tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyatakan aksi persekusi, atau perburuan ke warga sipil untuk diintimidasi dan dipersusah, merupakan pelanggaran hukum bukan hanya karena menjadi bentuk main hakim sendiri. Menurut Wiranto, aksi persekusi sama saja dengan membuat "negara dalam negara".
"Jelas itu sudah melanggar hukum, seperti negara dalam negara," kata Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, pada Selasa (6/6/2017) seperti dikutip Antara.
Mantan Panglima TNI tersebut menegaskan penindakan terhadap masalah atau kasus hukum harus diserahkan kepada aparat penegak hukum dan bukan menjadi hak kelompok masyarakat.
"Ketika satu negara punya satu hukum yang merupakan kesepakatan kolektif, semua warga negara harus mematuhinya," ujar Wiranto.
Karena itu, dia menilai aksi persekusi termasuk merupakan tindakan yang dilarang keras di Indonesia. Tindakan itu, menurut dia, sama sekali tidak bisa dibenarkan dengan dalih apapun.
Sebaliknya, Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan justru menolak penggunaan istilah persekusi. Dia beralasan persekusi lebih tepat merujuk pada suatu tindakan mengerikan yang setara dengan genosida.
"Kami harap jangan lagi menggunakan istilah persekusi karena secara konseptual itu sesuatu hal yang mengerikan, hampir mirip dengan genosida atau penghapusan suku tertentu," kata Taufik di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, hari ini.
Dia mengatakan istilah yang lebih tepat bukanlah persekusi melainkan intimidasi. Menurut Taufik, dalam istilah intimidasi itu ada aksi dan reaksi. Dia mengatakan proses hukum harus menyasar pihak yang bereaksi dan juga pelaku aksi.
Politisi PAN itu menilai intimidasi itu terjadi kemungkinan disebabkan adanya sindiran-sindiran dan provokasi yang menyinggung orang lain sehingga memunculkan reaksi. "Jangan sampai di proses hukum, yang melakukan aksi (pihak yang membuat yang lain tersinggung) tidak disentuh," ujar dia.
Belakangan aksi persekusi dengan korban para pengguna media sosial marak terjadi di banyak daerah, termasuk DKI Jakarta. SAFEnet, jaringan relawan untuk kebebasan berekspresi mencatat ada 59 korban persekusi selama tahun 2017.
Aksi persekusi mulai menjadi perhatian publik setelah sejumlah korbannya terus bertambah dan sebagian merupakan mereka yang mengunggah status di akun media sosial menyinggung kasus hukum pentolan FPI, Rizieq Shihab.
Salah satu korbannya ialah dokter Fiera Lovita yang bekerja di Solok, Sumatera Barat. Korban lain adalah PMA, remaja 15 tahun asal Jakarta yang menjadi korban persekusi sekaligus kekerasan yang dilakukan sejumlah lelaki dewasa. Polda Metro Jaya telah menetapkan dua tersangka, yang salah satunya anggota Front Pembela Islam (FPI), sebagai tersangka pelaku kekerasan terhadap PMA.
Sejak awal Juni 2017 lalu, kelompok aktivis yang tergabung dalam Koalisi Anti-Persekusi membuka pusat pengaduan bagi mereka yang menerima ancaman, intimidasi maupun teror. Melalui siaran pers yang dapat diakses di laman Aliansi Jurnalis Independen (AJI), orang yang merasa mendapat ancaman dan membutuhkan bantuan dapat menghubungi 081286938292 atau melalui surat elektronik (e-mail) antipersekusi@gmail.com.
Koalisi menemukan salah satu pola aksi persekusi adalah melacak orang yang dianggap menghina agama/ulama, membuka identitas (foto, alamat rumah/kantor) dan menyebarkannya, menginstruksikan untuk memburu target serta diikuti kemudian dengan aksi menggeruduk ke kantor atau rumah oleh massa.
Selain itu, ditemukan juga aksi persekusi yang disertai ancaman atau kekerasan dan korban dibawa ke kantor polisi untuk dilaporkan dengan sangkaan pasal 28 ayat (2) UU ITE dan/atau pasal 156a KUHP. Pola lain ialah mengintimidasi untuk memaksa korban meminta maaf baik secara lisan maupun membuat pernyataan secara terbuka.
"Persekusi ini jelas mengancam demokrasi,” bunyi pernyataan Koalisi Anti-Persekusi.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom