tirto.id - Seorang pria berlutut di hadapan seorang gadis dengan satu tangan menengadah, mempersembahkan kotak kecil berisi cincin berlian, lantas bertanya, “Maukah kau menikah denganku?”
Romantisme itu terpatri dalam ingatan sepanjang saya mengingat lamaran. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari, saya tak pernah melihat yang sepersis itu: berlutut, menengadahkan tangan, lalu menyerahkan cincin. Namun, dalam kehidupan orang lain, terlebih yang berasal dari kelas menengah ke atas, rasanya tak sulit menemukan cerita haru-biru begini.
Siapa sangka romantisme yang terpatri dalam ingatan saya ini adalah buah dari salah satu kampanye pemasaran paling sukses yang telah berusia nyaris seratus tahun. Ada andil perusahaan dagang berlian. Salah satu yang paling gemilang, meski tak mampu bertahan lebih lama: De Beers dari Inggris Raya.
Peredaran Berlian di Kalangan Kelas Atas
Berlian adalah simbol. Sejak awal mula penemuannya, batu mulia ini telah digambarkan sebagai benda bernilai tinggi. Pengetahuan mengenai berlian berawal di India, tempat berlian pertama kali ditambang, tepatnya pada abad ke-4 sebelum masehi.
Dalam bahasa Sansekerta, berlian merujuk pada kata "vajra", "petir", dan "Indrayudha" atau "senjata Indra". Dalam kitab suci Weda, Indra adalah seorang dewa. Simbol petir menunjukkan banyak hal tentang pengertian berlian di India, salah satunya yakni bahwa berlian adalah simbol kekuatan.
Berdasarkan skala kekerasan mineral Mohs, berlian memang termasuk batu terkeras di dunia dengan tingkat kekerasan antara 7,5 sampai 10 skala Mohs. Skala ini diciptakan oleh seorang geolog dan mineralog asal Jerman, Friedrich Mohs untuk mengklasifikasikan ketahanan goresan terhadap berbagai batuan mineral melalui kemampuan suatu bahan keras menggores bahan yang lebih lunak.
Catatan sejarah berikutnya mengenai berlian meloncat hingga abad ke-13 setelah masehi. Raja Louis IX dari Perancis saat itu menetapkan undang-undang yang menyatakan bahwa seorang raja berhak mendapat persembahan berupa berlian. Para sejarawan kemudian meyakini bahwa undang-undang ini membuktikan betapa bernilainya berlian saat itu hingga menjadi hadiah persembahan bagi raja.
Setelah itu dalam rentang waktu ratusan tahun kemudian, berlian mulai beredar di kalangan bangsawan, kalangan aristokrat, dan segelintir pedagang-pedagang kaya di benua Eropa. Berlian jadi simbol kekayaan dan kemewahan di kalangan kelas atas bahkan bagi penghuni tanah jajahan, Hindia Belanda.
Dalam bukunyaRas, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda (2022), sejarawan Peter Carey dan Farish A. Noor sempat menyebutkan sejumlah kecil kekayaan yang dimiliki oleh para bangsawan pribumi. Di antaranya ketika Edouard Errembault de Dudzeele berhasil menangkap Raden Ayu Mangkorowati, ibunda Pangeran Diponegoro dan putrinya, Raden Ayu Basah pada tahun 1829.
Errembault adalah seorang perwira Belanda berpangkat letnan kolonel kelahiran Belgia. Dia menulis catatan harian selama ditugaskan untuk menumpas laskar Diponegoro yang berperang melawan Belanda dalam perang Jawa.
Dalam catatan hariannya dia menulis, ketika putri dan ibunda Pangeran Diponegoro ditangkap, letnan kolonel itu masih mengizinkan para perempuan ini menyimpan harta benda mereka di antaranya sebatang emas padat seberat tiga pon (1,36 kilogram) dan perhiasan pribadi, termasuk beberapa cincin berlian dan anting, juga sebuah keris pusaka kecil atau belati (hal. 63-64).
Demi Mempertahankan Kilau Berlian
Ratusan tahun kemudian, berlian telah beredar secara luas di kalangan orang-orang kaya di Eropa, Amerika, Asia, singkatnya di belahan bumi mana pun.Perkembangan ini di satu sisi membawa keuntungan bagi para penambang besar berlian karena permintaan terhadap berlian meningkat tajam.
Namun, kemajuan ini sekaligus membawa kabar buruk yang segera mematahkan mitos bahwa berlian adalah permata langka. Terlebih setelah dua peristiwa besar menjelang akhir abad ke-19 yang mengubah paradigma berlian pada abad berikutnya.
Peristiwa pertama adalah ketika tambang berlian terbesar di dunia ditemukan di Afrika Selatan pada tahun 1870-an. Kekayaan berlian yang luar biasa di negeri ini membuat persediaan berlian melimpah ruah hingga rasa-rasanya cukup bagi siapa pun yang ingin memilikinya.
Sementara, peristiwa kedua adalah ketika mahkota permata Perancis, yang dijual pada tahun 1887, menjadi milik para kapitalis kaya raya, khususnya di Amerika Serikat (AS) yang memang sedang gemar bermewah-mewahan.
Kedua peristiwa ini lantas mengubah pangsa pasar berlian hampir di seluruh dunia. Jika sebelumnya, berlian hanya mampu dimiliki oleh segelintir kecil kalangan bangsawan dan aristokrat, maka setelah masa-masa ini, siapa pun dapat memiliki berlian.
Selama mampu menebus harganya, berlian-berlian itu menerobos masuk ke dalam kantong orang-orang kaya, tak peduli apa pun latar belakang mereka. Perubahan ini bagaikan buah simalakama. Pasalnya, ketika berlian kehilangan status sebagai permata langka, harganya akan anjlok.
Dalam keadaan terjepit, sebuah perusahaan tambang berlian di Afrika Selatan, mencoba mencari jalan keluar. Tambang berlian ini pada awalnya dimiliki oleh Diederik dan Johannes de Beer. Namun kemudian dibeli secara paksa oleh Cecil Rhodes yang mendirikan perusahaan pertambangan komersial De Beers pada tahun 1871.
Didorong oleh kekhawatiran mengenai status kelangkaan batu permata, pada tahun 1888, De Beers berubah menjadi kartel yang lantas menguasai hampir sebagian besar produksi dan distribusi batu permata.
Perusahaan ini mengontrol seluruh peredaran berlian dari hulu ke hilir, sejak dari penambangan, perdagangan, hingga pemasaran. Adalah Ernest Oppenheimer, tangan besi di balik kesuksesan monopoli berlian yang dilakukan oleh De Beers. Di masa kepemimpinannya, tepatnya pada tahun 1902, De Beers menguasai 90 persen produksi dan distribusi berlian di seluruh dunia.
Sayangnya, bisnis berlian kembali diuji ketika era Depresi Hebat melanda hampir seluruh negeri pada tahun 1930-an. Setelah berhasil mempertahankan ilusi kelangkaan berlian dengan mengendalikan distribusinya, De Beers kembali mencari cara agar harga berlian tetap stabil dan tidak terpengaruh oleh situasi ekonomi.
Persoalan ini beroleh solusi ketika Harry Oppenheimer, putra Ernest Oppenheimer, menjajaki kerjasama dengan N.W. Ayer & Son, biro iklan ternama yang mengklaim diri sebagai biro iklan tertua di AS.
N.W. Ayer memilih AS sebagai pasar berlian ketimbang Eropa yang saat itu sedang berada di bawah ancaman perang. Riset pasar segera dilakukan untuk mencari tahu persepsi orang-orang AS terhadap berlian.
Hasilnya, mereka mendapati kesimpulan bahwa berlian dianggap sebagai barang mewah yang hanya diperuntukkan bagi konglomerat. Riset pasar itu juga menghasilkan keputusan bahwa ketimbang hanya memperlakukan berlian sebagai barang mewah, perlu ada faktor emosional yang mengikat berlian dengan para calon pemiliknya.
Setidaknya, ada tiga alasan yang melandasi N.W. Ayer merancang sebuah kampanye pemasaran berlian yang kelak akan diingat sebagai salah satu kampanye pemasaran tersukses di dunia. Ketiga alasan itu adalah:
- Mendorong orang-orang kaya Amerika membelanjakan uang mereka untuk membeli berlian berkualitas tinggi, bukan sekadar berlian remeh-temeh.
- Mencegah berlian dijual kembali yang akan menyebabkan harganya anjlok karena banyaknya berlian yang telah beredar di pasaran.
- Memberikan alasan yang dapat mendorong orang untuk membeli berlian yang akan disimpan dalam jangka waktu panjang.
Strategi ini mendulang pujian di dunia pemasaran karena kemampuannya mengubah barang mewah menjadi kebutuhan. Tak hanya itu, strategi ini juga banyak dipuji karena berhasil menjungkirbalikkan prinsip ekonomi, di mana harga sebuah barang bakal bergantung dengan permintaan dan persediaan.
Dengan menciptakan aspek emosional, harga berlian tetap tinggi sekali pun pada kenyataannya, persediaannya berlimpah ruah.
Pendekatan yang dilakukan De Beers dengan memasukkan aspek emasional dalam sebuah produk kini menjadi strategi pemasaran yang umum kita temui di produk lain. Strategi ini kerap disebut sebagai emotional marketing atau pemasaran emosional.
Sebuah reportase oleh Blogging Lift berjudul12 Emotional Marketing Statistics (2023): New Stats & Data menemukan beberapa hasil mengejutkan terkait efektivitas emotional marketing.
Sejatinya, 95% pembelian kita dipengaruhi oleh faktor alam bawah sadar dan bagian terbesar yang berkontribusi adalah emosi. Baik itu rasa gembira, marah, sedih, atau takut. Kampanye yang secara murni menggunakan konten emosional memiliki performa dua kali lipat lebih baik dibandingkan konten rasional.
Hal ini terbukti dari hasil temuan yang menyebutkan 23% lonjakan penjualan dihasilkan dari iklan dengan respons emosional di atas rata-rata. Selain itu, 70% audiens sangat mungkin membeli suatu produk yang dipicu secara emosional oleh sebuah iklan.
Mempertimbangkan hasil studi dan cerita sukses De Beers, emotional marketing patut menjadi strategi yang dapat dipertimbangkan untuk menarik perhatian calon konsumen.
Untuk menentukan kampanye apa yang cocok, Anda harus mempelajari karakteristik pelanggan. Kemudian mulai mencari ide-ide inspirasi atau tahap cerita kehidupan mana yang sesuai untuk memasarkan produk.
Editor: Dwi Ayuningtyas