Menuju konten utama

Universitas Islam Internasional Indonesia, Buat Apa?

Universitas Islam Internasional Indonesia diniatkan menjadi kontribusi besar Indonesia untuk peradaban. Menurut Presiden, Indonesia ini kan negara yang mayoritas muslim, masak tidak punya pusat kajian Islam bertaraf internasional? Negara lain saja punya, kok. Malaysia punya, Pakistan, Singapura. Mengapa kita tidak?

Universitas Islam Internasional Indonesia, Buat Apa?
Menteri agama Lukman Hakim Saifuddin menabuh gendang saat meresmikan empat program studi (prodi) baru Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar. [Antara foto/Abriawan Abhe]

tirto.id - "Ada UI, Universitas Indonesia; ada UII, Universitas Islam Indonesia; terus denger-denger Pakde Presiden mau bikin UIII, Universitas Islam Internasional Indonesia," tulis kolumnis dan cerpenis Cepi Sabre di akun Facebooknya. "Kapan orang bisa merasa enough is cukup?"

Pendirian universitas bernama panjang itu bukan kabar burung. Ia kabar sebenar-benarnya kabar. Melalui tangan sakti Presiden Jokowi, tak ada angin tak ada hujan, diumumkanlah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia. Perpres itu diteken Presiden Jokowi pada 29 Juni 2016.

Di Pasal 1 ayat (2) Perpres tersebut dijelaskan, “UIII merupakan perguruan tinggi yang berstandar internasional dan menjadi model pendidikan tinggi Islam terkemuka dalam pengkajian keIslaman strategis yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama,”

Dari mana datangnya gagasan ini?

Menurut Menteri Agama Lukman Saifuddin, ide pendirian kampus yang kurang lebih karena tak mau kalah dengan Malaysia dan Pakistan dengan Universiti Islam Antarbangsa Malaysia dan Universitas Islam Internasional Islamabad yang sudah ada sejak lama. Tapi Menteri Lukman tidak menjabarkan kapan pastinya, dan terkesan seperti datang dari langit.

Menag bilang, “Pemerintah ingin ada universitas Islam bertaraf dunia di Indonesia yang tidak hanya mendalami studi-studi keislaman, tapi sekaligus memperkenalkan kepada dunia bahwa peradaban Islam di Indonesia juga bisa memberikan kontribusi positif dalam menata peradaban dunia.”

Tahu-tahu, mulai awal Juni 2016, hampir semua media besar memberitakan rencana pemerintah ini dan tak ada satu pun yang bertanya apa alasan yang mendesak sehingga harus ada UIII. Dilanjutkan berita-berita dukungan dari berbagai kalangan, baik dari pihak dalam maupun luar negeri. Dan sejauh ini, belum ditemukan pula pengamat atau praktisi pendidikan yang mengkritisinya. Preseden yang cukup ganjil di negara demokrasi.

Barangkali semua orang telah sepakat, mungkin pula takut atau tidak enak hati untuk sekadar mempertanyakan urgensi UIII. Barangkali semua orang lebih peduli rencana pembangunan ekonomi Jokowi daripada pembenahan urusan pendidikan dan penelitian yang morat-marit di Indonesia. Sehingga ketika pemerintah mau bikin universitas raksasa, tanpa sedikit pun menunjukkan kepedulian memadai untuk meningkatkan mutu riset di Indonesia secara keseluruhan, semua orang manggut-manggut saja.

Mungkin juga rezim Jokowi betul-betul dicintai sepenuh hati oleh seluruh rakyat Indonesia. Atau mungkin sesederhana benar apa kata Sujiwo Tejo si dalang edan, “Pemimpin tangan besi mematikan nyali. Pemimpin yang dinabikan mematikan nalar.”

Komaruddin Hidayat, mantan Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta, yang terlibat beberapa kali rapat dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri sejak sebelum terbitnya Perpres 57, mengatakan kepada tirto.id bahwa ide pembangunan UIII berasal dari Presiden dan Wapres.

“Kalau berkunjung ke luar negeri, negara luar banyak mengapresiasi kehidupan beragama di Indonesia. Hubungan antar-agamanya bagus, Islam dan demokrasinya berkembang. Dan tokoh-tokoh dunia berharap agar Indonesia menjadi salah satu model dari kehidupan beragama,” kata Komaruddin di kediaman pribadinya di Ciputat, 28 Juli 2016. “Oleh karena itu, salah satu usahanya membangun universitas internasional yang bisa jadi pusat publikasi pengalaman indonesia.”

Universitas Islam Internasional Indonesia, kata Komaruddin, diniatkan menjadi kontribusi besar Indonesia untuk peradaban. “Menurut Presiden, Indonesia ini kan negara yang mayoritas muslim masak tidak punya pusat kajian internasional. Negara lain saja punya, kok. Malaysia punya, Pakistan, Singapura. Lalu mengapa kita tidak menyumbang?”

Selain, secara politis ini juga sangat bagus bagi pemeritah sebagai diplomasi kultural dan intelektual. “Maka mitranya itu nanti dengan Kemlu. Kalau agama, dengan Kemenag. Keilmuan dengan Kemenristekdikti. Jadi, tiga kementerian itu yang akan mengelola.”

Ketika ditanya mengapa tidak memaksimalkan kampus-kampus yang sudah ada saja untuk keperluan tersebut, sekaligus fokus akselerasi mutu riset, Komaruddin menjawab, di negara mana pun universitas memang ada yang world class dan ada yang untuk kebutuhan lokal. Apakah universitas-universitas Islam yang bertebaran di seantero negeri kurang mumpuni?

“Kalau kita sudah punya mobil Kijang, apa salahnya punya mobil Mercy?” katanya.

“Kalau kita sudah punya anak-anak yang kuliah di dalam negeri, apa salahnya kuliah di luar negeri? Artinya, harus ada pusat komunitas yang punya link ke internasional. Salah satunya juga berfungsi untuk mengenalkan yang ada di dalam negeri. Ini medium untuk memperkenalkan tradisi Islam Indonesia, semacam juru bicaranya. Jadi, bukan saingan.”

Pemerintah pun gerak cepat. Dana Rp22 miliar telah disiapkan untuk mendirikan universitas ini. Disiapkan oleh Kementerian Agama: Rp6 miliar dari dana penghematan anggaran dinas, rapat, dan honor, Rp16 miliar diajukan dalam APBNP 2016.

Lokasi pembangunan telah ditetapkan, di Cimanggis, Depok, Jawa Barat dengan luas lahan sekitar 142 hektare. "Di tanah aset negara yang dimiliki oleh Radio Republik Indonesia (RRI),” kata Wapres Jusuf Kalla. “Ideal dan strategis karena relatif dekat dengan Jakarta, ada akses jalan tol menuju lokasi."

Tapi dana Rp 22 miliar masih jauh dari cukup untuk ambisi besar ini. Selanjutnya, Wapres mengatakan akan membuka penerimaan dana bantuan atau hibah dari luar negeri.

Senada dengan JK, Komaruddin mengaku untuk mewujudkan kampus impian ini butuh biaya yang tidak sedikit. “Tanahnya saja yang tersedia 142 hektare. Bangunannya paling 1/3 tanah, sisanya 2/3 mungkin lebih diisi lapangan yang luas, taman, arena jogging dan olahraga, agar orang betah di situ. Kami studi banding beberapa kampus luar negeri, kampus di sana kan halamannya luas-luas, membuat nyaman, seperti small city,” katanya.

“Untuk 7 tahun, mungkin Rp 5-7 triliunlah. Ya, Rp 5 triliun mungkin cukuplah dan nantinya diharapkan ada donatur ikut bangun.”

JK sendiri menargetkan tahun 2018 UIII sudah berdiri. Tapi menurut Komaruddin, 2018 itu masih jauh dari beres. “2018 bisa saja untuk awal—modal memulai perkuliahan. Mulai kan cukup di ruang kuliah, perpustakaan.”

Apalagi, Wapres menginginkan arsitektur dan desain kampus yang canggih, dilengkapi fasilitas teknologi termutakhir dan lingkungan yang hijau. "Harus modern dan futuristik, seperti membangun bandara saja." kata JK.

Tentu rencana ini elok belaka, bertujuan mulia, dan karenanya layak didukung semesta. Lagi pula siapa yang merasa enough is cukup dengan Kijang dan tak ingin punya Mercy?

Baca juga artikel terkait UNIVERSITAS ISLAM INTERNASIONAL atau tulisan lainnya dari Arlian Buana

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Arlian Buana & Aditya Widya Putri
Penulis: Arlian Buana
Editor: Arlian Buana