus atau tendangan. Tentu saja gagal dengan mengenaskan. Apalagi pertahanan Ronda tak rapat. Kelemahan ini tampak kentara sejak dia dihajar Holly. Dua tiga kali di detik-detik awal pertarungan, jab dan pukulan lurus Amanda berhasil mengenai wajah Ronda. Membuatnya sempoyongan. Apalagi secara kekuatan pukulan, Amanda jauh lebih unggul.
"Ronda dalam masalah besar!" teriak komentator.
Kemudian terjadilah petaka bagi Ronda. Amanda dengan mudah melepas empat pukulan telak ke muka Ronda yang sama sekali tak terlindungi. Pukulan terakhir membuat Ronda terhuyung ke belakang. Amanda mengejar, lalu berhasil mendesak Ronda ke pinggir ring. Buk! Buk! Buk! Tujuh pukulan mantap menggasak wajah Ronda. Sebelum pukulan kedelapan dilepas, wasit sudah keburu menghentikan pertarungan ini.
Pertandingan berlangsung hanya dalam 48 detik saja. Tragis. Menyedihkan. Semua karena Ronda melupakan "akar"-nya yang kedua: judo.
Jika memutuskan diri dengan "akar" yang pertama adalah hal yang bagus bagi Ronda, melupakan "akar" yang kedua terbukti fatal.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Zen RS