Menuju konten utama
Bisnis Penerbangan

Untung Rugi Maskapai Asing di Rute Penerbangan Domestik

Akankah mengundang maskapai asing untuk bersaing di rute domestik Indonesia menjadi solusi yang bijak?

Untung Rugi Maskapai Asing di Rute Penerbangan Domestik
Pesawat penumpang komersial asal India Jet Airways parkir di Bandara Internasional Chhatrapati Shivaji Maharaj di Mumbai, India, Kamis, 18 April 2019. AP / Rafiq Maqbool

tirto.id - Layanan video call dari salah satu aplikasi komunikasi internasional menjadi sarana andalan Edwien (32) saat ini. Ia urung bersilaturahmi kepada orang tua di kampung halaman di Takengon, Aceh Tengah, pada Idul Fitri 1440 Hijriah kemarin. Pasalnya, ongkos pesawat pulang-pergi yang mencapai Rp24 juta untuk memberangkatkan dirinya, istri serta seorang anak dari Jakarta ke Takengon, terlalu berat untuk ditanggung.

"Buat apa memaksakan diri mengeluarkan uang sebesar itu untuk tiket pesawat aja? Kalau ada uang segitu ya mending transfer aja semua uangnya buat orang tua daripada cuma buat ongkos pesawat aja," ucap pekerja swasta di sektor layanan publik ini di Jakarta kepada Tirto.

Harga tiket pesawat yang melambung tinggi ditanggapi Presiden RI Joko Widodo dengan wacana mengikutsertakan maskapai asing untuk melayani rute domestik di Indonesia bersama dengan perusahaan penerbangan dalam negeri lainnya. Jika pelaku usaha di bisnis penerbangan rute domestik bertambah, diharapkan harga tiket pesawat dapat semakin ditekan.

Bukan Hal Baru

Permasalahan tiket domestik mahal sesungguhnya juga terjadi luar negeri. Di Australia bagian Utara, misalnya, harga tiket domestik lebih tinggi dibanding harga tiket penerbangan internasional. Solusinya? pemerintah setempat melakukan uji coba mengizinkan maskapai asing masuk secara penuh untuk penerbangan rute Darwin ke Townsville atau dari Broome ke Cairns.

Di Brasil, Senat memutuskan untuk merevisi aturan yang membatasi kepemilikan saham maskapai asing di negara tersebut dari 20 persen menjadi 100 persen untuk layanan rute penerbangan domestik. Ini artinya, maskapai asing akan dapat melayani rute domestik di Brasil.

Keputusan ini disambut baik oleh tiga maskapai asing yang serius membicarakan kesepakatan operasional penerbangan domestik dengan pemerintah Brasil. Namun, keputusan senat itu masih perlu tanda tangan Presiden Jair Bolsonaro agar sah menjadi sebuah ketetapan hukum.

Selama ini penerbangan domestik Brasil dikuasai oleh tiga pemain utama yang mengendalikan lebih dari 92 persen lalu lintas penerbangan; Gol Linhas Aereas Inteligentes yang 9,4 persen sahamnya dimiliki oleh Delta Air Lines Inc., LATAM Airlines Group yang 10 persen sahamnya dimiliki oleh Qatar Airways, dan Azul SA yang 8 persen sahamnya dimiliki oleh United Airlines.

Potensi Rute Domestik Indonesia

Di sisi lain, penerbangan rute domestik Indonesia sendiri menyimpan pesona. Menurut Centre for Aviation (CAPA) rute domestik Indonesia merupakan salah satu yang terbesar dan paling dinamis di dunia dengan porsi hampir 75 persen dari total lalu lintas penumpang.

Lebih lanjut, selama 13 tahun terakhir, lalu lintas penumpang rute pesawat domestik di Indonesia meningkat nyaris empat kali lipat menjadi 112 juta pada 2018 dari semula kurang dari 30 juta pada 2005. Akselerasi pertumbuhan penumpang pesawat domestik terjadi pada 2016 dan 2017, dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 17 persen dan 8 persen.

Uang yang berputar di industri aviasi ini bahkan menurut Arista Atmadjati, pengamat penerbangan sekaligus Direktur Arista Indoensia Aviation Centre (AIAC), mencapai 150 triliun sampai dengan 200 triliun.

"Perputaran uang itu di seluruh aspek industri penerbangan, baik dari penjualan tiket pesawat, perawatan pesawat, otoritas bandara, dan sebagainya," sebut Arista kepada Tirto.

Maskapai Asing: Penyelamat?

Tingginya potensi pasar domestik dan perputaran uang di industri aviasi Indonesia ini jelas menarik minat maskapai asing. Jejak hadirnya maskapai asing di langit Indonesia bahkan sudah terekam sejak awal 2000-an.

Pada 2004, misalnya, AirAsia Group Berhad mulai masuk ke Indonesia melalui pengambilalihan saham Air Wagon Internasional Airline (AWAIR) yang didirikan oleh Abdurrahman Wahid dan kawan-kawan. Saat ini, AirAsia Investment Limited menggenggam 20,95 persen kepemilikan di Indonesia AirAsia, bersama dengan PT Fersindo Nusaperkasa (21,8 persen), dan PT AirAsia Indonesia Tbk (57,25 persen).

Sayang, kendati telah berpengalaman mengudara di langit Indonesia, namun kinerja maskapai penerbangan berbiaya hemat ini masih mengalami kerugian. Laporan keuangan perseroan yang disampaikan kepada Kementerian Perhubungan menyebut kerugian perseroan pada 2018 nyaris mencapai Rp1 triliun.

Angka itu membengkak hampir dua kali lipat dibanding kerugian perseroan sepanjang 2017 yang sebesar Rp512,64 miliar. Sebelumnya, perseroan juga merugi sebesar Rp20,99 miliar pada 2016.

Nasib lebih buruk menimpa Tiger Air Mandala. Perusahaan ini sempat menghentikan semua kegiatan operasional pada Januari 2011. Keputusan itu diambil lantaran perusahaan yang pada saat itu bernama Mandala Air ini terlilit utang dan pendapatan mereka tak mampu untuk menutupi seluruh biaya operasional.

Maskapai ini kemudian sempat diselamatkan oleh suntikan modal dari Tiger Airways Singapore Pte Ltd., anak usaha Singapore Airlines Limited (SIA) dan PT Saratoga Investama, masing-masing sebesar 33 persen dan 51 persen saham. Pada Juni 2011, Mandala yang berganti nama menjadi Tiger Air Mandala, kembali resmi mengudara.

Sayang, kebangkitan perseroan hanya bertahan selama tiga tahun. Manajemen perusahaan memutuskan untuk menghentikan seluruh operasional maskapai dan menutup seluruh rute penerbangan pada 2014. Alasannya serupa. Mereka menanggung beban operasional yang jauh lebih besar dibanding pendapatan perusahaan.

Infografik tiket pesawat

Infografik tiket pesawat saat lebaran. tirto.id/Fuad

"Iklim bisnis penerbangan di Indonesia memiliki tantangan tersendiri karena kurang kondusif untuk maskapai asing. Seperti masuk 'jebakan batman' karena killing field, sebab pendapatan dalam rupiah. Sedangkan, hampir semua pengeluaran dalam bentuk dolar AS," ungkap Arista.

Dengan demikian, permasalahan tingginya harga tiket pesawat menurut Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional dan Hukum Udara dari Universitas Indonesia tidak serta merta bisa terselesaikan dengan liberalisasi industri penerbangan untuk rute dalam negeri.

Ada berbagai hal yang bisa menjadi penyebab melambungnya harga tiket pesawat, mulai dari inefisiensi maskapai, adanya persaingan bisnis yang tidak sehat tentang tarif tiket pesawat, mekanisme penjualan tiket, sampai dengan mahalnya biaya parkir maupun mendaratkan pesawat di bandara yang mengalami kenaikan setiap tahun.

"Pemerintah hendaknya membenahi industri penerbangan dalam negeri dan bukan mengambil jalan pintas dengan mengundang maskapai asing untuk dapat beroperasi melayani rute domestik Indonesia," sebutnya kepada Tirto.

"Jika kebijakan ini diambil, maka 5-10 tahun mendatang, pemerintah Indonesia bisa menyesal sebab akan sulit lagi untuk membatasi masuknya asing ke wilayah udara RI."

Sebagai catatan, maskapai asing tidak dapat masuk ke bisnis rute domestik di Indonesia dengan kepemilikan perusahaan yang utuh. Dilarangnya maskapai asing untuk melayani rute penerbangan domestik suatu negara terkait dengan prinsip cabotage. Prinsip ini tidak terlepas dari prinsip bahwa suatu negara mempunyai hak penuh atas wilayah udara di atasnya, seperti tercantum pada Pasal 1 konvensi Chicago 1944 (PDF).

Di Indonesia, prinsip cabotage secara jelas diatur dalam pasal 37 ayat 1 UU nomor 15 Tahun 1992, di mana angkutan udara niaga yang melayani angkutan udara didalam negeri hanya dapat diusahakan oleh badan hukum Indonesia baik badan usaha milik Negara (BUMN), badan usaha milik swasta (BUMS) maupun koperasi yang telah mendapat izin dari Menteri Perhubungan.

Hikmahanto menambahkan, kajian tentang mahalnya harga tiket pesawat harus dilakukan secara menyeluruh dan holistik. Sebab, lanjutnya, mengundang kedatangan maskapai asing untuk melayani rute penerbangan domestik menunjukkan negara tersebut tidak mampu untuk melayani rute-rute dalam negeri sendiri.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI PENERBANGAN atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Bisnis
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara