tirto.id - Kemarin, 26 Oktober 2016, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo melantik Sumarsono sebagai pelaksana tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta. Ini karena Basuki Tjahja Purnama atau Ahok harus cuti menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2017 mendatang.
Tak hanya Ahok, ada lima Plt gubernur lainnya yang akan bertugas. Dalam masa kampanye Pilkada ini, Indonesia akan "kebanjiran" Plt. Sebab banyak kepala daerah, baik gubernur maupun bupati dan walikota, yang kembali maju dalam Pilkada. Ada lima orang Plt Gubernur dan 39 Plt walikota dan bupati. Di Aceh saja, ada sembilan Plt bupati dan walikota yang dilantik.
Dalam fungsi sehari-hari, Plt memang menjadi pemimpin sementara. Akan tetapi, Plt tidak pernah sama persis dengan pejabat yang digantikan untuk sementara. Plt gubernur tidak sama dengan gubernur, Plt bupati/walikota tidak sama dengan bupati/walikota. Kewenangannya lebih terbatas, baik dalam ruang lingkup maupun keleluasaan. Kendati, dalam perjalanannya, banyak ditemui kerancuan yang kemudian ditambal oleh peraturan-peraturan yang melengkapinya.
Salah satu titik krusial yang menegaskan perbedaan antara Plt dengan pejabat yang digantikannya untuk sementara waktu terjadi pada 2009. Saat itu, terjadi satu sengketa hukum yang melibatkan Plt kepala kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Lumajang. Pada Februari tahun itu, sang Plt mencabut izin usaha CV Yulia Pranata Tek, sebuah usaha tempat penampungan pupuk cair.
Tak terima dengan pencabutan itu, pihak CV Yulia Pranata Tek mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya. Menurut perusahaan ini, sang Plt tak memiliki wewenang mencabut izin usaha dan mengeluarkan surat atas nama Kepala Kantor Pelayanan Terpadu.
Dalam putusannya, majelis hakim yang terdiri dari Singgih Wahyudi, Suzana, dan Indaryadi mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan tidak sah keputusan Plt. Kepala Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Lumajang yang mencabut usaha CV Yulia Pranata Tek tersebut.
“Tergugat tidak berwenang menandatangani atau menerbitkan keputusan obyek sengketa,” ujar majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya seperti dikutip dari risalah putusan di Mahkamah Agung. Perkara ini hanya salah satu contoh betapa Plt di pemerintahan kerap menjalankan yang bukan wewenangnya.
Dalam berbagai beleid yang pernah terbit di negeri ini, seorang pelaksana tugas di instansi pemerintahan memiliki wewenang yang terbatas. Artinya, ia tak memiliki wewenang yang sama dengan jabatan yang diembannya untuk sementara. Ada aturan-aturan yang membatasi itu.
Dalam Undang-undang Administrasi Pemerintahan (UUAP) batasan-batasan ini diatur, meski tak begitu jelas. “Plh atau Plt melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan rutin yang menjadi wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian termaktub dalam Pasal 34 ayat 2 UU tersebut.
Oleh karena tak jelas batasan wewenangnya, Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengeluarkan Surat Kepala BKN No. K.26.30/V.20.3/99 tentang Kewenangan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas dalam Aspek Kepegawaian pada 5 Februari 2016. Aturan ini memang sengaja dikeluarkan untuk memperjelas maksud UUAP.
“Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran,” begitu salah satu poin penting tentang pembatasan wewenang Plt.
Lalu apa itu tindakan yang bersifat strategis? Seperti apa pula contoh perubahan status hukum kepegawaian? Penjelasannya tak tertuang dalam surat dari Kepala BKN namun termaktub secara jelas dalam penjelasan UUAP.
Tindakan yang bersifat strategis didefinisikan sebagai tindakan yang memiliki dampak besar seperti penetapan perubahan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah. Sementara perubahan status hukum kepegawaian meliputi melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai.
Selain membatasi kewenangan, surat Kepala BKN itu juga menjelaskan wewenang dari Plt. Ada enam wewenang yang termaktub, yakni menetapkan sasaran kerja pegawai dan penilaian prestasi kerja, menetapkan kenaikan gaji berkala, menetapkan cuti selain cuti di luar tanggungan negara, menetapkan surat penugasan pegawai, menyampaikan usul mutasi kepegawaian kecuali perpindahan antar instansi; dan memberikan izin belajar, izin mengikuti seleksi jabatan pimpinan tinggi atau administrasi, juga izin tidak masuk kerja.
Beberapa bulan sebelum UUAP diundangkan, Kementerian Hukum dan HAM pernah mengatur tentang Plt dalam Peraturan Menteri (Permen) Hukum dan HAM No.1 Tahun 2014. Menurut Permen itu, Plh atau Plt memiliki kewenangan yang sama dengan Pejabat struktural yang berhalangan sementara atau jabatan struktural yang lowong, kecuali untuk lima hal.
Lima hal itu adalah mengambil kebijakan yang berdampak pada anggaran, menetapkan keputusan yang bersifat substansial, menjatuhkan hukuman disiplin, memberikan penilaian kinerja terhadap pegawai, dan mengambil kebijakan yang mengikat lainnya.
Pilkada serentak 2017 mendatang digelar di 101 daerah, terdiri dari tujuh provinsi dan 94 kabupaten/kota. Kepala daerah dan wakil kepala daerah petahana yang ingin maju ke periode kedua, diharuskan cuti sejak 24 Oktober 2016 hingga Februari 2017.
Sejumlah daerah, seperti DKI Jakarta, belum menandatangani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Jika mengacu pada aturan-aturan sebelumnya tentang batasan wewenang Plt, para Plt yang diangkat menjelang Pilkada ini tak berwenang menandatangani APBD. Sementara APBD jelas sangat krusial dalam kelangsungan pemerintahan dan pembangunan di masing-masing daerah. Tanpa APBD, banyak hal akan macet.
Untuku itulah pembatasan wewenang Plt, yang sebelumnya tidak memungkinkan untuk menyusun anggara, di kemudian hari diperlonggar. Khusus menghadapi Pilkada serentak 2017, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Permen khusus, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 74 tahun 2016. Dalam Permen ini, Plt kepala daerah diperbolehkan menandatangani Perda APBN dan melakukan penggantian atau pengisian pejabat setelah mendapat persetujuan menteri.
Basuki Tjahja Purnama alias Ahok menilai Permendagri ini bertentangan dengan UU No 17 Tahun 2003. Sebab dalam UU itu, pengelolaan keuangan dikuasakan langsung oleh presiden kepada kepala daerah. Ia pun mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Bukan UU No 17/2003 yang dimintakan pengujian materi di MK oleh Ahok, melainkan UU Pilkada Pasal 30 ayat 3 yang mengharuskan kepala daerah petahana mengambil cuti. Kini, perkara itu masih dalam proses persidangan.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Wan Ulfa Nur Zuhra