Menuju konten utama

Untung Rugi Indonesia Naik Kelas Jadi Negara Upper Middle Income

Kenaikan status ini dapat berdampak pada daya tawar Indonesia menjalin kerja sama internasional. Namun mudaratnya cukup besar bila tak disertai perubahan struktur ekonomi.

Untung Rugi Indonesia Naik Kelas Jadi Negara Upper Middle Income
Presiden Joko Widodo (tengah) memimpin rapat kabinet terbatas mengenai percepatan penanganan dampak pandemi COVID-19 di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (29/6/2020). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/Pool/wsj.

tirto.id - Bank Dunia resmi menaikkan peringkat Indonesia dari Lower Middle Income Country menjadi Upper Middle Income Country. Ini berdasarkan Gross National Income (GNI) per capita Indonesia pada 2019 yang tercatat menyentuh 4.050 dolar AS, naik dari 2018 yang berkisar 3.840 dolar AS.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan naiknya GNI ini bakal meningkatkan kepercayaan dan persepsi investor dan mitra dagang terhadap Indonesia. Indonesia juga semakin dekat dengan target negara maju pada 2045.

Di sisi lain, pemerintah juga mengaitkan ini dengan kesan ekonomi Indonesia kokoh karena bisa naik peringkat di tengah pandemi. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan sampai mengaku “kaget” karena ada pengumuman sebaik itu saat ekonomi sedang lesu-lesunya.

GNI Indonesia pada 2019 itu memenuhi syarat Upper Middle Income Country (4.046-12.535 dolar AS). Capaian ini menandakan berakhirnya perjalanan panjang Indonesia selama 23 tahun di Lower Middle Income Country (GNI:1.036-4.045 dolar AS) sejak 1995.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia sebenarnya tergolong lamban keluar dari Lower Middle Income. Data Kemenkeu menunjukkan Brasil hanya perlu 20 tahun, Meksiko 17 tahun, Malaysia 22 tahun, dan Thailand 19 tahun untuk pertama kali mencicipi Upper Middle Income.

Peneliti dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar B. Hirawan menyatakan naiknya status ini menunjukkan indikator ekonomi Indonesia selama beberapa tahun terakhir terjaga cukup baik. Mulai dari pertumbuhan ekonomi, nilai tukar terhadap dolar AS, dan pertumbuhan jumlah penduduk.

Kenaikan status ini dapat berdampak pada daya tawar Indonesia dalam menjalin kerja sama internasional. Posisi sebagai Upper Middle Income memberi kesan Indonesia dapat menjadi calon penyumbang, alih-alih langganan penerima bantuan.

Hanya saja capaian ini hanya memperhitungkan indikator ekonomi sampai 2019 alias belum menelaah efek perlambatan dan potensi kontraksi ekonomi selama 2020 akibat COVID-19. Alhasil, kenaikan ini masih bisa terkoreksi lagi.

“Tahun depan 2021, prediksi saya Indonesia akan kembali turun ke kelompok negara-negara Lower-Middle Income,” ucap Fajar saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (2/7/2020).

Pendapat Fajar cukup beralasan. Kenaikan kelas bisa dicapai jika pertumbuhan ekonomi bisa konsisten dijaga 5%. Pada 2020 ini prediksi pertumbuhan oleh lembaga dunia menunjukkan angka hampir stagnan sampai kontraksi.

Pertumbuhan ekonomi perlu dijaga karena rentang Upper Middle Income akan terus mengalami perubahan. Pada 2019 rentang Upper Middle Income 4.046-12.535 dolar AS naik dari 2018 yang berkisar 3.896-12.055 dolar AS. Belum lagi kenaikan ini tercapai hanya dengan selisih 4 dolar AS dari batas bawah 4.046 dolar AS yang membuat posisi Indonesia sangat rentan.

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyatakan naiknya peringkat ini bisa diartikan adanya perubahan perlakuan lembaga internasional kepada Indonesia. Masalahnya, Bhima melihat lebih banyak mudaratnya.

“Dampak kenaikan status sebagai negara pendapatan menengah atas lebih negatif bagi kepentingan Indonesia,” ucap Bhima saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (2/7/2020).

Pertama, Indonesia makin dianggap mampu membayar bunga dengan rate yang lebih mahal. Alhasil biaya utang pemerintah bisa jadi lebih mahal. Kreditur juga akan lebih memprioritaskan negara yang income-nya lebih rendah dari Indonesia. Kedua faktor itu menyebabkan pembiayaan murah yang biasa diandalkan pemerintah jadi semakin terbatas.

Kedua, sejumlah negara semakin memiliki alasan kuat untuk mencabut fasilitas perdagangan ke Indonesia. Bhima mencontohkan fasilitas GSP (Generalized System of Preferences) AS yang menguntungkan produk lokal seperti tekstil, pakaian jadi, pertanian, perikanan, coklat, hingga produk kayu. Efeknya bisa menyulitkan ekspor yang sudah berat karena perlambatan ekonomi global.

“Indonesia bisa saja dikeluarkan dari list negara penerima fasilitas tadi. Dan yang perlu dicermati, biasanya langkah negara maju akan diikuti oleh negara lainnya,” ucap Bhima.

Terakhir, Bhima mengkhawatirkan kalau naik kelasnya Indonesia tak disertai perubahan struktur ekonomi. Indonesia berpotensi masuk dalam jebakan negara berpendapatan menengah.

Pasalnya deindustralisasi terus terjadi dan mengancam penyerapan tenaga kerja, tetapi Indonesia terlalu cepat masuk ke sektor jasa yang daya dorongnya lebih rapuh. Pertumbuhan lapangan usaha industri pengolahan dengan sumbangan 20% dari PDB terus melambat dari 4,51% di 2017, 4,25% di 2018 menjadi 3,66% di Q4 2019.

“Ini harus diperbaiki untuk lepas dari jebakan kelas menengah. Jangan berbangga dulu,” ucap Bhima.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, Jumat (19/6/2020) lalu, mengatakan banyak negara sudah 20 tahun lebih tak naik peringkat dari Upper Middle Income ke High Income. Meksiko terjebak 28 tahun, Malaysia 23 tahun, dan Brazil 25 tahun.

Menurut studi Felipe (2012) suatu negara memiliki 42 tahun untuk dapat keluar dari middle income. Dengan 23 tahun habis untuk mencapai upper middle, Indonesia punya 19 tahun untuk menjadi negara maju.

Baca juga artikel terkait PERTUMBUHAN EKONOMI atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas & Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz