tirto.id - “Sungguh, seandainya saya ini orang Belanda,” tulis Soewardi Soerjaningrat yang populer dengan nama Ki Hajar Dewantara dalam artikelnya berjudul "Als ik een Nederlander was" yang terbit pada harian De Expres pada 13 Juli 1913, “maka saya tak akan pernah mau merayakan pesta peringatan seperti itu di sini, di suatu negeri yang kita jajah. Berikan dahulu rakyat yang tertindas itu kemerdekaan.”
Tulisan Ki Hajar mengkritik kebijakan Belanda yang mengharuskan warga jajahannya memeriahkan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis. Adalah ironis, pikir Ki Hajar, tatkala warga terjajah diharuskan merayakan kemerdekaan bangsa yang menjajahnya.
Selepas 74 tahun Indonesia merdeka dari Belanda, ironi yang sama terulang. Melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), pemerintah Indonesia sukses menyelesaikan konstruksi jaringan tulang punggung (backbone) Palapa Ring paket Timur di pertengahan Agustus 2019. Dengan demikian, infrastruktur ini dapat dipakai untuk menghasilkan koneksi internet cepat di wilayah timur Indonesia, khususnya di wilayah pedalaman Papua.
Dalam acara bertajuk Ignite The Nation, Menteri Kominfo Rudiantara menyatakan pembangunan Palapa Ring Timur telah selesai. "(Kini), tinggal menunggu stabilisasi dan integrasi ke Palapa Ring Barat dan Tengah.” Jaringan ini kelak dapat memberikan internet cepat bagi seluruh warga Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, demikian yang dilansir Indotelko.
Pada saat bersamaan, pemerintah mematikan internet di Bumi Cendrawasih untuk merespons demonstrasi di beberapa titik di Papua yang dipicu perlakukan rasis terhadap mahasiswa asal Papua di Jawa Timur.
Direktur Sumber Daya dan Administrasi Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kominfo Fadhilah Mathar menyebut bahwa kebijakan pemerintah mematikan internet di tanah Papua dilakukan karena “pasti ada kepentingan yang lebih luas yang kami pertimbangkan.”
Salah satu alasan kebijakan memutus internet di Papua adlaah upaya membendung kabar bohong atau hoaks yang beredar melalui media sosial. "Jika shutdown dilakukan untuk meredam hoaks, justru tidak tepat. Ketika seseorang sudah terpapar hoaks, justru orang tersebut harus melakukan konfirmasi dengan mencari info dari sumber lain. Nah sekarang sarana mencari informasinya dimatikan, di-shutdown, lalu bagaimana orang tersebut bisa mendapatkan informasi yang benar?” ucap Ketua ID Institute Svaradiva dalam rilisnya yang diterima Tirto.
“Berikan dahulu rakyat akses internet, baru kami dapat merayakan kesuksesan Pemerintah membangun Palapa Ring." Jika analogi Ki Hajar dipakai di sini, kira-kira begitulah warga Papua akan merepons peresmian Palapa Ring paket Timur yang rencananya akan digelar sekitar Oktober.
Palapa Ring merupakan proyek infrastruktur telekomunikasi, untuk menghadirkan internet di Indonesia dengan membangun serat optik dari Sabang hingga Merauke. Papua, khususnya di wilayah-wilayah pedalaman, seharusnya sudah “merdeka” dalam urusan akses internet. Namun, kemerdekaan berinternet di wilayah Agats, Asmat, Papua, kurang terasa. Apalagi, ditambah dengan kebijakan pemerintah soal pemblokiran itu.
"Kami Hanya Beli Loading"
Asmat telah dikenal dunia sejak 1770, tatkala anak buah kapal Endeavour yang dinakhodai James Cook mencoba merapat ke daratan Papua. Namun, seperti yang ditulis Tobias Schneebaum dalam Where the Spirits Dwell: An Oddyssey in the New Guinea Jungle, upaya itu berakhir tragis. Karena salah paham, 20 kru kapal Cook dan beberapa orang Asmat tewas dalam sebuah pertempuran.
Pada masa penjajahan Belanda, seorang pejabat bernama Felix Maturbongs diutus ke sana. Ia tinggal di bagian hulu, lalu berpindah ke daerah pantai yang oleh orang-orang Sjuru disebut Akat (artinya “baik”). Lambat laun, Akat bertransformasi jadi Agats, nama ibukota Kabupaten Asmat kini.
Sayangnya, meski telah lama berinteraksi dengan dunia luar, Schneebaum menyebut bahwa Asmat “tetap terisolasi untuk periode yang lama.”
Di tengah dunia yang bertransformasi ke digital, dengan kehidupan yang ditopang aplikasi-aplikasi ponsel pintar seperti Gojek, Grab, Traveloka, hingga Tokopedia, Asmat masih terasa terisolasi.
Di distrik Agats, ibukota Asmat, internet, khususnya yang ditenagai Telkomsel, tak bisa diandalkan. Di layar, sinyal memang tertulis 4G, tetapi hanya sekedar hiasan semata. “Sinyal (selular) di sini belum mampu dengan baik untuk internet. Internet memang ada, tetapi belum maksimal atau lelet,” ujar Bupati Asmat Elisa Kambu kepada Tirto, Sabtu (24/8) lalu.
Johanis Gabriel Fofid, warga Agats dan pegawai Kominfo, mengamini pendapat Elisa. “Telkomsel dominan di sini. (Sayangnya, internet di sini) lola alias 'loading lambat'. 4G, tetapi rasa 2G.”
Jangankan internet, fasilitas dasar telekomunikasi pun sukar di Agats. Menurut John, panggilan akrabnya, ia pernah mengirim SMS yang baru sampai ke alamatnya dua hari kemudian.
Padahal, masih menurut John, ada hampir 4.000 pelanggan Telkomsel di Agats. Ini sejurus dengan pernyataan Manager Media Relation Telkomsel Singue Kilatmaka yang menyatakan bahwa 90 persen pengguna seluler di Papua adalah pelanggan anak usaha PT. Telkom ini.
“Kita bagai anak tiri, kalau di Jawa perbedaan terasa sekali. Wah, kita di Papua dengan kekayaan Sumber Daya Alam tidak difasilitasi sarana telekomunikasi yang lebih baik,” tegas John. “Kami bayar sama (dengan pelanggan di Jawa), tetapi yang didapatkan berbeda. Ibaratnya, kami hanya beli loading.”
Warga Agats membayar biaya internet yang sama dengan Jakarta. Namun, di “kota terapung” ini, kekuatannya hanya 512 kilobita per detik. Jakarta, “cukup” dengan 7 megabita per detik.
Meskipun telah berlabel 4G, Singue menyatakan bahwa lambatnya koneksi internet Telkomsel di Agats perlu diperiksa terlebih dahulu. Ia mengatakan dulu pernah kabel Telkom putus sehingga mempengaruhi konektivitas. Tapi, ia juga menegaskan bahwa internet di Agats dan wilayah-wilayah pedalaman lain di Indonesia memiliki teknologi yang sama.
“Itu pulau terluar, terdepan, terpencil, prioritas kami walaupun dari sisi bisnisnya kurang. Di wilayah-wilayah tersebut minimal kami akan pasang 3G,” kata Singue.
Berharap Pada WiFi Gratisan
Sejak mekar dari Merauke, hanya ada tiga lokasi yang memungkinkan sambungan telepon di Kabupaten Asmat. Kini, menurut Elisa Kambu, ada 18 distrik yang “telah terhubung langsung ke dunia luar”.
Selain tergantung pada Telkomsel, warga di Asmat, khususnya Agats, dapat berlangganan penyedia jasa internet swasta yang menghubungkan rumah-rumah mereka dengan internet secara langsung. Ada tiga penyedia jasa internet di Agats, yakni Darussalam, Aurora, dan Inmedia. Namun, perlu biaya yang cukup besar untuk memasang internet di rumah. Untuk pemasangan, diperlukan biaya sekitar Rp1,5 juta. Pelanggan diharuskan membayar biaya hingga Rp700 ribu tiap bulan.
Selain via pihak swasta dan telkomsel, internet dapat dirasakan warga Agats melalui jaringan WiFi gratis yang disediakan BAKTI Kominfo. Fadhilah, yang akrab disapa Indah, mengatakan bahwa WiFi gratis tersebut didukung oleh 13 BTS dan tahun ini, rencananya, akan ditambah 70 unit BTS berkekuatan 4G.
WiFi gratis yang disediakan BAKTI Kominfo tersebar di berbagai lokasi di Agats, khususnya di sekolah. Kepala Sekolah SMA Negeri 1 AgatsRobertus Wandu Ubah mengatakan bahwa sekolah yang dipimpinnya memiliki WiFi gratis itu yang salah satu kegunaannya adalah mendukung pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK).
Menurut Robertus, WiFi bekerja baik kala UNBK berlangsung. Namun, menurun kualitasnya tatkala hajatan besar di dunia pendidikan itu usai.
“Kalau saat tes, sinyalnya aman. Tapi kalau saat-saat kayak gini, susah. Kecuali subuh, bisa. Selain waktu tersebut, susah sekali. Untuk download saja sulit sekali. Berat. Padahal kita perlu untuk cari materi (pelajaran),” tutur Robertus kepada Tirto.
Meski hidup di pedalaman, internet sangat penting bagi warga Agats. Memang, mereka tak memesan transportasi, makanan, atau ber-Netflix ria menggunakan internet. Tapi, menurut penuturan Robertus, internet digunakan untuk berkoordinasi dengan pusat. “Data-data terkait pendidikan harus dikirim. Seperti data BOS, absensi murid dan guru juga harus dikirim ke pusat.”
Selain itu, menurut John, internet dapat memberikan informasi akurat tentang jadwal penerbangan di Bandara Ewer, bandara utama di Asmat. Tanpa internet, warga harus menumpang speedboat hanya untuk bertanya secara langsung kepada perwakilan maskapai yang melayani rute Asmat-Timika dan Asmat-Merauke.
Di sisi lain, Beni Rahail yang mengelola hotel di Agats menegaskan internet dapat memberdayakan hotelnya lebih baik. Dengan internet, ia dapat memberikan informasi seputar hotelnya dan Agats kepada dunia. Selain itu, internet dapat membantu pengunjungnya tetap terhubung ke dunia luar dengan nyaman.
Internet pun digunakan warga untuk membeli barang-barang yang sulit ditemukan di Agats. Sukman Jaya, salah seorang warga Agats, menyebut bahwa ia sering berbelanja melalui situs-situs e-commerce untuk membeli berbagai perlengkapan, yang sukar ditemukan di Agats.
Yang tak kalah penting, internet, yang sanggup memberikan hiburan tanpa batas bagi penggunanya itu, sukses membendung angka pesta mabuk-mabukan di Agats. Di beberapa titik pemasangan WiFi gratis oleh BAKTI Kominfo, warga bergumul memanfaatkan internet, mulai untuk menghibur diri, seperti menonton Youtube, bermain PUBG, hingga belajar.
“Kalau sampai malam, ini (sekolah) full semua (oleh para warga untuk berinternetan gratis),” terang Robertus.
Sayangnya, karena dipakai beramai-ramai, WiFi gratis yang disediakan Kominfo itu sukar diandalkan. Kecepatan dan stabilitas koneksi dapat tiba-tiba menurun.
Harapan warga Agats memperoleh internet yang cepat, stabil, dan dapat diandalkan seperti yang dinikmati warga Jakarta kini tertuju pada Palapa Ring Timur yang telah usai dikerjakan, menyusul Palapa Ring Barat dan Palapa Ring Tengah, yang memiliki janji dapat memberikan kecepatan minimal 2 megabita per detik untuk akses tetap dan 1 megabita per detik untuk akses bergerak.
Palapa Ring merupakan pembangunan pita lebar internet, yang mencakup 514 kabupaten/kota di Indonesia. Proyek ini dikerjakan pemerintah bersama pihak swasta. Namun, menurut Indah, beberapa lokasi hanya dibiayai pemerintah karena dianggap pihak swasta “tidak seksi”.
“Ada 57 kabupaten/kota yang tidak akan dibangun (swasta) karena harganya terlalu mahal, secara ekonomi tidak masuk. Dari tahun 2014 pemerintah berkomitmen, masa ini kita tinggalkan. Kita bantu dengan mensubsidi,” tutur Indah.
Palapa Ring sendiri, dibangun dengan landasan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2014 Tentang Rencana Pitalebar Indonesia 2014-2019. Menurut pemerintah, Palapa Ring akan difokuskan untuk mendukung sektor e-Pemerintah, e-Kesehatan, e-Pendidikan, e-Logistik, dan e-Pengadaan. Selain itu, Palapa Ring juga dimanfaatkan untuk internet dan penyiaran.
Warga Agats rindu akan kehadiran internet cepat, yang persis sama kekuatannya ketika Presiden Joko Widodo datang mengunjungi mereka pada 2018 lalu.
“Waktu Presiden Jokowi ke sini, mungkin kecepatan internet kami lebih cepat dari Jakarta,” tutur salah seorang warga Agats.
Editor: Windu Jusuf