tirto.id - Perkembangan pesat teknologi ponsel pintar membuat piranti ini sangat digemari. Ukurannya yang kecil, ringkas, lagi ringan, sekaligus bisa menggabungkan beragam fungsi alat elektronik dan konvensional dalam satu perwujudan yang sederhana, membuat ponsel seperti sebuah kebutuhan primer. Kalkulator, jam, kalendar elektronik, hingga kamera tersedia di sana. Dilengkapi GPS, kompas digital, dan aplikasi peta, ponsel pintar pun sanggup menggantikan berlembar-lembar peta.
Meski memiliki ponsel pintar sudah memiliki beragam fungsi, akan tetapi ambisi untuk terus meningkatkan kemampuannya untuk menggantikan Personal Computer (PC) masih menemui hambatan. PC atau lebih dikenal dengan istilah komputer merupakan sarana bekerja dan hiburan yang telah menjadi standar selama puluhan tahun. Kombinasi monitor, keyboard dan mouse sulit digantikan meskipun bisa disederhanakan dengan teknologi trackpad/touchpad untuk laptop, serta monitor layar sentuh untuk laptop hybrid atau PC Tablet.
Kebutuhan akan sesuatu yang presisi dan tuntutan produktivitas yang tinggi merupakan pembedanya. Untuk keperluan bergerak, tablet seperti Apple iPad Pro memang terkesan lebih praktis. Namun, ketika dihadapkan dengan kebutuhan perkantoran yang intens, iPad Pro tetaplah sebuah tablet yang mengusung iOS, bukan Mac OS, Windows atau Ubuntu. Program atau aplikasi kelas desktop tidak didukung meski alternatif yang lebih ringan tetap tersedia. Di saat kebutuhan produktivitas sangat tinggi, aplikasi seperti Adobe Mobile Creative Suite maupun Microsoft Office Mobile belum sanggup mengimbangi versi desktop.
Meski terkesan sulit, para vendor dan produsen perangkat keras terus berusaha, salah satunya Samsung. Saat peluncuran seri Galaxy S8 akhir Maret lalu, Samsung turut memperkenalkan DeX Station yang diklaim bisa memberikan pengalaman lebih seperti menggunakan desktop saat dihubungkan ke monitor, keyboard dan mouse.
Usaha Tanpa Ujung
Menengok ke belakang, tepatnya pada Januari 2011, Motorola lewat seri Atrix sempat mencoba menawarkan konsep yang serupa. Bedanya, ponsel Motorola Atrix saat itu menawarkan dua jenis aksesori, HD Multimedia Dock yang mirip dengan Samsung DeX Station, dan Atrix Laptop Dock yang membuatnya berubah menjadi laptop.
Saat itu, Android masih berada di versi 2.2 Froyo dan jika dibandingkan dari segi fitur dan fungsional, tentu kalah oleh Android 7.1 Nougat yang diusung Galaxy S8. Namun, Motorola sanggup menawarkan sistem Webtop yang saat itu tergolong revolusioner dan cukup berhasil menawarkan pengalaman menggunakan PC dengan Atrix. Sayangnya, banderol tinggi yang dipasang untuk HD Multimedia Dock maupun Laptop Dock membuat Motorola harus menghentikan penjualan dan pengembangan Webtop setahun setelah diluncurkan karena kurang diminati.
Padahal, selang lima bulan setelah perkenalan Motorola Atrix di ajang CES, Asus pun tak mau kalah. Lewat gelaran serupa di negara asalnya, Asus mendemokan Asus Padfone pada acara Computex di Taiwan. Berbeda dengan Atrix, Padfone merupakan ponsel pintar hybrid yang bisa menjadi tablet ketika dipasangkan dengan Padfone Station, atau menjadi laptop ketika dipasangkan lagi dengan Padfone Station Dock. Meski diperkenalkan pada bulan Mei, Asus Padfone baru dijual secara resmi di awal tahun 2012, dan diikuti generasi penerusnya di bulan Desember.
Bertahun-tahun setelahnya, hanya sedikit vendor yang berusaha menawarkan konsep docking station. Selain harganya yang dinilai mahal, para vendor juga memilih memanfaatkan kehadiran port micro/miniHDMI, MHL, dan fitur USB-OTG pada ponsel pintar terbaru sehingga peran docking station khusus jadi sia-sia. Cukup bermodalkan kabel yang tepat, pengguna bisa menghubungkan ponsel pintar mereka dengan monitor, mouse, dan keyboard dengan mudah.
Satu usaha lain sempat dilakukan oleh Microsoft saat memperkenalkan Windows 10 Continuum pada April 2015. Dengan sistem serupa DeX, ponsel pintar berbasis Windows 10 Phone akan "berubah" seperti Windows 10 versi desktop dari segi tampilan. Namun, lagi-lagi, hanya tampilan saja yang berubah karena sistem operasinya tetaplah Windows 10 versi Phone atau Mobile.
Sebagai empunya sistem operasi kelas desktop paling popular di dunia, Microsoft pun tetap belum dapat menyatukan fungsi desktop dan mobile secara tepat. Padahal, seperti dikatakan oleh ONMSFT, konsep Continuum sudah dipikirkan sejak akhir 2012 sehingga seharusnya bisa lebih sempurna.
Satu yang sebenarnya bisa menjadi penantang adalah ponsel pintar Ubuntu Edge. Diperkenalkan melalui layanan Crowdfunding popular Kickstarter, Ubuntu Edge menjanjikan OS mobile Android dan Ubuntu Mobile saat difungsikan sebagai ponsel pintar, namun berubah menjadi Ubuntu Desktop saat menggunakan docking station. Meski kalah popular dibandingkan Windows dan Mac, Ubuntu tetaplah sebuah sistem operasi kelas desktop. Sayangnya, meski berhasil meraih angka fantasits 12.814.216 dolar AS dalam kampanye, jumlah tersebut jauh di bawah angka 32 juta dolar AS yang diminta. Alhasil, Ubuntu Edge tak jadi hadir di pasaran.
Solusinya adalah Mengalah
Masalah utama yang dihadapi adalah perbedaan arsitektur serta pemrograman perangkat mobile dan desktop. Untuk ponsel dan perangkat bergerak kebanyakan, arsitektur prosesor yang digunakan adalah ARM sementara desktop lebih mengacu pada X86 dari Intel. Untuk bisa menyatukan keduanya, prosesor X86 haruslah dipasang pada ponsel dan sistem operasi mobile (Android, iOS dan Windows 10 Phone) juga diwajibkan bisa berjalan di prosesor X86.
Tak sulit untuk Android, karena nyatanya di pasaran sudah banyak tablet hybrid maupun mini PC hingga PC berukuran flash disk yang mengusung dua OS sekaligus, Android dan Windows 10 versi desktop. Semua itu dimungkinkan berkat usaha mem-porting OS Android supaya bisa berjalan di perangkat dengan prosesor X86. Tapi, performanya jadi kurang maksimal.
Pasalnya, prosesor Intel Atom yang digunakan belum mengusung modem untuk konektivitas jaringan telepon maupun data maupun GPU dalam satu chipset. Hal tersebut berbeda dengan yang dilakukan oleh Qualcomm, Samsung dengan Exynos maupun Mediatek. Hal tersebut membuat sedikit sekali vendor yang mengusung prosesor Intel pada ponsel pintar mereka.
Kabar terakhir pun kurang baik untuk Intel. Dilansir dari PC World, Intel telah menghentikan usaha mereka dalam mengembangkan prosesor Atom untuk perangkat bergerak. Namun, sedikit kabar baiknya adalah Spreadstrum, produsen chipset yang melisensi arsitektur Atom dari Intel, masih terus berusaha menghadirkan prosesor tersebut ke pasaran. Hanya saja, seperti disebutkan sebelumnya, akankah prosesor tersebut digunakan oleh vendor ponsel masih menjadi pertanyaan besar.
Penggunaan prosesor X86 dari Intel di PC Windows maupun Mac tetap bertahan karena sudah terlanjur banyak perusahaan perangkat lunak yang memang membuat aplikasi dan program mereka berdasarkan arsitektur tersebut. Menariknya, Microsoft sedang mengembangkan Windows 10 agar bisa berjalan secara penuh di perangkat dengan prosesor berbasis ARM seperti yang diberitakan oleh The Verge. Jika ini benar terjadi, pangsa pasar ponsel pintar berbasis Windows 10 Phone bisa jadi meningkat, setidaknya sangat menarik untuk pekerja kantoran.
Penulis: Andry Togarma Hermawan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti