tirto.id - Setelah rempah tak lagi jadi primadona komoditas, sejarah kawasan timur Indonesia nyaris sepi dari perhatian publik. Belanda mengalihkan fokusnya mengeksploitasi potensi perkebunan di Jawa dan Sumatra. Penulisan sejarah pun mengikuti jejak Belanda itu.
“Sejarah dalam arti ingatan kolektif boleh saja masih dimiliki, tetapi dalam arti sebagai sejarah yang digali dan dikaji dan kemudian dihadirkan dalam bentuk historiografi, masih sangat minim,” tutur Prof. Dr. Susanto Zuhdi dalam orasi ilmiah pada acara 65 Tahun Prof. Dr. Susanto Zuhdi, di Auditorium Gedung I Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia pada Kamis (4/4/2018).
Acara itu sekaligus menandai kiprah Susanto selama hampir 30 tahun menekuni bidang sejarah maritim Indonesia. Sebagai tengara dedikasinya untuk bidang sejarah maritim Indonesia ia meluncur edisi revisi bukunya yang berjudul Sejarah Buton Yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana.
Melalui bukunya, Susanto ingin mendudukkan secara lebih jernih posisi Kesultanan Buton dalam sejarah Indonesia, khususnya kawasan timur Indonesia. Buton, sebagaimana Bone, sering dianggap pengkhianat karena bekerja sama dengan VOC.
“Berkhianat pada siapa? Waktu itu Indonesia saja belum ada,” tuturnya.
Padahal, kerja sama itu adalah pilihan realistis Kesultanan Buton untuk mengadang ancaman eksternal atas kedaulatannya. Ancaman itu datang dari Kesultanan Ternate dan Kesultanan Gowa. Dalam konteks itulah semestinya sejarah Buton dipahami.
Pengajar Departemen Susastra FIB UI Tommy Christomi yang hadir sebagai pembahas, lebih lanjut mengaitkan karakteristik sejarah Buton itu dengan yang terjadi di masyarakat Melanesia di Kepulauan Pasifik.
“Ketika kapal-kapal orang asing yang lebih superior datang ke pulaunya, penduduk bertanya-tanya apa yang mesti dilakukan. Disambut dan diberi fasilitas atau diperangi? Inilah yang coba dijabarkan Prof Susanto Zuhdi dalam bukunya,” ujar Tommy.
Dalam pemaparannya, Tommy juga menjelaskan bagaimana sebenarnya masyarakat Buton saat itu memaknai kehadiran Kompeni VOC. Pertama, Buton memandang Kompeni sebagai “ayah”. Sebagai ayah, Kompeni mesti melindungi “anaknya”, yaitu Kesultanan Buton.
Pandangan kedua adalah sebagai ancaman, sebagaimana Buton melihat Ternate dan Gowa. Pandangan ketiga adalah sebagai pengabsah, ketika Buton berhasil mengimbangi Ternate dan Gowa.
Dijelaskan pula bahwa dalam tradisi Buton, masyarakat melihat negaranya sebagai perahu. Raja sebagai “nakhoda” bertanggung jawab menjaga kedaulatan negara dari ancaman yang datang dari “haluan” dan “buritan”.
“Dari perspektif kultural Buton kerja samanya dengan VOC bukanlah pengkhianatan. Karena orang Buton harus menyelamatkan perahunya. Bagi Buton, baik Ternate, Gowa, maupun VOC sama saja. Itu mekanisme kultural,” ujar Tommy.
Konsep negara sebagai perahu ini oleh orang Buton disebut dengan istilah Labu Rope Labu Wana. Konsep ini menjadi pengingat bagi generasi Buton selanjutnya tentang bagaimana masyarakat bertahan dari ancaman yang datang dari haluan (rope) dan buritan (wana). Rope identik dengan Gowa dan wana identik dengan Ternate.
Konsep ini mengakar dalam sejarah dan budaya Buton. Menurut Susanto, konsep ini menjadi pedoman kultural orang Buton dalam menghadapi setiap perubahan dalam perjalanan sejarah.
“Tidak hanya berdimensi temporal tetapi juga ingatan akan ruang sejarah, yang pada hakikatnya tidak pernah terlepas dari ancaman dan peluang,” pungkas Susanto dalam orasinya.
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Dipna Videlia Putsanra