tirto.id - Timbunan material tanah longsor di Banaran, Pulung, Ponorogo, Jawa Timur berpotensi menimbulkan bencana susulan yakni banjir bandang di sekitar lokasi.
“Biasanya kalau sudah terjadi banyak longsor, selang beberapa saat kemudian disusul banjir bandang dan skala kematian bisa berlipat. Kami ingin menghindari kejadian banjir bandang ini. Ini tidak harus menjadi kebiasaan, karena hal ini bisa dicegah,” ujar Rektor UGM Dwikorita Karnawati, dalam siaran pers, Selasa (11/4/2017).
Dwikorita mewanti-wanti kepada warga untuk mewaspadai banjir bandang bandang yang mungkin timbul mengingat hal itu pernah terjadi di Indonesia. Ia mengidentifikasi beberapa gejala awal terjadinya banjir bandang, seperti bertambahnya ketinggian air sunga serta perubahan kondisi air menjadi lebih keruh dengan membawa muatan pasir dan kerikil.
“Menurut penuturan korban bencana sebelumnya, diceritakan bahwa saat berada di mulut sungai tiba-tiba mereka melihat tiba-tiba air menjadi keruh, tidak lama kemudian muncul luapan yang dahsyat. Tanda-tanda ini harus diwaspadai bersama. Semoga peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi di Indonesia,” jelas Dwikorita.
Berdasarkan hasil penelitian tim mitigasi bencana yang ia pimpin, Dwikorita menjelaskan bahwa karakteristik lereng di lokasi bencana dengan bentuk lurusan yang memotong memang menunjukkan gejala rawan bencana longsor dan hanya tinggal menunggu adanya proses pemicu.
Air hujan, kata Dwikorita, bisa menjadi sebagai salah satu pemicu yang mengakibatkan terjadinya longsor di wilayah tersebut. Meski demikian, ia menekankan bahwa peristiwa longsor belum tentu terjadi langsung setelah turunnya hujan, karena diperlukan proses bagi air hujan untuk meresap ke dalam tanah.
Lantaran itu, ia mengingatkan agar warga yang tinggal di daerah rawan dapat mengurangi risiko terkena longsor dengan tidak langsung kembali ke daerah rawan longsor setelah terjadinya hujan.
“Siapa pun jangan sampai berada pada lokasi yang habis longsor, kecuali orang ahli yang memang sudah dilengkapi perlengkapan untuk menyelamatkan diri. Yang harus dilakukan adalah meningkatkan kewaspadaan. Saatnya mengalah dulu dengan alam, untuk sementara waktu meninggalkan tempat-tempat yang rawan,” papar Dwikorita.
Hal serupa juga disampaikan oleh salah satu anggota tim mitigasi bencana UGM, Bagus Bestari Kamarullah. Ia menyebutkan bahwa ketidaktahuan akan risiko yang dihadapi pasca peristiwa longsor sering kali memicu jatuhnya korban yang lebih besar.
“Bencana susulan sering kali berisiko untuk menelan korban lebih daripada bencana yang pertama. Karena pada saat bencana yang pertama masyarakat itu ingin menolong atau mencari keluarganya berkumpul di situ tanpa mengetahui barang kali ada risiko yang cukup besar,” ujar dia.
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH