tirto.id - Joko Widodo menggenapi tugasnya sebagai Presiden ke-7 Republik Indonesia dengan memberikan pidato kenegaraan di hadapan pimpinan dan anggota DPR, DPD, serta tamu undangan, Jumat hari ini (16/8/2019).
Durasi 40 menit dia gunakan untuk memaparkan sejumlah pencapaian pemerintah, termasuk transparansi keuangan negara dan sistem peradilan berbasis online. Dia juga menjelaskan ada sejumlah pekerjaan rumah yang mesti segera diselesaikan, termasuk "peningkatan kualitas dan kultur aparat."
Ini adalah kali kelima Jokowi berpidato di hadapan DPD-DPR. Pidato kenegaraannya yang pertama terjadi pada 14 Agustus 2015, sisanya selalu satu hari sebelum hari kemerdekaan. Transkrip lengkap pidato Jokowi bisa diakses di laman Setkab.
Beragam hal dia utarakan dalam lima kali kesempatan itu. Ada hal tertentu yang dia bahas tahun sekian, tapi lantas tidak dibicarakan lagi tahun berikutnya. Kadang yang ia bahas adalah isu-isu spesifik yang tengah terjadi.
Hanya satu yang tak pernah luput dari pidatonya: betapa pentingnya Pancasila dalam kehidupan bernegara.
Singkatnya, ada yang timbul dan tenggelam dalam pidato kenegaraan Jokowi.
Yang Timbul
Satu istilah yang baru muncul dari pidato Jokowi hari ini adalah "disrupsi". Mengacu pada KBBI, disrupsi berarti "hal tercabut dari akarnya." Tapi dalam konteks pidato Jokowi, disrupsi mengacu pada perubahan-perubahan cepat yang terjadi karena revolusi industri 4.0--isu yang pertama kali diutarakan Jokowi pada pidato kenegaraan tahun lalu.
Di era disrupsi ini, kata Jokowi dengan nada meyakinkan, "kemapanan bisa runtuh; ketidakmungkinan bisa terjadi. Jenis pekerjaan bisa berubah setiap saat; banyak jenis pekerjaan lama yang hilang. Tetapi juga makin banyak jenis pekerjaan baru yang bermunculan. Ada profesi yang hilang; tetapi juga ada profesi baru yang bermunculan."
Ini tidak terhindarkan, katanya. Satu-satunya jalan agar selamat dari itu adalah kita, semua orang, "harus berubah." "Cara-cara lama yang tidak kompetitif tidak bisa diteruskan. Strategi baru harus diciptakan," kata Jokowi.
Hal baru lain yang dinyatakan Jokowi adalah dia akan menggabungkan "organisasi yang tumpang tindih fungsinya." Meski tidak eksplisit, ini tidak bisa dilepaskan dari pernyataan Jokowi sebelumnya yang hendak menggabung beberapa kementerian jadi satu pada periode kedua pemerintahannya.
Jokowi juga bicara pemindahan ibu kota, isu yang kembali menghangat awal tahun ini.
Seperti hendak memastikan kalau itu tak hanya sekadar ide seperti yang sudah-sudah, dalam pidato itu ia meminta izin ke anggota DPR, sesepuh, tokoh bangsa, terutama seluruh rakyat, "untuk memindahkan ibu kota negara kita ke Kalimantan" tanpa menyebut lokasi persisnya.
"Ini demi visi Indonesia Maju. Indonesia yang hidup selama-lamanya," katanya.
Yang Tenggelam
Ada yang timbul, ada pula yang tenggelam. Salah satu yang tenggelam dalam pidato kenegaraan 2019 adalah persoalan Papua.
Saat pertama kali berpidato kenegaraan sebagai Presiden pada 14 Agustus 2015, Jokowi mengatakan tanah Papua mendapat perhatian "khusus" darinya sebagai Presiden terpilih. Dia berjanji membangun Papua--termasuk menjanjikan jalur kereta--dan menjadikan pulau besar paling timur di Indonesia itu sebagai "tanah damai."
"Kerusuhan seperti Tolikara seharusnya tidak terjadi lagi di masa depan. Pemerintah memberikan akses bagi wartawan asing untuk masuk dan meliput di Papua."
Dia mengaku dekat dengan Papua karena kakek istrinya, Iriana, adalah guru di Papua selama bertahun-tahun. Nama istrinya pun diambil dari kata Irian, nama Papua sebelum diganti di era Presiden Abdurrahman Wahid.
Satu tahun kemudian, dalam pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2016, Papua tak disinggung sama sekali. Sementara pada pidato ketiga pada 16 Agustus 2017, kata "Papua" muncul lagi, tapi konteksnya berbeda sama sekali dibanding 2015.
Tak ada lagi pembicaraan soal "tanah damai" atau hal-hal terkait hak-hak sipil-politik.
Yang Jokowi singgung adalah perkara pembangunan di Papua, termasuk kebijakan BBM satu harga. "Kebijakan BBM satu harga agar saudara kita di Tanah Papua menikmati harga yang sama dengan harga di Jawa dan daerah lain di Indonesia."
Soal BBM satu harga nir isu sipil-politik juga ia ungkapkan lagi pada pidato kenegaraan tahun lalu. Dan tahun ini, sama sekali tak ada Papua dalam pidato Jokowi.
Juga tak ada lagi janji pemerintah menyelesaikan sengketa lahan/konflik agraria, padahal dia tegas mengatakan soal itu pada pidato tahun 2015, 2017, dan 2018.
"Pemerintah juga berkomitmen untuk melindungi masyarakat adat yang menghadapi konflik agraria," tegas Jokowi pada pidato kenegaraan pertamanya.
Pada 2017 dan 2018, Jokowi mengatakan agar konflik tidak terjadi, yang pemerintah lakukan adalah percepatan sertifikasi, "sehingga rakyat memiliki kepastian hukum atas kepemilikan aset dan dapat mereka manfaatkan untuk kegiatan ekonomi produktif."
Faktanya: konflik agraria ini terus terjadi di era Jokowi. Organisasi non-pemerintah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut sepanjang 2017 ada 659 konflik (rata-rata dua konflik per hari), meningkat 50 persen ketimbang tahun sebelumnya. 216 orang ditahan karena masalah ini tanpa prosedur yang jelas. Dan kebijakan reforma agraria Jokowi, kata Sekjen KPA Dewi Kartika, "tidak menyelesaikan konflik yang ada."
"Reforma agraria akhirnya hanya diterjemahkan sebagai pembagian sertifikat ke masyarakat secara umum, yang padahal memang kewajiban kementerian ATR," kata Dewi, Mei lalu.
Di antara sekian banyak isu yang tenggelam itu, barangkali yang paling menarik dibahas adalah aspek Hak Asasi Manusia (HAM)--yang jadi alasan banyak orang kenapa pada 2014 lalu memilihnya sebagai Presiden ketimbang Prabowo Subianto. Ini juga merupakan janji Jokowi yang tercatat dalam Nawacita.
Joko Widodo hanya sekali bicara soal pelanggaran HAM berat. Itu terjadi pada 2015.
Kata Jokowi saat itu, pemerintah berkomitmen "membentuk komite rekonsiliasi untuk pelanggaran HAM berat."
Tak ada lagi janji semacam ini pada tahun-tahun berikutnya, pun dengan realisasi pembentukan komite. Pada pidato 2016, dia hanya bilang Indonesia tidak akan menjadi bangsa pemenang "apabila tidak menghargai hak asas manusia." Lalu pada 2017 dia menyinggung HAM, tapi dalam konteks konflik di Rakhine Myanmar.
Sementara pada pidato 2018, Jokowi mengaku "Pemerintah berupaya mempercepat penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu serta meningkatkan perlindungan HAM agar kejadian yang sama tidak terulang lagi di kemudian hari."
Meski demikian, sejauh ini tak jelas bagaimana cara pemerintah mempercepat itu.
Pada tahun ini narasinya bergeser. Tak ada janji percepatan kasus HAM, apalagi pembentukan komite rekonsiliasi. Keberhasilan penegak hukum termasuk HAM, kata Jokowi, "bukan hanya diukur dari berapa kasus yang diangkat dan orang yang dipenjarakan," tapi juga harus diukur dari "berapa potensi pelanggaran hukum dan HAM yang bisa dicegah."
Bagi Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriani, pernyataan tersebut "mengindikasikan [Jokowi] berupaya melupakan [kasus-kasus kejahatan HAM masa lalu] begitu saja."
Penulis: Rio Apinino
Editor: Mufti Sholih