tirto.id - Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Abdul Manan menilai jurnalis Harian TopSkor, Zulfikar Akbar, yang menerima tekanan di media sosial usai menulis cuitan soal Ustaz Abdul Somad dan berujung ke pemecatannya, adalah korban persekusi model baru. Menurut dia, Zulfikar menjadi korban persekusi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok intoleran, yang hendak memaksakan kepentingannya, di media sosial (medsos).
Manan berpendapat perlu ada penelusuran terkait persekusi yang menimpa Zulfikar di medsos. Pencarian perlu dilakukan untuk menentukan siapa sebenarnya dalang di balik terjadinya persekusi itu.
"Yang pasti itu seperti menjadi alat baru bagi orang-orang yang kami sebut kelompok intoleran, untuk memaksakan kepentingannya," kata Manan usai memaparkan Catatan Akhir Tahun 2017 AJI Indonesia di kawasan Cikini, Jakarta, Rabu (27/12/2017).
Zulfikar menerima tekanan dari banyak warganet di medsos lantaran menyoroti pengusiran yang dialami Ustaz Abdul Somad saat hendak masuk ke Hong Kong. Ia mengungkapkan pernyataan kritisnya di akun twitter pribadinya @zoelfick pada 24 Desember 2017 pukul 7.46.
Cuitan Zulfikar di twitter itu berbunyi, "Ada pemuka agama rusuh ditolak di Hong Kong, alih-alih berkaca justru menyalahkan negara orang. Jika Anda bertamu dan pemilik rumah menolak, itu hak yang punya rumah. Tidak perlu teriak di mana-mana bahwa Anda ditolak. Sepanjang Anda diyakini mmg baik, penolakan itu takkan terjadi."
Tekanan terhadap Zulfikar di medsos diikuti kemunculan tagar #BoikotTopSkor karena ia diketahui bekerja di media tersebut. Reaksi warganet itu mendapat tanggapan dari pihak manajemen TopSkor. Pemimpin Redaksi TopSkor Yusuf Kurniawan dalam cuitannya di akun @Yusufk09, 26 Desember 2017 pukul 9.55, berkata perbuatan Zulfikar tak ada hubungannya dengan media tempatnya bekerja. Ia juga berkata, pihak redaksi TopSkor langsung memanggil Zulfikar untuk mempertanggungjawabkan cuitannya di media sosial.
Selang beberapa jam dari cuitan tersebut, Yusuf mengumumkan TopSkor telah memutus hubungan kerja dengan Zulfikar melalui akun Twitter pribadi dan milik TopSkor. Pemecatan via twitter terjadi pada Selasa kemarin (26/12/2017).
Apa yang menimpa Zulfikar dianggap bukan hal baru oleh Abdul Manan. Alasannya, persekusi akibat media sosial juga telah banyak terjadi, terutama dalam kurun akhir 2016 hingga pertengahan 2017.
"Akhir 2016 sampai pertengahan 2017 kan ada 59 kasus itu warga sipil yang dipersekusi karena dia mempersoalkan gerakan 212 lah, cuma saat itu korbannya warga sipil, sekarang wartawan. Saya kira ada pergeseran sasaran dan ini membuat kita harus lebih aware, sensitif, terhadap isu seperti ini," kata dia.
Manan khawatir kejadian yang menimpa jurnalis seperti Zulfikar akan semakin banyak terjadi beberapa tahun mendatang. Apalagi, ada akan ada peningkatan suhu politik saat Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019.
"Menurut saya ini warning (peringatan) buat kita, organisasi seperti AJI, dan wartawan untuk lebih aware (waspada) terhadap bahaya dari kelompok intoleran. Ini mungkin akan jadi salah satu yang banyak mewarnai di tahun-tahun mendatang," kata Manan.
Guna mencegah terulangnya peristiwa yang dialami Zulfikar itu, menurut Manan, AJI Indonesia meminta perusahaan media mulai membuat panduan bermedsos untuk wartawannya. Manan mencatat langkah seperti itu sudah dilakukan oleh banyak perusahaan media di luar negeri.
"The Guardian misalnya, memberikan panduan kalau (jurnalisnya) ngetwit jangan hanya meretweet berita tanpa memberikan komentar, karena dengan meretweet, kita dianggap punya posisi sama. Atau menghindari ngetwit isu-isu kontroversial karena bisa menimbulkan pertanyaan soal independensi dia (jurnalis)," kata Manan.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Addi M Idhom