Menuju konten utama

Zaha Hadid Si Ratu Lekukan

Dunia arsitektur kepalang lekat dengan laki-laki. Hampir tak ada arsitek perempuan yang karya-karyanya monumental seperti karya almarhumah Zaha Hadid.

Zaha Hadid Si Ratu Lekukan
Zaha Hadid Google Doodle. FOTO/Google

tirto.id - Seorang perempuan paruh baya tersenyum dengan lipstik berwarna gelap, senada dengan rambut dan pakaiannya yang juga gelap. Dibalut mantel bergelombang hitam, ia berdiri di depan sebuah gedung dengan gaya arsitektur yang meliuk-liuk. Di depannya tertulis bacaan Google yang juga meliuk-liuk hingga nyaris tak terbaca.

Perempuan itu adalah Zaha Hadid, arsitek ternama kelahiran Irak yang kemudian juga jadi warga Inggris. Ilustrasi di atas adalah Google Doodle hari ini, untuk merayakan prestasi Hadid sebagai perempuan pertama pemenang Pritzker Architecture Prize, tepat 13 tahun lalu.

Anugerah itu bukan satu-satunya prestasi Hadid. Ia juga mengoleksi dua piala Stirling Prize, berturut-turut pada 2010 dan 2011. Menjadikan ia satu-satunya perempuan yang mendapatkan piala itu dua kali. Pada 2012, Ratu Elizabeth II bahkan menganugerahi Hadid gelar kebangsawanan Dame, semacam Sir untuk pria. Tentu saja karena sumbangsih Hadid dalam dunia arsitektur, tak hanya di Inggris, tapi juga di dunia. Dan pada 2015, ia menjadi perempuan pertama yang dianugerahi Royal Gold Medal dari Royal Institute of British Architects.

Prestasi-prestasi itu masih berlanjut dalam daftar panjang, sepanjang daftar karya-karya Hadid yang hadir hampir di semua negara di seluruh dunia. Ia membangun Heydar Aliyev Center di Baku, Azerbaijan, gedung penuh liukan yang muncul di Google Doodle hari ini. Di Korea Selatan, kita bisa menikmati karya Hadid di Dongdaemun Design Plaza. Di Austria, spirit Hadid tertanam dalam karyanya: Perpustakaan dan Pusat Belajar, Universitas Wina. Di Hong Kong dan Cina, ada Innovation Tower dan Wangjing SOHO Tower.

Karya-karya besarnya bahkan jadi ikon di sejumlah negara maju. Macam Jembatan Pavilion di Saragosa, Spanyol; Jembatan Syeikh Zayed di Abu Dhabi; gedung MAXXI di Roma, Italia; The Riverside Museum di Skotlandia; Vitra Fire Station di Jerman; dan Guangzhou Opera House di Guangzhou, Cina.

Dalam dekade terakhir, nama Zaha Hadid jadi salah satu yang paling sering disebut di dunia arsitektur. Kematian mendadaknya pada 31 Maret tahun lalu jadi berita mengejutkan bagi banyak orang.

“Dia arsitek besar. Perempuan gemilang, dan manusia hebat,” kata Richard Rogers, seorang arsitek kenamaan lain yang terkenal karena karyanya Pompidu Centre dan Millenium Dome, dalam wawancaranya dengan The Guardian. “Di antara para arsitek yang melambung dalam dekade terakhir, tak ada yang lebih memberi dampak seperti dia. Dia memperjuangkan jalannya sebagai wanita.”

Rogers adalah salah satu orang yang menyaksikan awal karier Hadid. Ia pernah terlibat bekerja sama dengan Hadid dalam sebuah proyek di Cardiff, ibu kota Wales di Britania Raya. “Pemerintah waktu itu melemparnya keluar dari proyek itu dengan cara paling tercela,” kata Rogers.

Hadid memang dikenal sebagai wanita pendobrak nilai-nilai normatif di lahan yang didominasi pria. Ia selalu dikaitkan sebagai ikon arsitektur perempuan, arsitektur arab, dan arsitektur muslimah. Tapi bagi Hadid sendiri, ia hanya ingin diakui sebagai arsitek belaka.

“Saya tak pernah pakai isu arsitektur perempuan,” ungkap Hadid dalam wawancara dengan Icon Magazine. Tapi, di saat yang sama, Hadid tak pernah menampik kalau dunia kerja yang digelutinya memang bukan dunia yang memperlakukan perempuan dengan baik.

Dalam wawancaranya dengan Business Insider pada 2013, Hadid mengatakan ia menghadapi perilaku-perilaku paling misoginis di London—negeri yang menaturalisasinya menjadi warga negara—ketimbang tanah lain di Eropa.

“Aku bukan orang Eropa. Aku juga tak melakukan hal-hal konvensional, dan aku seorang perempuan,” kata Hadid. Karena satu dan lain hal, tiga faktor itu bisa membuat pekerjaannya jadi gampang, “tapi di lain sisi, ia juga mempersulit,” tambahnya.

Di wawancara lain, ia bilang, “Kalau isu arsitek perempuan bisa membantu anak-anak muda mendobrak batas, saya tak keberatan.”

Despina Stratigakos yang menulis buku Where Are the Women Architects? menyebut kepergian Hadid sebagai kehilangan besar bagi dunia arsitektur. “Kita kehilangan teladan di lahan yang bahkan cuma punya sedikit teladan,” kata Stratigakos. “Bukannya bermaksud mengatakan tak ada perempuan berprestasi dan menginspirasi lainnya di tanah arsitektur, tapi tak ada yang melampaui kemenonjolan Hadid—bahkan bagi sejumlah arsitek laki-laki.”

Infografik Ibu Arsitektur Modern

Stratigakos tak berlebihan. Hadid bukan cuma unggul karena ia adalah salah satu arsitek perempuan di antara lautan arsitek laki-laki, tapi karena karya-karyanya juga diakui punya dampak besar dalam dunia arsitektur modern.

Desain-desain Hadid dikenal sulit, unik, dan punya filosofi tinggi. Karya-karya itu biasanya terinspirasi dari pemandangan di sekitarnya. Misalnya, garis lurus dan sudut tajam Vitra Fire Station di Jerman terinspirasi dari kebun anggur dan lahan pertanian di dekat situ. London Aquatic Centre punya atap yang benar-benar terlihat seperti gelombang ombak. Sementara stadium di Qatar, yang masih dalam tahap pembangunan untuk dipakai FIFA Piala Dunia 2022, sempat jadi kontroversi karena atapnya dinilai mirip vagina.

Ketika aplikasi-aplikasi desain grafis untuk komputer belum ditemukan, Hadid tak membatasi dirinya untuk membangun gedung-gedung berliuk-liuk itu. Ia menggunakan metode fotokopi inovatif yang dirancangnya sendiri untuk membuat bentuk-bentuk yang kompleks. Karena keunikan karya-karya itu, ia dijuluki The Guardian sebagai Ratu Lekukan, sementara Al Jazeera menjulukinya Ibu Arsitektur Modern.

Tapi julukan paling pas untuk Hadid mungkin adalah yang disematkan mentornya Rem Koolhas, dari Architectural Association School of Architecture. Koolhas menyebut muridnya yang unik itu sebagai: “Planet di orbitnya yang tak tertandingi."

Baca juga artikel terkait GOOGLE atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani