Menuju konten utama

Ada McAdam di Sepanjang Jalan Makadam

Jalan makadam masih menjadi tulang punggung yang menghubungkan warga di perdesaan

Ada McAdam di Sepanjang Jalan Makadam
Ilustrasi penemu teknik makadam dalam mengaspal jalan, John Loudon McAdam. Foto/Wikipedia

tirto.id - Ramadan 2016, pukul empat sore. Saya bersama beberapa orang kawan menunggangi motor bebek. Kami berhenti di mulut sebuah ruas jalan makadam di daerah Perkebunan Sedep, Pangalengan. Ada papan kecil penunjuk jalan bertuliskan, “Garut 75 km”.

Kami hendak ke Cikajang, Garut. Waktu berbuka puasa sekitar dua jam lagi. Kami menghentikan laju seorang pengendara motor yang melintas.

“Ke Cikajang mah dua jam lagi juga sampai. Magrib paling udah di sana,” katanya.

Karena percaya dengan informasi itu, perjalanan pun dilanjutkan. Motor kami yang biasa dipakai di jalan-jalan perkotaan mulai menghajar batu-batu kali. Beberapa kali terdengar benturan antara pelindung mesin dengan batu. Di kiri kanan jalan dipenuhi kerikil dan debu. Mentari semakin condong ke barat. Di sebuah perkampungan yang bernama Stamplat, kami berhenti untuk mengisi tangki bensin dan membeli makanan untuk berbuka puasa.

Seorang ibu bertanya ihwal tujuan perjalanan kami. Dia memberi tahu bahwa sampai gerbang Perkebunan Papandayan di Garut, jalannya tak ada yang mulus.

“Makadam semua, batu-batunya juga segede orok (bayi),” ujarnya setengah bercanda.

Warga lain ikut nimbrung, memberi tambahan informasi bahwa dua hari sekali ruas jalan makadam yang menghubungkan Pangalengan dengan Cikajang itu dilintasi kendaraan umum berupa mobil elf.

Menjelang Magrib, kami meneruskan perjalanan. Berhenti sejenak di tengah perkebunan teh untuk berbuka puasa. Kabut mulai turun. Benar kata ibu tadi, jalanan makadam tak habis-habis. Kondisinya semakin parah, batu-batu semakin besar dan tajam. Sementara jarak satu perkampungan dengan perkampungan lain sangat berjauhan. Kami sampai di Cikajang pukul satu dinihari.

Oktober 2015, dua orang wartawan Tempo tengah liputan di daerah Pesanggrahan, Banyuwangi. Ketika hendak kembali ke pos jaga di gerbang Taman Nasional Meru Betiri di Rajegwesi, mereka dihentikan oleh pengendara motor yang berboncengan.

“Orang menyebutnya jalan makadam—jalan tanah berbatuan […] Di jalan semacam itu, dalam gelap malam pada Selasa, akhir Oktober 2015, satu sepeda motor bebek tiba-tiba mendekat dan berhenti. ‘Maaf, Pak,’ seseorang berjaket hitam turun dari boncengan sambil memberi isyarat agar kami berhenti,” tulisnya dalam Seri Tempo: Kisah Berdesir dari Pesisir Laut, hlm. 89 (2017).

Pada kalimat ‘di jalan semacam itu’, dan diikuti keterangan lain ‘dalam gelap malam’, si penulis seolah ingin memberi tekanan, bahwa situasi tidak sedang baik-baik saja, atau setidaknya tidak mereka harapkan. Kondisi awal ini kemudian didukung oleh pengendara motor yang salah satunya berjaket hitam, yang menghentikan mereka di tengah jalan. Dalam narasi tersebut, jalan makadam adalah sebuah kengerian.

Sementara Dr. A. Latief Wiyata dalam Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (2002), ketika melakukan penelitian di Bangkalan, Madura, menemukan banyak sekali kampong méjhi, yaitu kumpulan-kumpulan atau kelompok-kelompok permukiman penduduk desa yang satu sama lain saling terisolasi. Menurutnya, jarak antara satu permukiman dengan permukiman yang lain sekitar satu sampai dua kilometer. Antarpermukiman dihubungkan oleh jalan desa atau jalan setapak.

“Jarang sekali ditemui jalan-jalan beraspal, kecuali beberapa jalan makadam, yaitu jalan yang dikeraskan oleh tumpukan batu, kemudian diratakan tanpa dilapisi aspal. Ketika musim hujan tiba jalan-jalan desa tersebut kondisinya menjadi sangat jelek (berlumpur atau becek),” tambahnya.

Catatannya tersebut menjelaskan infrastruktur jalan di perdesaan—yang pada umumnya makadam, dalam kondisi yang memprihatinkan. Pola permukiman yang berjauhan, ditambah kondisi jalan yang tidak memadai, membuat mereka saling terisolasi.

Di tempat-tempat lain, jalan makadam—meski fungsional, tapi kondisinya selalu tidak prima. Arwin Rizki J.S., seorang peminat perkeretaapian menceritakan pengalamannya ketika menelusuri bekas rel kereta api dalam buku Keindahan Rupa Stasiun Tulungagung dan Sejarahnya (2016).

“Keluar ke jalan raya menuju Durenan, saya masuk di pertigaan sebelum Ponpes Miftahul Ulum ke perkampungan lagi […] Jalan itu lurus ke utara dan sudah berpaving, tapi tak jauh. Sesampainya di persawahan jalannya berubah menjadi trek makadam, berbatu-batu dan beberapa becek. Ngeri sekali, apalagi jauhnya hingga setengah kilometer, saya cuma bisa melaju tak kurang dari 5 kpj, kalau di KA itu kecepatan berjalan di bawah semboyan 2C. tiba di penghujung jalan makadam, jalannya sudah mendingan lagi,” tulisnya.

Di sekitar tempat ziarah Gunung Kawi yang populer, tepatnya Pesanggrahan, jalan makadam masih menjadi salah satu akses untuk menuju ke tempat tersebut. Prasto Wardoyo, dkk dalam Gunung Kawi: Pesugihan atau Wisata Religi Multikultural? (2009) menerangkan bahwa meski secara umum jalan aspal kondisinya cukup baik, tapi ada satu akses jalan yang menghambat arus kunjungan.

“Di beberapa titik mengalami kerusakan, tapi secara umum jalan aspal tersebut bisa dikatakan cukup baik. Sebelumnya, akses jalan masih berupa jalan makadam yang diduga menjadi faktor penyendat arus peziarah ke Pesanggrahan,” tulisnya.

Contoh lain yang menggambarkan jalan makadam yang masih menjadi akses penghubung di perdesaan di Indonesia, dicatat dalam buku Sisi Senyap Politik Bising (2007)—Budi Susanto S.J. (ed).

Infografik Makadam

Di Dusun Ngguyangan, Desa Tugurejo, Ponorogo—di tengah popularitas Reog Ponorogo, terdapat kesenian Jaranan yang hidup di masyarakat. Topografi dusun tersebut adalah areal perbukitan, pola permukimannya berkelompok, dan warga bertani dengan mengandalkan tadah hujan. Kalau musim penghujan datang, kerap terjadi longsor. Jalan yang menghubungkan antardusun adalah makadam.

“Dusun itu jauh dari jalan beraspal antardesa, sementara jalan penghubung antardusun berupa jalan makadam dari tumpukan batu kali (sungai), selebihnya masih berupa jalan tanah dengan jalur yang kadang menanjak, berkelok turun tajam, sementara di samping jalan merupakan bukit atau tebing,” tulisnya.

Jika dilihat dari tahun pembuatan, Jalan Raya Pos nan legendaris yang menghubungkan Anyer-Panarukan di Pulau Jawa, mungkin juga memakai sistem makadam. Tahun 1815 teknik pembuatan jalan makadam mulai diujicoba di Falmouth, Inggris. Dan tahun 1818-1819 Jalan Raya Pos dibuat di Hindia Belanda.

Makadam adalah McAdam

John Loudon McAdam lahir di Skotlandia. Tahun 1770 ia pindah ke New York untuk mengisi pundi-pundi dengan bekerja di perusahaan pamannya. Warsa 1783, ketika kekayaannya sudah cukup, ia kembali ke Skotlandia dan membeli sebuah perkebunan di Sauhrie, Ayrshire. Di distrik tersebut ia menemukan banyak jalan raya dalam kondisi buruk. Atas inisiatif dan biayanya sendiri, ia melakukan serangkaian percobaan pembuatan jalan.

“Pada saat itu, jalan-jalan adalah jalur tanah yang rentan terhadap hujan dan lumpur. Sementara batu sangat mahal dan tak tahan lama,” tulis Mary Bellis dilansir dari thoughtco.

Ia menambahkan, bahwa McAdam kemudian memperbaiki beberapa ruas jalan tersebut dengan menggunakan batu-batu pecah yang diletakkan dalam pola simetris dan ketat serta ditutupi oleh batu-batu kecil untuk membuat permukaan yang keras.

Pada 1798, McAdam pindah ke Falmouth, Cornwall, dan dia ditunjuk oleh pemerintah untuk melanjutkan eksperimen jalannya. Ia merekomendasikan bahwa jalan harus dinaikkan di atas tanah untuk drainase yang baik dan tertutup. Mula-mula batu-batu besar, lalu batu-batu yang lebih kecil, kemudian ditaburi kerikil. Ia mendokumentasikan karyanya dengan menulis Remarks on the Present System of Road-Making (1816) dan Practical Essay on the Scientific Repair and Preservation of Roads (1819).

Ia mengemukakan bahwa dengan membangun permukaan jalan di atas tanah di sekitarnya, dengan drainase yang baik, menggunakan lapisan batu hancur, serta diikat dengan kerikil atau terak yang bagus: jalan bisa tahan lama dan lebih murah daripada sebelumnya. Metodenya kemudian banyak digunakan, pertama di Inggris Raya, kemudian menyebar ke Eropa dan Amerika.

“Metode Ini merupakan kemajuan terbesar dalam pembangunan jalan sejak zaman Romawi dan dikenal sebagai ‘macadamisation’ atau ‘macadam’,” dikutip dari undiscoveredscotland.

Metode jalan inilah yang kemudian dikenal di Indonesia dengan sebutan jalan makadam, yang hari ini masih menjadi tulang punggung yang menghubungkan warga di perdesaan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH DUNIA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Humaniora
Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Zen RS