tirto.id - Ketika Amerika Serikat kalah dalam Piala Dunia basket 2019, mereka punya segudang alasan. Dari absennya sejumlah pemain handal hingga kurangnya waktu latihan adalah salah dua di antaranya. Hanya saja, perkembangan kemampuan pemain basket dari benua Eropa juga tak bisa dipandang sebelah mata.
Di abad-21, AS hanya dua kali tidak lolos ke putaran final Piala Dunia basket. Pertama tahun 2002, kala dua bintang NBA (liga basket Amerika) Shaquille O’neal dan Kobe Bryant tidak masuk dalam skuat. Yang kedua adalah tahun 2019, di mana AS dikalahkan oleh Perancis dalam babak perempat final.
Kekalahan AS oleh Perancis di 2019 dengan skor 79-89 tak lepas dari performa permainan Rudy Gobert yang berada di posisi center. Gobert menceploskan bola sebanyak 21 kali dan membantu terciptanya tembakan tiga angka dari guard Evan Fournier.
Penampilan cemerlang Gobert juga membuat center AS, Evan Turner, hanya berhasil mencetak dua angka. Sebaliknya, karena harus menjaga Gobert, Turner terganjar foul trouble dan hanya bermain 10 menit. Hasil akhir, Gobert mendapat double-double dengan perolehan 21 angka dan 16 rebounds. Pada menit akhir pertandingan, Gobert juga menghalau dua tembakan penting dari guard AS, Kemba Walker dan Donovan Mitchell.
Hebatnya pertahanan Gobert segendang-sepenarian dengan perkembangan kariernya di NBA. Pada musim NBA 2013-2014, Gobert yang berumur 21 tahun hanya bermain 45 pertandingan dengan rerata rebounds 3,4 kali dan mencetak angka 2,3 setiap pertandingan.
Saat Piala Dunia basket 2014, Gobert dan Perancis tidak menorehkan sesuatu yang mencengangkan. Namun, pembinaan dari tim Utah Jazz terhadapnya di NBA berhasil menjadikan Gobert pemain bertahan terbaik 2019. Di musim 2018-2019 tersebut, ia bermain 81 pertandingan, mencetak rerata 12,9 rebounds dan 15,9 poin.
Dominasi Pemain Asing di NBA
Bukan hanya di Piala Dunia basket, AS juga mulai dibayangi rentetan pemain internasional yang mengancam dominasi mereka di liga domestik. Selain adanya Gobert, musim 2018-2019 menjadi pertanda besar ancaman dengan kemunculan Luka Doncic, pebasket dari Slovenia sekaligus perkembangan dari Giannis Antetokounmpo, forward asal Yunani yang bermain untuk tim Milwaukee Bucks.
Doncic terdaftar di NBA Draft setelah bermain tiga musim di Real Madrid, Spanyol. Dia berhasil dinobatkan sebagai rookie of the year atau pemain tahun pertama terbaik di NBA 2019. Dua pemain AS, Deandre Ayton dan Trae Young mengikuti di belakangnya.
Musim 2019-2020, Dallas Mavericks mengandalkan Doncic sebagai ujung tombak tim bersama dengan Kristaps Porzingis dari Latvia yang bermain sebagai forward/center. Duet dua orang pemain asing ini seperti mengulang sejarah Steve Nash saat berpasangan dengan Dirk Notwitzki. Bedanya, Dirk dan Nash saat itu belum punya pencapaian seperti Doncic.
“Di semesta berbeda, Trae Young akan menjadi bintangnya NBA. Dia bisa jadi rookie terbaik tahun ini dan diperhitungkan sebagai all-star musim depannya,” tulis jurnalis TheGuardian, Tom Kludt.
“Namun, terlepas dari semua itu, Young mungkin tidak pernah cukup baik untuk melampaui bayang-bayang pemain dengan tinggi 201cm dari Dallas Mavericks, Luka Doncic.”
Kelihaian Doncic dalam mengatur permainan hingga mencetak angka makin mantap terlihat di 16 pertandingan musim 2019-2020. Pebasekt berusia 20 tahun ini berhasil mencetak triple-double dengan rerata poin di atas 30 angka. Semenjak masa Oscar Robertson, pemain NBA tahun 1960an, Doncic adalah orang pertama yang menghasilkan rekor tersebut dengan usia di bawah 21 tahun.
“Aku tidak akan menukar Doncic dengan siapapun,” kata pelatih kepala Maverick, Rick Carlisle September 2019.
Eropa juga punya nama lain yang menonjol di NBA karena berhasil menjadi Most Valuable Player 2019: Giannis Antetokounmpo. Meski tak berhasil menjadi juara musim 2018-2019, Giannis dipercaya sebagai pemain yang tak bisa dihentikan siapapun.
Tidak sesulit pelafalan namanya, kematangan Giannis dalam mencetak angka bisa terlihat dari statistik di musim 2018-2019. Total angka yang ia cetak mencapai 1994 poin dalam 72 pertandingan. Di kategori forward, dia menempati posisi kedua tertinggi di bawah forward berkebangsaan AS, Paul George.
Bedanya, George yang memang berada di posisi small forward punya kemampuan mencetak tiga angka. Giannis yang di posisi power forward memang belum punya itu, tapi dia menunjukkan kemampuannya di bawah ring dengan mencetak dua angka sangatlah tinggi. Persentase keberhasilan tembakan dua angka Giannis adalah 57,8 persen.
Sementara dalam pertahanan, Giannis juga tidak malas-malasan. Tercatat ada 110 blok yang dia lakukan –terbanyak di antara posisi forward yang lain, dan 92 kali mencuri bola.
Jurnalis Sky Sports, Mark Deeks, pernah membahas bagaimana Giannis begitu dominan di lapangan. Selain diberkahi tinggi 211cm, Giannis jelas juga punya kemampuan fisik yang tidak biasa.
Dengan tinggi seperti itu, dia bisa membawa bola dengan cukup baik dan langkahnya sangat cepat karena kakinya yang panjang. Dalam sebuah rekaman video, tampak Giannis melakukan penetrasi, lalu di bawah keranjang dia akan berputar, berpura-pura mengoper, atau menerebos langsung. Tak ada yang bisa menghentikannya.
“Antetokounmpo telah menjadi bintang dalam segi penyerangan lewat kesadaran dan pengendalian bola yang dia miliki, menjadikan dia penyerang tanpa henti di bawah keranjang," tulis Mark.
Salah satu penyuka olahraga basket dan kontributor The Ringer, Rob Mahoney, pernah menulis bahwa Giannis adalah sosok yang tak terhentikan siapapun di NBA. Tulisan Rob berdasar pada gaya serangan Giannis yang sebenarnya terpola. Penetrasi ke bawah keranjang kemudian memaksa bola masuk. Hingga membuat orang bertanya-tanya: “Bagaimana menghentikan dia?”
Belakangan, Los Angeles Lakers dengan kehadiran LeBron James dan Anthony Davis berhasil memaksa Giannis berada di luar area bawah keranjang. Namun, itu pun tak bisa menghentikan pria yang dipanggil The Greek Freak.
Dalam pertandingan tersebut, Giannis melesakan lima tembakan tiga angka dan mengalahkan LA Lakers 111-104.
Dari Bisnis jadi Tantangan Serius
Pemain asing yang menjadi bintang NBA memang sudah ada sejak beberapa puluh tahun lalu, meski tak selalu mendominasi. Selain dua dari trio San Antonio Spurs, Manu Ginobili & Tony Parker, serta Dirk Nowitzki, nama yang cukup fenomenal adalah Yao Ming dan Hakeem Olajuwon.
Sebagai pemain asal Kongo, Olajuwon membawa Houston Rockets menjadi dua kali juara NBA. Hanya saja di masa itu, AS juga melahirkan legenda basket Michael Jordan dan membuat Olajuwon tak menjadi pemain paling handal.
Yao Ming tak sempat mencicipi juara NBA, tapi dia salah satu pemain asal Cina paling sukses di NBA. Dia mampu bersaing dengan Shaquille O’neal, pemain center AS yang masa itu merupakan pemain terbaik di posisinya. Namun, pada draf tahun 2002, Yao adalah pemain pertama yang dipilih.
Profesor dari McDonough School of Business, Michael Czinkota dan Profesor Emeritus dari Universitas Georgetown, Ilkka ronkainen, menilai pengambilan pemain internasional saat itu, khususnya Yao Ming, merupakan salah satu bentuk pemasaran NBA.
Komisioner NBA, David Stern, telah memetakan bagaimana basket AS bisa menembus pasar global hampir 15 tahun lamanya. Selama ini, tantangan terbesar basket adalah sepakbola yang telah mendunia lebih awal. Yao adalah langkah yang terbilang sukses karena bukan hanya kemampuannya di bawah keranjang, tapi kepribadiannya yang unik dan humoris menambah daya jual NBA.
“Di mana negara lain yang cocok untuk mencari target pertumbuhan global eksponensial selain dari Cina, rumah dari 1,3 miliar orang? Rockets dan NBA sangat bersyukur dengan adanya “Ming Mania”, tulis Michael dan Ilkka dalam International Marketing (2007).
Berdasar catatan Michael dan Ilkka, Presiden Rockets, George Potolos, juga mengakui efektivitas hadirnya Yao di tim mereka. Dalam seminggu setelah menggaet Yao, Rockets mendapat perhatian daripada tim juara NBA lainnya.
Potolos bukan asal bicara. Dalam debut Yao bersama Rockets melawan Pacers di Oktober 2002, penonton dari Cina mencapai 287 juta orang. Sementara di AS, jumlah penonton pertandingan itu hanya mencapai 105 juta jiwa.
Pemberian peluang bagi pemain asing itulah yang kemudian memunculkan bintang-bintang internasional lain macam Luka Doncic dan Giannis Antetokounmpo. Dalam sebuah kesempatan Giannis mengatakan, pemain dari negara lain yang lebih dulu sukses di NBA-lah yang telah membuka impiannya untuk bisa bermain di liga basket nomor satu dunia tersebut.
“Ini karena Dirk Nowitzki, Pau Gasol, Tony Parker, Manu Ginobili, dan lainnya. Bahkan Drazen Petrovic. Mereka membuka jalan untuk kami,” ucap Giannis seperti dilansir NBA.com.
Kemunculan para bintang basket internasional di NBA yang kini mulai mengancam popularitas para pebasket AS sejatinya sempat diprediksi oleh Shaquille O’neal. Seperti dilansir Washington Post, O’neal mengakui darah muda dari Eropa sudah berbekal latihan yang lebih serius daripada di AS yang cenderung bermain tidak teratur.
“Di sana, mereka latihan dasar. Di sini, kita bergantung pada talenta: kemampuan melompat, menembak bola, dan berlari. Orang Eropa selalu seperti itu, dan Doncic terlihat sangat baik,” kata O’neal.
Pebasket Eropa sejak usia remaja memang biasanya punya langkah awal dengan masuk ke liga profesional, bukan hanya fokus untuk masuk kuliah. Di kasus Doncic, sejak SMA dia sudah bergabung dengan Real Madrid. Dan dengan pengalaman itu, mereka berada satu langkah di depan daripada calon atlet basket masa depan di Amerika.
“Itulah bedanya rookie di AS dengan luar negeri. Rookie di AS seringkali tidak cukup pengalaman. Jika saya dipilih masuk NBA waktu tahun pertama perkuliahan, yang saya tahu hanyalah SMA, di mana saya bisa melakukan apapun, karena saya-lah yang paling hebat,” kata pebasket AS, Wesley Matthews.
Ketika Milwaukee Bucks berhadapan dengan Lakers pada 20 Desember 2019 lalu, Giannis sempat melakukan selebrasi unik usai melesakkan three point. Ia berlari sembari memegangi kepalanya, seakan sedang memakai mahkota raja. Selebrasi tersebut niscaya dapat ditafsirkan menjadi sebuah makna: suatu saat posisi King James bisa saja tergantikan oleh Giannis.
Terlepas dari bagaimana kebenarannya nanti, yang jelas ancaman dari para pemain asing terhadap perbasketan AS itu memang ada dan berlipat ganda.
Editor: Eddward S Kennedy