Menuju konten utama

Akademisi UGM Sebut Ucapan Hotman Paris soal Omnibus Tidak Tepat

Pernyataan pengacara Hotman Paris soal UU Cipta Kerja pertama kalinya memuat pasal pidana bagi para pengusaha dinilai tak tepat.

Akademisi UGM Sebut Ucapan Hotman Paris soal Omnibus Tidak Tepat
Pengacara PT PLTU Celukan Bawang, Hotman Paris Hutapea di PTUN Denpasar, Kamis (21/6/2018). ANTARA FOTO/Wira Suryantala.

tirto.id - Dosen hukum ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Nabiyla Risfa Izzati, merespons pernyataan pengacara Hotman Paris yang menyebut bahwa UU Cipta Kerja pertama kalinya memuat pasal pidana bagi para pengusaha.

Lewat dalam akun Instagram-nya, Hotman menyebut baru kali ada undang-undang yang memuat pasal bagi para pengusaha yang melanggar hak pekerja, pada Sabtu (17/10/2020) lalu. Hal tersebut didasari atas dirinya yang sudah puluhan tahun menjadi pengacara isu ketenagakerjaan.

Namun, menurut Nabiyla ucapan Hotman tidak tepat. Karena, kata dia, di dalam UU Ketenagakerjaan pun sejak awal sudah ada ketentuan pidana bagi para pengusaha.

"Misal, soal pengusaha yang membayar upah di bawah UMR. Ini sudah ada ketentuan pidananya dari sejak di UU Ketenagakerjaan. Ancaman pidananya juga tidak berubah dari UU Ketenagakerjaan ke UU Ciptaker," kata Nabiyla lewat akun Twitternya, kemarin (18/10/2020), setelah dikonfirmasi oleh wartawan Tirto pada Senin (19/10/2020) pagi.

Kata Nabiyla, yang membedakan antara kedua UU itu adalah di UU Cipta Kerja, pelanggaran pasal 156 ayat (1) tentang pesangon disebut secara eksplisit dalam ketentuan pidana. Ia bilang hal tersebut merupakan kemajuan dibanding dengan UU Ketenagakerjaan.

Namun, kata dia, bicara sanksi pidana di hukum ketenagakerjaan itu tidak sederhana.

"Selama ini ketentuan pidana UU Ketenagakerjaan jarang sekali digunakan, karena yang dikejar utamanya adalah pemenuhan hak pekerja, bukan pemidanaan pengusaha. Jadi perspektifnya lebih dekat ke perdata daripada pidana," katanya.