tirto.id - Setiap tanggal 20 Mei, Indonesia memperingati hari kebangkitan nasional. Pemilihan tanggal tersebut merujuk kepada pendirian Boedi Oetomo (BO) yang ditulis dalam kanon sejarah resmi sebagai momen lahirnya kesadaran kebangsaan (national consciousness) di Hindia Belanda.
Tapi benarkah kesadaran nasional pertama kali dirintis oleh BO?
Banyak kalangan mempertanyakan dasar pemilihan BO sebagai pelopor kesadaran kebangsaan. Salah satu alasannya, berdasarkan kajian Akira Nagazumi (1972) mengenai sejarah awal BO, organisasi ini semata-mata bertujuan “memajukan kerjasama untuk pembangunan rakyat Jawa dan Madura secara harmonis”. Keanggotaanya masih berdasarkan etnisitas dan imajinasi teritorialnya sebatas Jawa.
Mereka yang menolak BO sebagai simbol kebangkitan nasional seringkali mengajukan Sarekat Islam (SI) yang dianggap lebih pantas. Organisasi ini, meminjam pernyataan Laffan (2002), lebih “merepresentasikan gerakan massal yang mempunyai anggota di seluruh Hindia”. SI memiliki anggota dan simpatisan hingga ratusan ribu orang di tahun 1910an. Secara garis politik pula organisasi ini dianggap lebih radikal melawan pemerintah kolonial dibandingkan BO sehingga kebangkitan nasional dianggap lebih terwakili oleh gerakan massa SI.
Boedi Oetomo Dipilih pada 1948
Pemilihan organisasi priyayi Jawa BO sebagai pelopor kesadaran kebangsaan memang didasari oleh pertimbangan politik negara alih-alih ilmiah. Sejarawan Hilmar Farid (2014) merujuk tahun 1948, ketika pertama kalinya pemerintah Indonesia memperingati hari kelahiran BO sebagai tonggak kebangkitan nasional. Pada 1948 itu, Indonesia sedang menghadapi risiko disintegrasi akibat berbagai konflik di daerah dan perseteruan politik antara partai/organisasi politik di tingkat nasional. Di sisi lain, Indonesia membutuhkan persatuan nasional untuk menghadapi Belanda yang ingin kembali berkuasa di Indonesia.
Resah menyaksikan situasi tersebut, Ki Hadjar Dewantara dan Radjiman Wediodiningrat mengusulkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Ali Sastroamidjojo untuk mengusahakan persatuan nasional. Dalam buku Dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan (1952) Ki Hadjar Dewantara menulis bahwa “sejak berdirinya pada 17 Agustus 1945 Republik kita tidak terluput dari banyak kesukaran-kesukaran yang beranekawarna, baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri kita sendiri … Selama kita ada di dalam perpecahan, gampang sekalilah tiap-tiap musuh dapat mengalahkan kita”.
Sebuah panitia pun dibentuk dan diketuai Ki Hadjar Dewantara untuk mencari peristiwa bersejarah yang kira-kira dapat menjadi simbol persatuan politik. Akhirnya, berangkat dari konsensus anggota-anggota panitia dan berdasarkan anjuran Bung Karno, maka “diadakan peringatan secara besar-besaran hari 20 Mei 1908 sebagai hari kebangunan nasional, hari lahirnya cita-cita kemerdekaan nusa dan bangsa, hari timbulnya tekad untuk bersatu wutuh, agar dapat menghadapi segala kesukaran bersama” (Dewantara, 1952).
Kelahiran BO dipilih dengan alasan organisasi ini merupakan organisasi modern pertama yang memulai penggalangan kesatuan nasional sebagai antitesis dari pemerintah kolonial Belanda.
Pemilihan BO sebetulnya adalah jalan tengah—pilihan yang paling moderat saat itu. Di tengah pergolakan politik antara kelompok kiri dan kanan, memilih organisasi yang mempunyai akar terkait dengan kelompok yang bertikai hanya akan menimbulkan gejolak politik lebih besar alih-alih persatuan (Farid, 2014). Meski kurang proporsional mewakili kesadaran identitas nasional, BO dianggap sebagai organisasi yang mewakili perwujudan kesadaran baru untuk meninggalkan keterbelakangan dan kemiskinan.
Dengan kata lain, perayaan tahunan kebangkitan nasional yang merujuk pada tanggal lahir BO adalah politik historiografi pemerintah dalam rangka menjawab tantangan ‘darurat politik’.
Pertanyaannya, jika bukan BO, organisasi mana yang sebetulnya menyusun konsep kesadaran nasional modern?
Akar-Akar Gagasan Indonesia Modern
Sulit disangkal bahwa transformasi identitas baru bumiputera di Hindia Belanda awalnya dipengaruhi secara signifikan oleh penyebaran pendidikan Belanda kepada orang Indonesia sejak akhir abad ke-19. Menurut Elson (2008), meski awalnya sempat dicurigai, pendidikan Barat menyediakan alat analitis untuk “membentuk kembali kesadaran bumiputera yang baru serta sarana menghadapi dan menguasai modernitas”.
Kemunculan gairah kesadaran nasional diperkuat lagi oleh kepopuleran media cetak baru seperti Bintang Hindia, Retno Doemilah dan Pewarta Prijaji (Elson, 2008). Melalui Bintang Hindia, Abdul Rivai pertama kali memperkenalkan konsep “kaoem muda” sebagai seluruh penduduk Hindia Belanda (tua dan muda) yang tidak bersedia mengikuti atoeran koeno, tetapi sebaliknya: antusias untuk meningkatkan kapasitas diri melalui ilmu dan pengetahuan (Adam, 1995). Ia menyebarkan dan mempopulerkan ide tentang “kemajuan”, mendorong para priyayi untuk tidak menjadi “bangsawan usul” (the nobility by birth) tapi menjadi “bangsawan pikiran” (the nobility by intellect).
Dipengaruhi oleh gagasan dalam tulisan Rivai, Wahidin Soedirohoesodo kemudian menyatakan bahwa para priyayi (bukan kaum ningrat dan birokrat) wajib membangun sebuah asosiasi demi kemajuan (Abdullah, 2009). Pada 1908, visi perubahan itu diterima dengan penuh semangat oleh para priyayi Jawa melalui pendirian organisasi Boedi Oetomo. Elson menyebutkan, BO merupakan perwujudan kesadaran baru dan solidaritas sosial di antara sejumlah kecil orang Jawa untuk meningkatkan kebanggaan atas budaya sendiri (Elson, 2008).
Pada tahun yang sama, sejumlah kecil mahasiswa Indonesia di Belanda yang menempuh pendidikan tinggi membentuk sebuah perkumpulan bernama Indische Vereeniging (IV) atau perkumpulan orang Hindia. Awalnya, organisasi ini diusulkan untuk menjadi cabang BO di Belanda. Namun, usulan ini ditolak dokter Apituly dari Ambon.
Penolakan ini memperlihatkan tumbuhnya rasa kesamaan nasib mereka adalah saudara sebangsa. Maka dari itu, perkumpulan yang dibentuk tak hanya beranggotakan orang Jawa saja tetapi semua suku di Hindia Belanda (Elson, 2009; Poeze, 2008). Dibandingkan BO, IV telah menyusun konsep yang lebih modern mengenai “identitas luas Hindia sebagai satu negara” dan “penduduknya sebagai satu bangsa di atas pengelompokan suku yang menyusunnya (Elson, 2009).
Yang tidak kalah pentingnya dalam penyusunan gagasan kebangsaan yang lebih modern datang dari seorang jurnalis dan wiraswastawan bernama R.M. Tirtoadhisoerjo. Orang ini disebut oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai “sang pemula” karena berperan besar dalam sejarah awal pers pergerakan di Indonesia. Tirtoadhisoerjo dikenal dengan kritik-kritik tajam dalam tulisan-tulisannya yang terbit di Medan Prijaji (1907), koran yang ia dirikan.
Pada 1909 Tirtoadhisoerjo mendirikan organisasi bernama Sarekat Dagang Islam (kemudian menjadi SI) di Bogor. Organisasi yang didirikannya ini bertujuan mengangkat status kaum Mardika (pedagang, petani dan artisan) di bawah panji Islam (Abdullah, 2009). Sejak 1912, SI bertransformasi menjadi gerakan politik massa dengan Islam sebagai penanda ‘solidaritas nasional’ dan ‘pribumi’ di bawah kepemimpinan kharismatik Tjokroaminoto.
Namun, sumbangan Tirtoadhisoerjo lainnya yang juga penting adalah fakta bahwa ia mempertegas gagasan bangsa. Hal ini tercermin dalam motto yang digunakan Medan Prijaji:“soera bagi sekalian Radja-radja, Bangsawan Asali dan fikiran, prijaji dan saudagar Boemipoetra dan officier-officier serta saudagar-saudagar dari bangsa jang terprentah laennja jang dipersamakan dengan Anaknegri di seloeroeh Hindia Olanda” (Shiraishi, 1997).
Menurut Takashi Shiraishi dalam karya klasiknya Zaman Bergerak:Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997), Tirtoadhisoerjo telah membayangkan “bangsa” dengan batasan yang jelas atau dalam kata-katanya sendiri sebagai “Anaknegri Hindia Belanda". Tirtoadhisoerjo merupakan arketipepemimpin pergerakan dekade berikutnya dan bumiputera pertama yang menggerakkan “bangsa” melalui bahasanya, yaitu bahasa yang ditulisnya melalui Medan Prijaji (Shiraishi, 1997).
Namun, gerakan yang jauh lebih vital lagi ketimbang BO dan SI adalah organisasi Indische Partij (IP/Partai Hindia) yang didirikan oleh tiga serangkai Douwes Dekker, Soewardi Suryaningrat dan Tjiptomangoenkoesomo pada 1912. Tiga pemikir ini yakin bahwa dasar gagasan Indonesia bukanlah kesatuan yang dibangun atas solidaritas etnis atau keterikatan keagamaan, melainkan rasa kesamaan pengalaman dan solidaritas khusus yang mengalir darinya (Elson, 2008). IP adalah kelompok politik nasional pertama yang menyerukan gagasan “kemerdekaan untuk bangsa Hindia”.
Meski anggota Indo mereka lima kali lipat lebih banyak daripada bumiputera, IP ingin membangun Hindia berdasarkan kesetaraan kemanusiaan sekuler yang tidak memandang perbedaan ras, agama, intelektualitas dan budaya. Berbeda dengan BO dan SI yang dibangun atas reaksi terhadap keterbelakangan dan kemiskinan, sejak awal eksistensi IP merupakan respon terhadap logika negara kolonial (Abdulah, 2009). IP ingin membangkitkan spirit patriotisme semua orang Hindia agar bekerja sama atas dasar kesetaraan politis untuk mengembangkan dan memerdekakan Hindia.
Dekker menulis surat kepada ratu Belanda pada April 1913, “negeri ini bukan negeri milik anda, negeri ini adalah negeri milik kami, tanah air kami, kelak negara ini akan bebas selamanya” (Elson, 2008). Puncaknya, pada acara perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis di tahun 1913, Soewardi menulis pamflet radikal, “Als ik eens Nederlander was” (Jika Saya Seorang Belanda). Soewardi menyatakan bahwa seandainya saya seorang Belanda, “tidak bijak menyelenggarakan perayaan kemerdekaan Belanda di tanah yang penduduknya tidak kita beri kemerdekaan. Berikanlah dulu kemerdekaan terhadap bangsa terjajah itu, barulah kita merayakan kemerdekaan kita sendiri” (Suryaningrat, 1913).
Tulisan Soewardi, memancing kemarahan pemerintah Belanda. IP pun dibubarkan karena dianggap terlalu radikal dan membahayakan ketertiban umum. Tiga serangkai akhirnya diasingkan ke Belanda. Meskipun dibubarkan, cita-cita IP rupanya telah mengakar dan turut menajamkan fokus identitas nasional baru yang ditempa oleh generasi pergerakan selanjutnya.
Sebagai eksil, tiga serangkai IP tak menjadi pesakitan di Belanda. Mereka malah mendorong perubahan di dalam tubuh Indische Vereeniging (IV) agar lebih politis dan memerhatikan pergerakan di Hindia Belanda. Soewardi menjadi pemimpin redaksi Hindia Poetra, majalah bulanan milik IV. Soewardi—via Hindia Poetra—adalah orang yang pertama kali tercatat mengunakan dan mempopulerkan kata “Indonesia”. Padahal, di Hindia Belanda sendiri, kata Indonesia justru masih jarang dipakai.
Apa yang penting dari eksplorasi genealogis ini adalah bahwa BO sebenarnya tidak merepresentasikan perwujudan kebangkitan nasional atau gagasan Indonesia modern. Ia hanyalah satu mata rantai dalam proses kebangkitan nasional.
Dalam Nyanyi Seorang Bisu I (2000), Pramoedya Ananta Toer memberikan catatan tajam tentang hal ini: “Kebangkitan nasional bukanlah satu peristiwa sebagaimana biasanya umum menganggap, dan dihubungkan dengan Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Kebangkitan nasional adalah suatu proses, satu periode, dalam mana lahirnya Boedi Oetomo bukanlah satu-satunya peristiwa sejarah, tetapi satu mata rantai belaka dan tidak lebih, juga tidak lebih penting daripada yang lain, juga tidak kurang penting daripada yang lain”.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.