tirto.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengecam langkah Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi Brigadir Jenderal Polisi Aris Budiman yang mengadukan Tempo,Kompas TV, dan portal berita Inilah.com ke Kepolisian Daerah Metro Jaya dengan tuduhan pencemaran nama baik.
“Tindakan Aris ini berpotensi mengancam kebebasan pers dan menghambat terpenuhinya hak masyarakat untuk memperoleh berita yang akurat. Jurnalis dan media yang mencari bahan berita hingga menerbitkan berita dilindungi oleh Undang-Undang Pers,” kata Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim, Rabu (6/9/2017) dalam siaran pers.
Aris Budiman merasa dicemarkan nama baiknya dengan berita dan opini di Majalah Tempo edisi 28 Agustus-3 September 2017 berjudul ‘Penyusup Dalam Selimut KPK.’
Pengaduan disampaikan oleh Aris pada Selasa, 5 September 2017. Dalam pengaduannya, Aris merujuk isi berita yang dimuat Tempo bahwa KPK memeriksa direktur penyidikan karena dugaan pelanggaran kode etik akibat membocorkan materi pemeriksaan sampai menghalangi penetapan tersangka Setya Novanto dalam kasus e-KTP.
Adapun Kompas TV diadukan terkait dengan wawancara eksklusif dalam program Aiman Kompas TV dengan narasumber Donald Faris, Koordinator Indonesia Corruption Watch, terkait pernyataan kasus E-KTP.
Sedangkan Inilah.com diadukan karena memberitakan Aris diduga meminta uang Rp 2 miliar untuk mengamankan kasus e-KTP.
Pengaduan Aris ke polisi, menurut AJI Jakarta, bertentangan dengan UU Pers. Sebab, salah satu fungsi pers adalah media informasi dan kontrol sosial terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, termasuk mengawasi Komisi Pemberantasan Korupsi dan pejabat KPK. Pers juga berperan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
Dalam melaksanakan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum. “Jurnalis yang menjalankan tugasnya tidak bisa dipidanakan karena mereka bekerja untuk kepentingan umum,” ujarnya. Jurnalis bekerja dengan panduan Kode Etik Jurnalistik.
Pasal 4 UU Pers juga menyatakan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. ”Kalau jurnalis dan karya jurnalistik media-media tersebut dikriminalkan dan diproses hukum oleh polisi, itu sama saja merampas hak asasi warga negara. Jurnalis adalah kepanjangan tangan warga negara untuk mendapat hak asasinya berupa kemerdekaan pers,” kata dia. Pers bekerja untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
Menurut Nurhasim, Aris mestinya menempuh mekanisme seperti yang diatur dalam UU Pers untuk menyelesaikan masalah pemberitaan melalui hak jawab dan hak koreksi. “Bila merasa dirugikan oleh pemberitaan, silakan protes ke media yang mempublikasikan berita tersebut,” katanya.
Bila mekanisme tersebut tidak menyelesaikan masalah, Aris bisa mengadukan ke Dewan Pers untuk dimediasi. “Prosesnya begitu di negara demokrasi Indonesia. Jadi, bertahap dan berjenjang,” ujarnya. Adapun media wajib melayani hak jawab dan hak koreksi.
Karena itu, Koordinator Divisi Advokasi AJI Jakarta Erick Tanjung mendesak Polda Metro Jaya menyerahkan pengaduan Aris tersebut ke Dewan Pers agar diselesaikan menurut UU Pers Pers. “Dewan Pers yang berwenang menilai sebuah karya jurnalistik ini melanggar kode etik jurnalistik atau tidak,” kata dia.
Apalagi ada Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Kepolisian yang diperbarui pada Februari 2017 bahwa bila ada laporan kasus sengketa pemberitaan, Kepolisian akan mengarahkan pengadu untuk menempuh hak jawab, hak koreksi, dan pengaduan ke Dewan Pers. AJI mendesak polisi melaksanakan Nota Kesepahaman tersebut.
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH