tirto.id - "Ini hanyalah permainan," ujar Etgar Keret mencoba menenangkan Ali, salah seorang dalam kerumunan penonton yang mendesak pagar stadion.
“Bagimu, mungkin,” jawab Ali, “karena kau seorang Yahudi. Tapi bagi kami, sepak bola adalah satu-satunya tempat kami setara di negara busuk ini. Jika Sakhnin terlempar dari divisi pertama, maka mereka juga akan mengambilnya [kesetaraan] dari kami.”
Percakapan itu terjadi ketika penulis kenamaan Israel Etgar Keret menonton laga penentuan nasib bagi Bnei Sakhnin FC. Kekalahan bagi Sakhnin berarti terdegradasi ke Liga Leumit, divisi kedua di liga Israel. Kecemasan dan kemarahan seolah tercampur aduk dan menguar di tribun penonton lantaran tim yang dihadapi Sakhnin tiada lain adalah Beitar Jerusalem.
Percakapan antara Keret dan Ali bisa menjadi sedikit gambaran bagaimana satu golongan dengan golongan lainnya memandang sepak bola di Israel. Di negara tepian Laut Mediterania ini, sepak bola selalu politis. Ia seolah menjadi sumber gesekan yang berakar dari perselisihan politik di Palestina yang dulu dikuasai Inggris lalu merdeka sebagai Israel. Pun kristalisasi dari segala konflik sosial sejak ratusan tahun silam.
Di persepakbolaan Israel, Bnei Sakhnin adalah representasi warga Palestina atau orang-orang Arab. Sementara itu, Beitar Jerusalem dikenal luas dengan tradisi mengharamkan perekrutan pemain Arab.
Karenanya, pertemuan Sakhnin dan Beitar selalu berkonotasi rivalitas religius atau etnis dan menjadi enkapsulasi konflik Palestina-Israel. Dan laga ini hanyalah salah satu dari sekian banyak rivalitas dalam liga sepak bola di Tanah yang Dijanjikan.
Punya Segala Jenis Derby
Tak semua orang datang ke stadion dengan persepktif sesantai Etgar Keret, tentunya. Banyak orang justru membawa bara ke stadion. Skala persaingan di liga Israel mungkin tak sebesar derby Superclásico antara River Plate dan Boca Juniors di liga Argentina, tapi motifnya tentu tak kalah serius.
Hulu dari semua itu adalah persaingan kelas sosial atau isu sektarian di luar lapangan. Rivalitas lama berlarut-larut dan dipelihara antara komunitas Yahudi dan Arab, Yahudi yang satu dan Yahudi lainnya, ideologi kanan-kiri, hingga kaum religius-sekuler serupa bara yang memanaskan lapangan.
Liga Israel punya big four-nya sendiri, yaitu Maccabi Tel Aviv, Maccabi Haifa, Hapoel Tel Aviv, dan Beitar Jerusalem. Kesemuanya adalah rival bagi satu sama lain dalam soal permainan dan politik.
Beberapa klub sepak bola Israel menyandang nama depan Maccabi dan Hapoel. Lebih dari sekadar pengenal, ada ideologi dan latar kelas bersemayam di sebalik nama-nama itu. Maccabi berangkat dari gerakan Zionisme dan mewakili masyarakat kelas menengah-atas Israel, sementara Hapoel berangkat dari ideologi kiri dan mewakili kelas pekerja.
Perbedaan macam itu tumbuh dan bermuara menjadi rivalitas di antara tim-tim Maccabi dan Hapoel, bahkan di antara tim sekota. Di empat kota, yaitu Tel Aviv, Haifa, Petah Tikva, dan Ashdod, laga antara klub-klub Maccabi dan Hapoel berartiderby. Sebutlah misalnya derby Tel Aviv yang mempertemukan Maccabi Tel Aviv dan Hapoel Tel Aviv. Atauderby Haifa yang berarti persaingan antara Maccabi Haifa dengan Hapoel Haifa.
Rivalitas ini kerap kali bukan soal skor atau peringkat di klasemen semata. Dalam derby Tel Aviv pada 3 November 2014, misalnya, pertandingan dibatalkan setelah sejumlah fan memasuki lapangan dan memulai perkelahian. Manajer Hapoel menyebutnya "Hari Kelam" dalam sejarah sepak bola Israel.
Membicarakan persaingan atau kebrutalan suporter di Israel tentu tak bisa berhenti pada rivalitas Maccabi-Hapoel semata. Sebabnya, masih ada Beitar Jerusalem yang punya musuh di mana-mana.
Beitar Jerusalem, Musuh Bagi Semua
"Mungkin membuat tanda salib lebih tak melukai ketimbang bersujud," ujar seorang fan Beitar Jerusalem menanggapi sentimen terhadap pemain-pemain Kristen dan Islam di klub pujaannya.
Mudah saja untuk menerka bahwa Beitar Jerusalem lebih dimusuhi ketimbang tim mana pun. Tradisi antipemain Arab hingga kini masih bertahan dan grup ultras klub ini, La Familia, dengan tegas mengklaim diri sebagai yang paling rasis seantero negeri.
Keberhasilan Beitar menempatkan diri di jajaran big four bersama klub-klub Maccabi dan Hapoel telah menghadirkan rivalitas tersendiri. Begitu pula kala “klub Arab” Bnei Sakhnin promosi ke divisi utama pada 2003, ia secara alami langsung jadi musuh baru Beitar.
"Perang! Perang!" berulang kali diteriakkan suporter Beitar maupun Sakhnin yang sama-sama punya reputasi kekerasan. Fan dari Jerusalem bahkan membawa nyanyian dan teriakan ke arah yang kian ekstrem, seperti "death to the Arabs" atau hinaan terhadap Muhammad.
Dalam risetnya yang berjudul “Football and Politics in Israel”, Szymon Beniuk mencatat pada 2007, federasi sepak bola Israel memutuskan bahwa stadion Beitar tertutup bagi para fannya. Keputusan itu keluar setelah fan Beitar melontarkan chant ofensif terhadap fan Sakhnin.
La Familia tak tinggal diam begitu saja. Sebagai balasan, La Familia membakar kantor federasi dan mengecatnya dengan akronim grup mereka. Jika aksi bakar-membakar masih terdengar kurang edan, grup ultras Beitar punya sederet kegilaan lain, seperti menyerang pekerja Arab di McDonald's pada 2012 dan menebar kampanye negatif terhadap dua pemain muslim asal Chechnya yang memperkuat klub kebanggaan mereka.
Suatu waktu, seisi stadion mengheningkan cipta selama satu menit demi mengenang kematian Perdana Menteri Icchak Rabin. Dia dikenal sebagai sosok yang menandatangani perjanjian damai Israel dan Palestine Liberation Organization (PLO) pada 1993. Alih-alih ikut diam dan memberi penghormatan, La Familia justru meneriakkan nama Yigal Amir, pelaku pembunuhan sang Perdana Menteri.
"Kami dulu berteman dengan suporter Bnei Yehuda (klub Israel lain dengan basis suporter sayap kanan), tapi kemudian mereka membawa pemain Arab. Maka kami mengejek mereka dan sejak itu kami sering bertengkar. Musuh terbesar kami adalah dua tim Tel Aviv: para bajingan Maccabi dan Hapoel." ujar seorang anggota La Familia.
Hapoel Tel Aviv vs Beitar Jerusalem
Klub-klub di Liga Israel sesungguhnya telah memasuki masa privatisasi pada dekade 1980-an. Klub-klub perlahan melepas afiliasinya dengan organisasi politik seperti serikat buruh atau partai dan kemudian beroperasi sepenuhnya sebagai tim sepak bola profesional. Namun kenyataannya, politik tetap tinggal di stadion.
"THE WAR BEGINS, FUCK HAPOEL!" sambut spanduk raksasa yang dibentangkan suporter Beitar di Teddy Stadium, Jerusalem.Pertandingan yang menjadi puncak dari polarisasi politik itu ialah laga yang mempertemukan Beitar Jerusalem dan Hapoel Tel Aviv.
Hapoel Tel Aviv merupakan langganan juara sejak era Liga Palestina hingga kini Liga Premier Israel. Di kancah internasional, Hapoel Tel Aviv menjadi juara di gelaran pertama Liga Champions Asia pada 1967. Berkali-kali pula ia mewakili Israel menembus Europa League, bahkan fase grup Liga Champions Eropa.
Sementara Beitar, kendati cukup berprestasi, belumlah bisa disejajarkan dengan Hapoel Tel Aviv dalam urusan trofi. Namun berkat aksi-aksi suporternya di luar lapangan, Beitar adalah rival setara Hapoel.
Hapoel Tel Aviv bermula dari Hapoel, asosiasi olahraga terbesar di Israel yang didirikan Histadrut (Serikat Buruh Israel). Simbol palu-arit tertera dalam logonya, merah menjadi warna utamanya, dan para suporternya pun kerap mengibarkan bendera-bendera bergambar Karl Marx hingga Che Guevara.
Nasionalisme bahkan tak mendapat tempat di Hapoel—bendera Israel dilarang hadir. Dengan begitu, Hapoel seolah menyediakan ruang koeksistensi untuk masyarakat Israel yang multikultural.
Di lain sisi, Beitar berangkat dari gerakan Zionisme revisionis. Ia mengusung simbol menorah dalam logonya sebagai perlambang tradisi Yahudi. Benderanya berwarna kuning—yang sejak dulu identik dengan orang-orang Yahudi dan Yudaisme.
Persaingan dari segi prestasi, kelas sosial, dan ideologi politik belumlah cukup untuk mendefinisikan rivalitas Beitar dan Hapoel. Pasalnya, masih ada lapisan persaingan lain: etnisitas. Hapoel Tel Aviv didirikan oleh orang-orang Yahudi Ashkenazi yang berasal dari Eropa Timur, sementara Beitar Jerusalem secara historis lekat dengan Mizrahi yang datang dari kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
Seturut Financial Times, orang-orang Yahudi Mizrahi telah lama menanti kesempatan yang sama dalam bidang pemerintahan, akademis, hingga ekonomi. Bagi golongan ini, Beitar seolah jadi salah satu kendaraan untuk menjadi setara dengan etnis Ashkenazi.
Ketegangan dan gesekan antara fan kedua tim tak jarang berlanjut di jalanan. Di setiap laga yang mempertemukan Beitar dan Hapoel, aparat kepolisian hampir selalu dikerahkan lebih banyak untuk mengawasi suporter fanatik kedua tim dengan ketat.
Berdasarkan keterangan jurnalis Israel Raphael Gellar, pada 2016 lalu, ada laporan yang menyebut seorang penggemar Hapoel mendapat hantaman palu di kepalanya. Tak ada kabar lebih lanjut mengenai kondisinya, tapi ketika seorang fan tewas, suporter lawan justru membentangkan spanduk ejekan.
"Derby lain juga disertai kebencian, tapi permusuhan dalam derby Beitar Jerusalem dan Hapoel Tel Aviv ini sudah terlalu dalam," ujar Gellar. "Arab melawan Yahudi adalah satu hal. Sayangnya, selama ada orang Yahudi di Israel, tentu akan ada pula pertarungan sesama Yahudi untuk menentukan Yahudi mana yang lebih hebat."
Tak ada yang tahu bagaimana wajah segala polarisasi dan rivalitas ini di masa depan. Persaingan berlapis bisa kapan saja bereskalasi, dari stadion ke jalanan, dari jalanan ke seluruh negara. Mengoyak wilayah paling tak stabil di Timur Tengah ini lebih lanjut, alih-alih menyatukan.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi