tirto.id - Pada 15 Mei 2019, Sekjen Relawan Informasi Teknologi (IT) Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Dian Islamiati Fatwa, membagi laporan forensik IT BPN ke wartawan (PDF). Laporan sejumlah 34 halaman itu mereka klaim sebagai bahan bukti dalam membuktikan modus operandi kecurangan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Mereka mengklaim menguji acak dokumen salinan perhitungan suara model C1 versi scan di seluruh Indonesia. Dokumen C1 itu mereka ambil dari Situng KPU dan KawalPemilu. Pada penjelasan bagian 6.2 dalam laporan, halaman 13, mereka mengatakan menggunakan teknik uji Error Level Analysis (ELA).
Ada 15 dokumen C1 yang mereka tunjukkan dalam laporan itu. Empat dokumen dibahas secara khusus, sementara 11 lainnya ada dalam appendix (lampiran).
Pada halaman 14, mereka menyebut dokumen C1 scan dari TPS 20, Gabusan, Jati, Blora, Jawa Tengah mengarah pada konten bertipe salin-tempel (copy paste). Hasil analisis ELA yang mereka lakukan menemukan indikasinya: dokumen tersebut memiliki tingkat kualitas yang tidak solid dan ada bagian yang tidak selaras. Mereka menduga bagian tertentu dalam dokumen sudah ditambahkan atau diubah sedemikian rupa.
Kasus lainnya adalah kasus di TPS 04, Bajang Talela, Camplong, Sampang, Jawa Timur. Laporan itu menyebut KPU telah melakukan penggantian dokumen C1. C1 lama telah terindikasi mendapatkan corat-coret pada bagian tertentu. Menurut hasil forensik BPN, C1 yang baru hasilnya terlihat lebih buram, sehingga kadar keasliannya diragukan.
Laporan forensik IT BPN itu lantas menyimpulkan bahwa: “(1) Diduga C1 KPU telah diedit atau dirubah; (2) Diduga C1 KPU BUKAN ASLI tetapi diduga diambil dari sumber lain dengan cara Copy-Paste metoda dan (3) C1 KPU tidak dapat digunakan sebagai informasi untuk rekapitulasi suara karena sudah cacat hukum.”
Mereka memberikan saran agar proses “validasi suara C1 KPU mesti dilakukan dengan menggunakan forensik IT bersama dengan C1 pleno.”
Benarkah informasi itu? Bagaimana cara menilai informasi laporan forensik IT BPN tersebut?
Mengenai Teknik ELA
Dalam keterangan di bagian referensi laporan (halaman 25), mereka menyebut soal “cara menganalisa keaslian foto” dari cendolshare.blogspot.com. Sementara itu, perkakas ELA yang mereka pergunakan besar kemungkinan didapat secara online.
ELA memungkinkan identifikasi area tertentu dalam gambar pada level kompresi berbeda. Seluruh gambar semestinya berada pada level yang kurang lebih sama. Jika ada bagian dalam gambar yang memiliki nilai berbeda, ada kemungkinan telah terjadi modifikasi digital.
Namun, ELA tidak mengidentifikasi sumber. Jika gambar dengan kualitas lebih rendah digabungkan ke gambar dengan kualitas lebih tinggi, gambar dengan kualitas lebih rendah dapat muncul sebagai daerah yang lebih gelap.
Metode utamanya adalah melakukan analisis dari petunjuk-petunjuk sederhana dari file JPEG, seperti shadows (bayangan dalam gambar), eyes (dots arah cahaya), EXIF (metadata sebuah file), dan reflections (refleksi dalam gambar).
Ada rupa-rupa perkakas ELA. Selain fotoforensics yang telah disebutkan di atas (yang digunakan BPN), ada pula perkakas online lain, yakni Forensically, serta perkakas offline Ghiro yang berjalan dalam sistem Linux. Layanan gratis fotoforensics terkadang tidak memungkinkan untuk mengunggah banyak foto/gambar.
Namun, ELA punya kelemahan: “ELA hanya satu algoritma. Interpretasi hasil mungkin tidak konklusif. Penting untuk memvalidasi temuan dengan teknik analisis dan algoritma lainnya,” demikian keterangan dalam fotoforensics.
Penurunan kualitas file lebih dari satu kali resave juga turut berdampak pada hasil analisis. Kemampuan untuk mendapatkan analisis dengan teknik ini juga memerlukan semacam ‘pengalaman’ sebelum mendapatkan hasil yang tepat.
ELA Dokumen C1 BPN
Dalam penelusuran fakta ini, Tirto mencoba melakukan uji dengan tiga perkakas ELA itu dan membandingkan hasilnya antara yang satu dengan lainnya. Hasilnya tidak jauh berbeda (dapat dilihat dalam dokumen ini).
KPU sendiri tampaknya tidak menerapkan prosedur dengan standar tinggi untuk informasi metadata-nya (Jeffrey's Image Metadata Viewer dapat digunakan untuk mengecek soal ini). Setiap dokumen C1 scan dilengkapi informasi tanggal atau jam yang mungkin bisa berguna dalam uji forensik.
Kelemahan lainnya, BPN sendiri tidak menggunakan data gambar pembanding dalam uji ELA. Jika dua gambar diuji, akan terlihat perbedaan di antara keduanya. Padahal, dalam kasus ini, BPN dapat menggunakan dokumen C1 yang mungkin mereka miliki dari tim saksi.
Artinya, mengandalkan satu analisis tafsiran saja soal ELA, seperti dalam laporan BPN, kurang cukup untuk sampai pada kesimpulan bahwa hasil visual tertentu adalah bukti bahwa dokumen C1 dimodifikasi secara sengaja.
FAKTA
TPS 20, Gabusan, Jati, Blora, Jawa Tengah
Klaim dalam laporan BPN untuk kasus TPS 20, Gabusan, Jati, Blora, Jawa Tengah adalah (dengan suntingan):
1) Latar belakang berhologram tidak sealur dengan konten, 2) menggunakan ELA, kotak tidak jelas atau buram yang ini menandakan konten di copy-paste dari sumber lain dan dibuat tembus pandang, 3) Tanda tangan Sutomo lebih terang dan lebih jelas daripada yang lain, dicurigai waktu tanda tangan berbeda dengan tanda tangan pihak lain. (Lihat selengkapnya pada laporan halaman 14).
Tuduhan BPN sebenarnya dapat dengan mudah dicek dengan melihat dokumen salinan yang dipegang para saksi. Perlu diingat, salinan dokumen C1 per TPS dibuat rangkap untuk setiap partai politik dan kandidat paslon capres-cawapres yang menyediakan saksinya.
Tirto mendapatkan scan salinan dokumen C1 yang dimiliki oleh tim saksi Partai Gerindra wilayah Jawa Tengah. Sriyanto Saputro, Sekretaris DPD Partai Gerindra, memberikan kepada kami, 17 Mei 2019. (PDF)
Hasilnya? Sama persis. Bahkan, kecurigaan tanda-tangan Sutomo, saksi dari paslon 01 dalam C1 itu yang disebut lebih terang dan lebih jelas, juga tampak dalam salinan dokumen C1 yang dimiliki oleh tim saksi Partai Gerindra.
Sementara itu, soal hologram C1, tampaknya BPN mengelirukan watermark sebagai hologram. Dokumen C1 berhologram adalah dokumen C1 yang disimpan dalam kotak surat suara dan tidak dapat digandakan. Salinan dokumen C1 yang dikirim ke KPU dari setiap TPS adalah dokumen C1 bersih tanpa ada watermark (sama persis dengan yang dimiliki para saksi-saksi). Watermark hanya ada dalam Situng KPU setelah proses scan-upload.
Mengapa watermark dalam C1 Situng KPU itu tidak simetris seperti disebut dalam laporan BPN? “Bisa jadi proses scan-nya yang kurang tepat. Kemudian dia tidak sejajar begitu”, terang M. Khamdun, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Blora Jawa Tengah, pada 20 Mei 2019,.
Meski demikian, ia menyatakan bahwa dalam proses rekapitulasi manual berjenjang hingga tingkat kabupaten di Blora, tidak ada keberatan saksi yang tidak dapat diselesaikan. Artinya, hasil rekapitulasi manual telah clear dan diterima semua pihak.
TPS 04, Banjar Talela, Camplong, Sampang, Jawa Timur
Dalam laporannya (halaman 22), tim forensik IT BPN menyebutkan KPU melakukan manipulasi dengan mencoret-coret dokumen salinan C1 untuk TPS 04, Banjar Talela, Camplong, Sampang, Jawa Timur. Mereka juga menuduh KPU lantas mengganti C1 dengan dokumen salinan C1 yang baru.
Insiden tersebut benar terjadi, tapi masalah ini sudah selesai. Hal ini muncul ke publik pada 24 April 2019. Media lokal sempat memberitakannya.
Dokumen salinan C1 lama yang dicorat-coret dan keliru itu dapat dilihat arsipnya di situs bantukpu.id. Kala itu, paslon 01 ditulis mendapatkan suara sebanyak 219, sementara paslon 02 mendapatkan 0 suara.
“Sudah clear ketika pleno kecamatan. PPS Ds. Banjar Talelah mengaku khilaf atas perubahan tersebut. Dan [hasil sidang rekapitulasi] pleno kecamatan dan kabupaten sudah sesuai dengan C1 02 [tim saksi paslon 02],” kata Muhammad In Ami, tim saksi relawan paslon 02, kepada Tirto (19 Mei 2019).
Data dan salinan C1 di dalam Situng KPU (update per 20 Mei 2019, pukul 21:15:04) menyebutkan bahwa perolehan paslon 01 di TPS tersebut adalah 37, sedangkan paslon 02 mendapat 166 suara. Ami pun menyebutkan angka yang sama.
KESIMPULAN
Melalui pemeriksaan fakta ini, kami menyimpulkan beberapa hal.
Pertama, laporan ELA dari tim forensik BPN perlu dipahami sebagai hasil analisis yang tidak dapat berdiri sendiri dan konklusif. ELA sebagai alat bantu memiliki kelemahan. Dokumen salinan scan C1 yang KPU unggah ke Situng tidak memuat informasi metadata yang lengkap. Padahal, dalam uji forensik dengan teknik ELA, metadata ini bisa jadi faktor penting.
Uji analisis gambar yang BPN lakukan pun tidak menampilkan data gambar pembanding lain. Padahal, BPN semestinya dapat menggunakan dokumentasi yang sudah dihimpun para saksi-saksi internal mereka.
Kedua, upaya konfirmasi kami ke beberapa narasumber untuk kasus TPS 20, Gabusan, Jati, Blora, Jawa Tengah dan TPS 04, Banjar Talela, Camplong, Sampang, Jawa Timur menunjukkan kesimpulan tim BPN adalah kesimpulan sumir.
Untuk TPS pertama, didapat bahwa C1 di Situng KPU sama dengan yang dimiliki oleh saksi. Untuk kasus TPS kedua, memang sempat ada perubahan angka yang diakui KPPS. Namun, persoalan itu sudah selesai di pleno tingkat kecamatan. Data yang kini terunggah di Situng KPU adalah data yang benar.
Editor: Maulida Sri Handayani