Menuju konten utama

3 Dara 2: Cerita Lawas tentang Cowok-cowok Mokondo

Monty Tiwa menyebut misoginis, male-chauvinist, dan mengutip-ngutip Sigmund Freud dalam film terbarunya 3 Dara 2. Intinya ingin bilang jika perempuan harusnya bukan cuma di dapur, kasur, dan sumur.

3 Dara 2: Cerita Lawas tentang Cowok-cowok Mokondo
Tora Sudiro dalam adegan film 3 Dara 2. FOTO/MNC Pictures

tirto.id - Seorang ayah baru pulang kerja dan duduk di sofa. Di lantai, ia melihat sang putri sedang menggambar seorang superhero perempuan, lengkap dengan topeng dan jubah. Lalu, ia bertanya pada sang anak: “Itu adek ya?”

“Ini Superbunda,” jawab bocah perempuan berkuncir dua.

“Kekuatan Superbunda apa?”

“Banyak. Bangun pagi, kerja, masak.”

“Kalau ayah?”

“Ayah cuma ngantor. Bunda, udah ngantor masih kuat masak.”

Muka si ayah langsung murung. Ia tertegun, kemudian mendatangi sang istri di dapur yang sedang memasak. “Maaf ya enggak pernah bantu. Harusnya, kalau kamu bisa kerja, aku juga bisa masak,” kata sang suami sambil mengambil alih kendali sudip dari tangan istrinya.

Adegan di atas adalah iklan kecap ABC yang baru rilis Oktober ini. Iklan itu sempat viral di twitter karena pesan kesetaraan yang terkandung di dalamnya. Dalam durasi relatif singkat (cuma 45 detik), iklan tersebut berhasil melempar pesan pekat tentang bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki membangun keluarga yang setara, saling menghormati, dan saling mengerti.

Lalu, apa hubungannya dengan film terbaru Monty Tiwa?

Sesungguhnya tak ada, kecuali sama-sama ingin menyebarkan pesan serupa tentang kesetaraan. Sayangnya, pesan itu disampaikan Monty Tiwa dengan bertele-tele. Selama 1 jam 28 menit, film 3 Dara 2 justru hadir dengan resolusi konyol dan humor kering sehingga bikin pesan yang ingin disampaikan malah melempem.

Pesan Kesetaraan yang Bias Gender

Film 3 Dara 2 sebenarnya adalah sekuel film sebelumnya—3 Dara—yang tayang September 2015 lalu. Film 3 Dara disutradarai Ardy Octaviand, sementara 3 Dara 2 digarap Monty Tiwa. Namun, premisnya tak jauh beda. Film ini ingin memotret fenomena laki-laki misoginis yang lahir dari budaya patriarki. Tiga tokoh utamanya adalah Afandi (Tora Sudiro), Jay (Adipati Dolken), dan Richard (Tanta Ginting).

Pada film sebelumnya tiga konco kenthel ini mengalami perubahan sikap setelah disumpahi seorang pelayan perempuan di sebuah diskotek. Perempuan itu tersinggung karena digoda ketiganya, sapai-sampai mengutuk mereka agar jadi perempuan suatu saat nanti, supaya paham rasanya jadi perempuan. Tak lama setelah kejadian itu, Afandi, Jay, dan Richard berubah jadi feminin dan mulai lebih peka pada perasaan pasangan-pasangannya.

Selama masa perubahan sikap itu, mereka didiagnosis mengalami gender dysphoria oleh psikolog Windi (Rianti Cartwright). Kondisi itu biasanya terjadi dialami para transgender.

Di ujung film, ternyata terkuak tiga pria misoginis itu bukan dikutuk. Perubahan sikap itu rupanya cuma bentuk ketakutan alam bawah sadar mereka. Di akhir cerita, kita juga diberitahu bahwa ternyata psikolog Windi adalah seorang transgender.

Film 3 Dara versi Octaviand memang punya pesan agar para pria lebih menghormati perempuan. Namun, cara yang ia gunakan di sekujur film justru sangat menegaskan seksisme. Ketakutan Afandi atas keriput di wajah dan lemak yang menumpuk di perutnya, perasaan sensitif Jay yang mengaku punya nilai seni tinggi, dan ketakutan Richard yang tak dapat balasan pesan pacar-pacarnya dibingkai film ini sebagai sifat feminin yang jadi penanda gender dysphoria.

Tentu saja, selain tidak valid, premis dangkal ini tidak sensitif pada mereka yang transgender.

Versi Monty Tiwa sama saja. Bahkan lebih dangkal.

Dalam 3 Dara 2 ini, ketiga sahabat tersebut harus terpaksa menjadi “Ibu Rumah Tangga”. Definisi perempuan kemudian disekat sebatas: belanja kebutuhan rumah tangga, membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan menyiapkan sarapan untuk istri-istri mereka, Aniek (Fanny Fabriana), Kasih (Rania Putrisari) dan Grace (Ovi Dian).

Lewat putaran plot yang juga dangkal, Afandi, Jay, dan Richard akan menyerah dengan semua pekerjaan domestik tersebut, dan kembali mendatangi psikolog Windi. Kali ini mereka disebut misoginis dan male-chauvinist. Psikolog Windi tampaknya sudah buka-buka lagi buku bacaannya saat kuliah, sehingga tak meleset mendiagnosis para pria yang memang secara tidak sadar sangat membenci hal-hal feminin dan perempuan (misoginis).

Deborah Prentice dan Erica Carranza dari Universitas Princeton punya studi yang membuktikan tentang stereotip yang melekat dalam dunia gender biner—di mana orang-orang percaya hanya ada dua jenis kelamin di dunia ini: laki-laki yang dilekatkan dengan sifat maskulin, dan perempuan dengan sifat feminin.

Sifat maskulin yang erat dengan laki-laki diidentikkan sebagai: pemimpin, agresif, ambisius, analitis, tegas, atletik, kompetitif, keras pendirian, dominan, kuat, bersifat kepemimpinan, mandiri, individualis, mudah membuat keputusan, mandiri, punya sikap, kuat, dan berani ambil risiko.

Sementara watak feminin yang lekat pada perempuan berstereotip: pengasih, ceria, kekanak-kanakan, mudah tersentuh, tidak bermulut kasar, senang menenangkan perasaan sakit hati, gampang tersanjung, mudah ditipu, mencintai anak-anak, setia, peka terhadap kebutuhan orang lain, pemalu, lembut, berempati, mudah memahami, hangat, dan penurut.

Padahal berapa banyak dari kita yang punya adik perempuan yang susah diatur? Tidakkah ada banyak ibu yang mandiri dan pemberani? Apa betul keputusan laki-laki selalu logis? Memangnya hanya perempuan yang cengeng dan tidak ada satu pun laki-laki yang tidak pernah mewek?

Tak sedikit orang yang sangat mudah meyakini bahwa sifat-sifat yang dimiliki laki-laki dan perempuan sebagai bawaan lahir dan/atau kodrat. Afandi, Jay, dan Richard adalah contohnya dalam semesta 3 Dara.

Perbedaan antara jenis kelamin dan gender pertama kali dikemukan oleh John William Money pada 1955. Seksolog dan psikolog ini juga mengenalkan istilah "orientasi seksual"—terminologi yang digunakan untuk menjelaskan arah kencenderungan seksual seseorang. Contoh-contoh orientasi seksual adalah heteroseksual (tertarik pada lawan jenis), homoseksual (tertarik pada sesama jenis), aseksual (tidak tertarik pada jenis kelamin apapun), serta biseksual (tertarik pada lawan dan sesama jenis).

Dalam konsep Money, seseorang berjenis kelamin lelaki belum tentu bergender maskulin. Sebagaimana seorang transgender perempuan alias waria pasti hanya akan tertarik melakukan seks dengan pria. Konsep Money membantu menjelaskan bahwa sebagian orang terlahir sebagai laki-laki dan bertransformasi jadi perempuan, tapi tetap tertarik untuk berhubungan seks dengan perempuan pula. Contohnya, bintang Youtube Gigi Gorgeous.

Bahkan dalam kajian gender hari ini yang sudah lebih berkembang, dikenal pula identitas seksual bernama panseksual—terminologi yang menggambarkan ketertarikan pada seluruh gender dan orientasi seksual. Artinya, seorang panseksual benar-benar tidak melihat ekspresi identitas seksual seseorang. Ia bisa tertarik pada cisgender, lesbian, gay, ataupun transeksual. Misalnya Miley Cyrus.

Teori Money pula yang menjelaskan mengapa pria berpakaian perempuan dan perempuan berpakaian pria di komik Jepang bisa saling jatuh cinta, dan sesekali diberi adegan ciuman atau senggama.

Alasannya, karena pakaian tak ada kaitannya dengan kemudi selangkangan.

Infografik Misbar 3 dara 2

Humor Kering dan Representasi Konyol Orang Kaya

Selain narasi melempem dan kuno tentang menghormati perempuan, ihwal paling menonjol dari 3 Dara 2 adalah humornya.

Humornya yang kering.

Hidup tiga sekawan Afandi, Jay, dan Richard dijejali plot-plot konyol hanya demi menunjukkan betapa misoginisnya mereka. Misalnya, Afandi bertemu Eyang Putri (Cut Mini), ibu mertuanya yang benci dengan pria-pria misoginis macam dirinya. Eyang Putri selalu melabeli mantunya itu dengan julukan Mukondo, alias Modal K**tol Doang. Plot ini sebenarnya konyol, mengingat Afandi sudah 20 tahun lebih menikah dengan Aniek, tapi kebencian Cut Mini pada menantunya itu tak ada habisnya, sampai-sampai merencanakan sebuah konspirasi licik yang sebetulnya nirfaedah. Ia menyewa Bowo (Dwi Sasono) untuk menipu Afandi dan dua sahabatnya.

Walhasil, ketiganya ke sana kemari mencari keberadaan Bowo. Bandingkan dengan film pertama: mereka sibuk mencari Mel—perempuan yang mengutuk mereka.

Afandi dikisahkan menginvestasikan uangnya sebesar Rp20 miliar pada Bowo. Totalnya jadi Rp45 miliar, ditambah sumbangan dari Jay dan Richard. Cara mereka bernegosiasi dan akhirnya sepakat berinvestasi digambarkan sangat konyol: lewat beberapa baris dialog belaka, tanpa pertimbangan yang betul-betul matang, selain hanya ingin keuntungan yang lebih besar.

Untuk orang yang punya uang sebanyak itu, dan sudah berpuluh-puluh tahun bekerja dan memimpin perusahaannya sendiri, tentu saja keputusan Afandi terlihat konyol. Anggap saja dua sahabat lainnya memang tolol belaka, atau cuma percaya belaka pada keputusan Afandi. Kemungkinan besar, Monty Tiwa meloloskan adegan konyol itu karena ingin menyelipkan unsur humor.

Mungkin ia yakin jika sebagian orang akan tertawa menonton Tora Sudiro, Adipati Dolken, dan Tanta Ginting dibodoh-bodohi Dwi Sasono. Mungkin juga ia yakin jika sebagian besar penontonnya bukan orang kaya (yang biasa melihat uang Rp45 Miliar diinvestasikan), sehingga tidak akan menganggap adegan itu absurd dan ikut tertawa saja.

Padahal, mungkin saja orang superkaya yang akan tertawa menonton penggambaran konyol Monty Tiwa yang coba merepresentasikan gaya hidup mereka.

Atau, mungkin durasi 1 jam 28 menit terlalu panjang buat Monty Tiwa menggambarkan film yang mempromosikan kesetaraan, tapi tetap lucu. Mungkin dia cuma butuh durasi 45 detik a la iklan kecap ABC.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Penulis: Aulia Adam
Editor: Windu Jusuf