tirto.id - Pendidikan di Indonesia di tangan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim memulai babak anyar. Pandemi COVID-19 membuat sistem banyak berubah, termasuk soal Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dan kegiatan belajar-mengajar. Siapkah para siswa beradaptasi dengan sistem saat ini?
Dua bulan terakhir mungkin menjadi periode paling pusing bagi orangtua yang memiliki anak usia sekolah dasar hingga menengah atas. Mereka harus berurusan dengan sistem PPDB yang tak lazim karena pandemi. Mulai dari registrasi daring hingga penerimaan siswa berdasarkan umur.
Untuk tahun ini mendaftar ke sekolah lanjutan tak cukup berbekal nilai rapor di atas rata-rata saja. Berbagai macam aktivitas penunjang belajar seperti les-les tambahan dirasa sisa-sia karena sekolah memprioritaskan siswa yang berumur lebih tua untuk memenuhi kuota peserta didik.
Imbasnya para siswa yang unggul dari segi nilai tapi dirasa “belum cukup umur” harus terdepak dari seleksi peserta didik. Mereka kudu mencari alternatif sekolah--mungkin swasta--yang tidak sesuai keinginan atau standar kualitas maupun ekonomi mereka. Memilih sekolah swasta yang bagus juga harus punya bekal biaya yang lumayan, bukan?
Sementara PPDB daring di sejumlah tempat juga dipenuhi berbagai masalah. Mulai dari jumlah pengunjung laman yang melebihi kapasitas server, jaringan internet dan laman PPDB bermasalah, hingga para orangtua yang kebingungan melakukan pendaftaran secara daring.
Niat awal menerapkan protokol kesehatan agar tidak membuat kerumunan dan menjaga jarak jadi sia-sia. Para orangtua akhirnya tetap mengunjungi sekolah-sekolah karena takut anaknya tidak terdaftar. Selain kedua permasalahan pokok tersebut, masih ada keluhan lain terkait PPDB yakni menyoal siswa titipan dari orang yang punya kuasa.
Kemudian jumlah lulusan sekolah menengah pertama juga timpang jika dibandingkan dengan kapasitas sekolah menengah atas negeri. Pendaftar juga membludak pada sekolah-sekolah tertentu yang dianggap favorit. Permasalahannya lagi-lagi: jika gagal dalam PPDB anak-anak ini harus memilih sekolah swasta yang cocok dengan kemampuan finansial orangtuanya.
Layanan pengaduan yang dibuka Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait polemik ini mengategorikan laporan PPDB didominasi oleh masalah teknis sebanyak 66,66 persen. Disusul aduan masalah kebijakan sejumlah 33,33 persen.
“Terdapat pula aduan teknis lain, seperti kendala pengiriman berkas dan pengurusan surat keterangan domisili akibat pandemi,” jelas Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti.
Menuju Pembelajaran Daring Permanen
Selepas sengkarut PPDB kemarin, tahun ajaran baru 2020/2021 tetap akan dimulai pada pertengahan Juli. Setelah melewati harap-harap cemas pendaftaran sampai pengumuman penerimaan, para siswa harus bersiap menghadapi sistem pembelajaran daring--yang kabarnya akan diteruskan menjadi sistem pendidikan permanen.
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) kabarnya akan diterapkan secara permanen dan hibrida. Maksudnya, meski pandemi COVID-19 berakhir sistem belajar mengajar di Indonesia akan tetap menggunakan model belajar daring yang digabungkan dengan tatap muka.
Peta jalan pendidikan ini dijelaskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim saat rapat kerja bersama dengan Komisi X DPR RI, Kamis (2/7/2020). Menurutnya jika dilanjutkan potensi penyesuaian terhadap PJJ selama pandemi berpeluang untuk efisiensi teknologi.
Apalagi dalam sejarah Indonesia belum pernah ada eksperimen teknologi besar-besaran dari guru, kepala sekolah, orangtua, dan siswa seperti pada periode sekarang. Jadi bagi Nadiem “mumpung” sudah kecebur, basah saja sekalian.
“Menurut saya adaptasi terhadap teknologi itu pasti tidak akan kembali lagi. Meski kita sekarang kesulitan beradaptasi, ini merupakan suatu tantangan, ke depan akan jadi satu kesempatan untuk kita,” ujar Nadiem.
Persoalan selanjutnya jika memang benar PJJ akan ditetapkan permanen maka Nadiem harus terlebih dulu membenahi fasilitas dan kemampuan siswa serta orangtuanya dalam menjangkau teknologi. Poin tersebut termasuk pemerataan jaringan, penguasaan teknologi, dan tentunya ketersediaan penunjang seperti gawai dan paket datanya.
Tentu kita sudah sering mendengar cerita soal siswa-orangtua yang kesulitan mengikuti PJJ karena daerahnya tidak tersentuh jaringan internet. Kisah ini terulang pada Ayu, seorang wali siswa yang berasal dari Jawa Tengah. Wilayah tempat tinggalnya yang masuk daerah pegunungan membuat PJJ selama masa pandemi tidak berjalan maksimal.
“Tidak berjalan sama sekali, jadi hanya diberi tugas tanpa adanya pengawasan,” katanya menjawab pertanyaan soal bagaimana kegiatan belajar sang adik yang duduk di bangku sekolah dasar.
Akses komunikasi di daerahnya sangat sulit. Jika ingin tersambung dengan dunia maya, maka warga harus memasang wi-fi. Tanpa perangkat tersebut mustahil sinyal bisa menembus gawai mereka, bahkan bagi provider sekelas Telkomsel sekalipun. Ditambah, langka orangtua siswa di sana memakai ponsel pintar.
Mahasiswa yang melakukan pembelajaran daring juga terpaksa “turun gunung” karena koneksi wi-fi pun tak selalu stabil. Beragam hambatan itu malah membuat PJJ di wilayah Ayu berjalan seadanya. Sekolah adiknya bahkan sampai meniadakan ujian semester karena tak mampu menerapkan pembelajaran daring.
“Di sini, e-learning bukan solusi,” pungkas Ayu menutup uneg-unegnya.
Jangankan Desa, Kota pun Sulit PJJ
Kesibukan Ida Rachmat bertambah beberapa bulan belakang. Ia harus mendampingi tak hanya sang anak, tapi juga tetangga-orangtua murid lain untuk mengaplikasikan pembelajaran daring. Ia tinggal di Jakarta, bukan daerah terpencil susah sinyal semacam Ayu. Anaknya pun bersekolah di sekolah dasar negeri di Jakarta Selatan.
Tapi nyatanya PJJ tetap menjadi hambatan ketika diterapkan selama berbulan-bulan. Padahal aplikasi yang digunakan untuk pembelajaran juga tergolong umum, seperti Whatsapp, word, dan pdf. Namun nyatanya masih ada orangtua siswa yang tak paham cara mengoperasikannya.
“Banyak memang ibu-ibu yang tidak mengerti. Saya bantu sebisa mungkin, karena katanya kalau nanya orang lain suka dicuekin,” cerita Ida.
PJJ di sekolah anaknya selama ini mengombinasikan tayangan pendidikan di TVRI dengan pembelajaran daring sederhana. Misalnya untuk absen harian menggunakan foto yang dikirim via Whatsapp. Kemudian soal ujian kenaikan kelas dikirim dengan format pdf, siswa tinggal menyalin, menjawab di buku tulis dan mengirimkan dokumentasinya ke Whatsapp.
Dari sisi guru, Selvy Martiana membeberkan macam-macam kendala PJJ selama pandemi kemarin. Yang paling repot adalah jika fasilitas gawai anak berbarengan dengan orangtua. Selanjutnya mengukur kemampuan siswa--yang jadi sama rata akibat tidak tatap muka. Belajar atau ujian di rumah tentu bisa disambi atau malah dibantu oleh keluarga, bukan?
“Dari awal sudah sulit, kadang HP dibawa orangtua kerja, anak jadi tidak ikut pembelajaran. Lalu masalah kuota, tidak semua mampu beli,” ungkap guru sekolah dasar di Jakarta ini.
Sementara untuk mengakali kegagapan orangtua dalam teknologi, Selvy punya berinisiatif membuat grup orangtua murid. Semua metode belajar-mengajar ia unggah di sana sehingga para orangtua akan saling membantu jika menemukan kesulitan dalam pembelajaran daring.
Tapi jika diminta memilih, Selvy lebih suka mengajar langsung dengan tatap muka. Dengan begitu ia bisa memahami karakter siswa dan melakukan pendekatan yang berbeda kepada mereka.
Agaknya sebelum mematenkan wacana PJJ hybrid, Nadiem perlu terlebih dulu membenahi silang sengkarut pembelajaran daring saat ini. Sebab apa yang dimulai tanpa persiapan matang tentu tak akan menjadi hasil yang memuaskan.
Editor: Windu Jusuf