Menuju konten utama

Ada Korea di Sulawesi Tenggara

Di Sulawesi Tenggara, ada kampung yang menggunakan huruf Korea untuk tulis-menulis.

Siswa sedang melintas didepan kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Bau Bau, Sulawesi Tenggara yang papanya terdapat tulisan Huruf Hangeul. Foto/istimewa

tirto.id - Kalau Jawa Timur punya Pare sebagai Kampung Inggris, maka Sulawesi Tenggara punya Bau-Bau yang bisa disebut sebagai Kampung Korea.

Masyarakat di wilayah ini ternyata sudah terbiasa menggunakan Hangeul, aksara Korea, semenjak 2009. Selayaknya berada di Korea, jika berkunjung ke sana, maka Anda akan melihat berbagai papan penunjuk jalan yang ditulis menggunakan huruf Hangeul.

Bahasa Ciacia merupakan salah satu bahasa yang dituturkan oleh sebagian besar masyarakat di bagian selatan Pulau Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Bahasa ini tergolong dalam kelas Austronesia, Melayu Polinesia, subrumpun Muna-Buton.

Keunikan Bahasa Ciacia adalah kualitas bunyi dan perlambangan bunyi yang mirip dengan bahasa Korea. Merupakan salah satu bahasa yang dipakai oleh etnis Laporo, Burangsai, Wabula, dan Lapandewa. Walau begitu, belum ada kejelasan akan hubungan kesejarahan antara bahasa Ciacia dan Korea, selain memiliki sejumlah kesamaan kualitas bunyi bahasa dan perlambangan bunyi tersebut.

Disertasi Sandra Safitri Hanan, UGM, Genealogi Bahasa Ciacia menjelaskan awal mula penggunaan huruf Hangeul dalam penulisan Bahasa Ciacia bermula dari ”Simposium IX Pernaskahan Nusantara tahun 2005.” Seorang profesor dari Korea, Chun Thai Yun, setelah mengamati secara singkat, meyakini adanya kekhasan menarik dalam keanekaragaman linguistik di daerah tersebut. Penelusuran keistimewaan bahasa Ciacia sebagai bahasa yang unik terus ditindaklanjuti.

Bersama-sama dengan Prof. Hu Yung Lee dan Dr. Lee Konam dari Seoul University mereka melakukan penelitian singkat. Hasilnya, sebuah rencana afiliasi konstruktif untuk mentransformasi bahasa Ciacia ke dalam alfabet Hangeul, Korea. Gagasan itu kemudian diusulkan kepada pemerintah Bau-Bau, timbal baliknya, pemerintah Korea akan mempromosikan wilayah Bau-Bau sebagai tujuan wisata negaranya.

Pada 2009, Walikota Bau-Bau, Amirul Tamim menyetujui hal ini dengan pertimbangan keuntungan ekonomis. Perjanjian tertulis pun dilakukan, Selanjutnya, melalui yayasan Hunminjeongeum, Dr. Lee Konam merilis di berbagai harian terkemuka Korea tentang kabar ini. Langkah-langkah afiliasi dianggap sebagai hal yang sangat cerdas hingga layak menjadi laporan utama banyak media massa, cetak maupun elektronik di Korea.

Sejarah Bahasa Ciacia

Seperti terpacak pada laman resmi UGM, Sandra Safitri Hanan, staf Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara dalam ujian promosi doktornya menjelaskan keragaman bahasa Ciacia yang berkembang di masyarakat Pulo Buton turut dipengaruhi oleh lokasi tutur bahasa. Terbagi dalam tiga wilayah administratif dengan dua wilayah diantaranya terpisah oleh laut.

“Wilayah tutur bahasa Ciacia di bagian selatan Pulau Buton mendapat pengaruh dari bahasa Busoa, Muna, dan Wolio.”

Sementara itu, bahasa Ciacia yang dipakai masyarakat di bagian timur Pulau Buton banyak mendapat pengaruh dari bahasa Lasalimu dan bahasa Kamaru. Sedangkan bahasa Ciacia yang digunakan masyarakat di Pulau Binongko mendapat pengaruh dari bahasa Wakatobi. Demikian pula dengan bahasa Ciacia di kecamatan Sorawolio, Kota Baubau mendapat pengaruh dari bahasa Wolio.

Dalam disertasi berjudul Genealogi Bahasa Ciacia, Sandra menjelaskan dari 23 isolek bahasa Ciacia dapat dikelompokkan ke dalam tiga dialek yaitu Masiri, Sambulalatawa, dan Kumbewaha. Satu dialek terdiri dari 21 isolek yang kemudian dikelompokkan menjadi enam subdialek.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa inovasi bahasa banyak dijumpai pada subdialek Sampolawa. Hal ini disebabkan adanya pengaruh bahasa-bahasa yang berdekatan dengan wilayah tutur yaitu bahasa Wolio dan Busoa. Sementara dialek inovatif adalah dialek Kumbewaha yang banyak dipengaruhi bahasa Lasalimu dan Kamaru.

Sandra menyampaikan, meskipun terpisah menjadi tiga dialek, antardialek dan subdialek masih dalam satu kesatuan hubungan kekerabatan. Selain itu, bahasa Ciacia juga diketahui memiliki hubungan erat dengan bahasa Muna-Buton. Posisi bahasa Ciacia dalam sub rumpun Muna-Buton berada di tengah-tengah karenanya tidak mengherankan jika ditemukan kesamaan realisasi makna bahasa Ciacia dengan bahasa-bahasa tersebut.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/09/28/jejakkoreadisulawesitenggara_ratio-9x16.jpg" width="860" alt="Infografik Jejak Korea " /

Diajarkan di Sekolah

Awalnya, sebelum afiliasi dengan huruf Hangeul, penulisan Bahasa Ciacia dilakukan dengan huruf Arab gundul. Di tahun 2009, setelah perjanjian dengan Korea dilakukan, pembelajaran huruf Hangeul dilakukan secara masif di Bau-Bau. Beberapa anggota masyarakat Bau-Bau dikirim langsung ke Korea untuk mempelajari huruf Hangeul guna kemudian disebarluaskan.

Para pengajar di Korea juga berupaya menemukan beragam alternatif singkat untuk mengajarkan Huruf Hangeul namun tetap dalam bahasa Ciacia. Dalam wawancara dengan wartawan Tirto, salah satu masyarakat Bau-Bau, Samsur Hanirnde, mengemukakan penggunaan huruf Hangeul dalam bahasa daerahnya itu malah memudahkan pelestarian bahasa Ciacia.

“Sebab logatnya sama, sebelum pakai Hangeul [mereka sebelumnya memakai Arab gundul] ada kata-kata yang tidak bisa dituliskan.”

Walau belum ada buku atau kamus khusus untuk mempelajari bahasa Ciacia dengan huruf Hangeul, proses pembelajaran dan perpaduan budaya Bau-Bau-Korea berjalan dengan lancar. Sekolah di tingkat SD, SMP, dan SMA di daerah ini semua mengajarkan muatan lokal bahasa Ciacia dengan penulisan Hangeul. Setiap minggu, muatan lokal ini diajarkan selama dua jam dalam satu kali pertemuan

“Tapi Hangeul hanya dipelajari hanya di Kecamatan Sorowolio, Kelurahan Karyabaru, lainnya tidak. Yang perlu digarisbawahi, bahasa kami tetap bahasa asli Ciacia, hurufnya saja yang Hangeul.”

Untuk Anda para pecinta kebudayaan Korea, atau yang berminat melancong ke Korea, silahkan berkunjung ke Bau-Bau terlebih dulu untuk belajar Hangeulnya.

Baca juga artikel terkait KOREA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani
-->