tirto.id - Setelah 22 musim bermain di liga basket Amerika (NBA), Vince Carter memutuskan pensiun pada 25 Juni 2020. Carter tidak pernah menjadi juara NBA. Dia juga tidak pernah terpilih sebagai Most Valuable Player (MVP) NBA sepanjang kariernya. Namun, namanya tetap dielu-elukan sebab andilnya mengubah dunia dunk NBA—tak kalah dari dunia basket dalam manga Jepang.
Vincent Lamar Carter yang lahir pada 26 Januari 1977 ini menyukai olahraga sejak umur dua tahun. Kira-kira satu dasawarsa kemudian, keahlian Carter bermain basket mulai menonjol. Di SMP Campbell, Florida, Carter adalah satu-satunya pemain inti sejak tahun pertama sekolah. Meski begitu, dia belum fokus pada basket.
Semasa belajar di SMA Mainland, Carter menekuni banyak hal, mulai dari musik hingga voli. Dia bahkan menjadi kapten di tim voli sekolahnya. Prestasinya dalam basket mentok pada level kejuaraan wilayah Florida. Kendati demikian, dia terpilih untuk ikut dalam kejuaraan McDonald’s All-American yang melahirkan banyak atlet NBA.
Meski karier basketnya saat itu tidak begitu memukau, Carter berhasil mendapat beasiswa olahraga ke Universitas North Carolina—yang juga almamater legenda basket Michael Jordan. Di UNC, Carter bersaing meraih titel pemain bintang nomor wahid sekampus dengan Antawn Jamison.
Saat itulah Carter mulai digadang-gadang sebagai “Next Michael Jordan”. Itu bukan sesuatu yang istimewa, justru lebih tampak sebagai beban karena orang menaruh harapan besar pada dirinya. Sebelum Carter, ada Jerry Stackhouse yang disemati titel serupa. Nahas, kariernya tidak segemilang Jordan dan sebutan itu sirna begitu saja.
Carter punya modal besar menjadi Jordan berikutnya. Seperti Jordan, tinggi badannya 1,98 meter dan berposisi sebagai shooting guard/small forward. Carter pun senantiasa terbang bebas di udara, menerobos masuk, dan melakukan dunk ke keranjang lawan. Dari segi fisik, rambut dan otot tubuhnya sangat mencerminkan Jordan. Namun, sekali lagi, julukan Next Jordan justru membebaninya.
Suatu kali, Carter dikritik karena terlihat dekat dengan beberapa pebasket elite NBA. Itu adalah kebiasaan yang “sangat tidak Jordan” karena bagi bintang Chicago Bulls itu mereka adalah rival. Carter yang kesal dengan kritikan itu kemudian menegaskan bahwa dirinya tak berencana jadi Next Michael Jordan.
“Dia adalah pemain terhebat dalam sejarah NBA. Biarkan demikian. Aku senang menjadi diriku sendiri,” kata Carter seperti dikutip Clutchpoints.
Bukan Pemburu Juara
Saat Jordan meraih piala NBA keenam sekaligus yang terakhir pada 1998, Carter memulai debutnya di NBA. Awalnya, Carter menjadi pemain pilihan kelima di NBA Draft 1998.
Toronto Raptors adalah klub pertama dalam karier profesional Carter. Prosesnya masuk klub ini terbilang unik. Golden State Warriors (GSW) adalah klub pertama yang mengambilnya dalam NBA Draft. Tapi, sebelum itu GSW sempat mendekati Raptors dan meyakinkannya untuk mengambil Antawn Jamison. Setelah itu, GSW menawarkan untuk menukar Carter dengan Jamison.
Raptors sejak awal sebenarnya memang berminat pada Carter. Mantan Manajer Umum Raptors, Glen Grinwald, pun meyakini Carter adalah pemain terbaik dalam NBA Draft 1998. Karena itu, Raptors pun menyetujui tawaran GSW.
Saat hari penunjukan tim, Carter belum tahu soal perjanjian antara GSW dan Raptors itu. Sementara Jamison yang sudah tahu soal itu tak punya kesempatan memberi tahu teman kuliahnya itu. Carter cukup kaget saat terpilih untuk debut dalam liga paling besar di Amerika itu.
“Kami segera mafhum bahwa basket bukan sekadar olahraga, tapi juga bagian dari bisnis,” kata Carter dikutip The Post Game.
Carter melewati tahun pertamanya di NBA dengan torehan mengesankan. Dalam 50 pertandingan yang dilakoninya, dia berhasil mencatat rata-rata 18,3 angka; 5,3 rebound, 3,0 assist; dan 1,5 block. NBA pun mendapuknya sebagai Rookie of The Year 1999, mengalahkan kandidat lain seperti Jason Williams dan Paul Pierce.
Angka kemenangannya hampir mutlak, yakni 95,8 persen dari total pemilih. Empat nama yang sebelumnya mendahului Carter di NBA Draft—yaitu Michael Olowakandi, Mike Bibby, Raef LaFrentz, dan Jamison—bahkan tidak masuk dalam persaingan. Dengan ini, Carter punya modal besar menjadi pemain legendaris NBA.
“Keberhasilan memenangkan Rookie of the Year 1999 membuatku merasa layak berada di NBA. Kupikir Paul Pierce dan Jason Williams telah bermain sangat baik, jadi aku mesti mengalahkan mereka berdua,” kenang Carter sebagaimana dikutip Clutcpoints.
Tapi, sayang sekali, performa menawannya itu gagal membawa Raptors menjadi juara. Selama tujuh musim membela Raptors, Carter pun hanya dua kali meloloskan Raptors ke babak playoff pada musim 1999-00 dan 2000-01.
Peluang terbaik Raptors meraih titel juara NBA terjadi pada musim 2000-01. Namun, asa Raptors pupus di laga semifinal wilayah Timur. Raptors dikalahkan Philadelphia 76ers (Sixers) yang saat itu diperkuat salah satu pebasket elite NBA Allen Iverson dengan skor tipis 4-3.
Di gim ke-6 melawan Sixers, Carter sedang dalam performa puncaknya. Dia berhasil mencetak 50 angka—poin terbesar yang pernah dia catatkan di babak playoff selama karier basket profesionalnya. Namun, performa hebat Carter justru lindap pada gim ke-7.
Beda jauh dengan gim sebelumnya, Carter hanya bisa memasukkan 6 dari 18 tembakan ke keranjang Sixers. Total poin yang berhasil dia dapat hanya 20, lebih rendah dari rekan setimnya Antonio Davis yang mencetak 23 poin.
Untunglah, Raptors juga diperkuat pebasket senior Dell Curry yang bermain sangat prima pada gim penentuan itu. Saat waktu tersisa kurang dari semenit dan skor menunjukkan 84-88, Curry berhasil melesakkan lemparan tiga angka. Itu membuat selisih poin menjadi hanya setengah bola.
Ketika waktu tersisa 52 detik, Sixers terus menguasai bola. Satu tembakan Iverson melayang ke keranjang Raptors. Meleset, tapi Sixers mengambil rebound dan menguasai bola. Tepat 10 detik tersisa, Sixers mencoba lemparan tiga angka. Gagal, Davis mengambil rebound dan Raptors mengambil timeoutsaat waktu hanya tersisa 3,6 detik.
Carter terlihat sangat tenang dalam detik-detik krusial ini. Raptors menyerahkan keputusan akhir kepadanya. Bola dilempar dari garis tepi lapangan, Carter berlari menghindari adangan pemain Sixers dan menerima bola. Dia mendribelnya tiga kali sebelum akhirnya dilanggar.
Sekali lagi bola dilempar dari pinggir lapangan. Pemain-pemain Sixers yakin bola itu akan dioper ke Carter karena Curry yang melemparnya. Meski dijaga ketat, gerakan Carter begitu licinnya sehingga tetap dapat menerima bola itu. Setelah melakukan sebuahpump fake dekat garis 3 angka, Carter menembakkan bola. Komentator berteriak seru demi melihat adegan itu.
TEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT!!!!
Bel tanda pertandingan berakhir melengking nyaring mengiringi kegagalan Carter mencetak angka. Laga itu adalah terakhir kalinya Raptors menembus babak playoff bersama Carter. Gara-gara performanya yang melempem itu, Carter jadi sasaran kekecewaan fan dan rekan setimnya sendiri.
Dia disalahkan karena sempat-sempatnya pergi ke kampus UNC untuk menghadiri wisuda pada pagi sebelum pertandingan. Berbeda dengan kebanyakan pemain NBA yang putus kuliah setelah menjadi profesional, Carter berjanji pada ibunya untuk tetap meneruskan kuliah. Maka itu, dia tetap meluangkan waktu terbang ke Florida dengan jet pribadi pemilik Raptors.
“Wisuda? Aku tidak peduli pesawat jet macam apa yang dia gunakan, tetap saja itu merusak rutinitas,” kata Jerome ‘Junkyard Dog’ Williams, rekan setim Carter, sebagaimana dikutip Sportsnet.
Hubungan Carter dengan manajemen Raptors juga memburuk setelah kegagalan itu. Hingga akhirnya, pada musim 2004-2005, Carter pindah ke New Jersey Nets. Bersama klub barunya,dia berhasil menembus babak Playoff sebanyak dua kali. Tapi, lagi-lagi dia gagal juara karena dihentikan oleh LeBron James dari Cleveland Cavaliers dan Dwyane Wade dari Miami Heat.
Setelah itu, Carter menyerah untuk mengejar juara yang memang bukan targetnya sejak awal.
“Itu tidak sesuai untukku,” kata Carter dikutipESPN.
Half Man-Half Amazing
Pada 1987 dan 1988, Michael Jordan membuat kejutan besar melakukan dunkdengan melompat dari garis free throw atau sekitar 4,5 meter dari ring.
Kekaguman pencinta basket pada aksi itu bertahan cukup lama, hingga Vince Carter melakukan aksi hebat lainpada 2000. Carter melakukan aksi slam dunksampai separuh lengan kanannya masuk ke dalam keranjang yang membuatnya bergelantungan di udara dengan bertopang pada siku.
Kehebatan Carter melakukan dunk tidak berhenti di situ. Saat laga Amerika melawan Perancis di Olimpiade 2000, publik kembali tercengang oleh aksi Carter melakukan dunk dengan melompati pemain bertahan Perancis Frederic Weis. Aksi itu tergolong spektakuler karena Weis mempunyai tinggi 2,18 meter—lebih tinggi 20 sentimeter dibanding Carter. Hingga kini, aksi Carter itudianggap salah satu dunk terbaik yang pernah ada.
Kendati sangat piawai di udara, Carter tidak begitu berhasil dalam liga NBA. Berbeda dengan rekan seangkatannya Paul Pierce yang berhasil sekali menjadi juara NBA, Carter tidak pernah sekalipun meraihnya. Dia juga tidak mau lagi memperpanjang atau mempertontonkan kehebatannya melakukan dunk. Baginya, lebih baik dikenal dengan kelebihannya yang lain daripada sekadar melakukan dunk.
Bagaimana pun juga, aksi-aksi dunk Carter tetaplah terlalu istimewa untuk dilupakan begitu saja. Tak heran jika beberapa julukannya muncul berkat kehebatannya melakukan dunk. Pertama adalah Air Canada yang merujuk pada lompatannya yang begitu tinggi seakan bisa berjalan di udara. Ada pula yang menjulukinya Half Man-Half Amazing karena menganggap aksi-aksinya hanya bisa dilakukan oleh manusia istimewa.
Kini, Carter menjadi satu-satunya pebasket yang karier profesionalnya membentang melewati empat dekade liga NBA berbeda. Dia juga mencetak rekor di NBA karena masih aktif bermain basket profesional hingga usia 43. Dengan capaian itu, dia punya kans besar mencatatkan namanya dalam Hall of Fame NBA.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi