tirto.id - Bayern Munich membuka jendela transfer musim panas dengan cukup meyakinkan. Dengan mahar 90 juta dolar, mereka meresmikan pembelian pemain belakang asal Perancis yang baru berusia 23 tahun, Lucas Hernandez. Harga itu menjadikan Hernandez sebagai pemain termahal Die Bavarian sepanjang masa.
“Saya sangat senang kami bisa mengontrak Lucas Hernandez, salah satu bek terbaik di dunia dan seorang pemenang Piala Dunia,” terang Direktur Olahraga Munich, Hasan Salihamidzic. “Lucas bisa bermain di tengah dan kiri. Ditambah, Lucas akan melanjutkan tradisi pemain Perancis di sini dan dapat meningkatkan performa tim kami.”
Sebelum bergabung dengan Munich, Lucas menghabiskan 12 tahun di Atletico Madrid. Dalam kurun waktu tersebut, pemain kelahiran 1996 ini mencatat 110 penampilan untuk tim utama.
“Ini adalah hari yang sangat penting dalam karier sepakbolaku,” ungkap Lucas. “FC Bayern Munich merupakan salah satu klub terbaik di Eropa dan dunia. Saya bangga bisa turut serta dalam upaya memperjuangkan semua gelar bersama Munich nantinya.”
Transfer Lucas menggambarkan fenomena yang marak di dunia sepakbola dalam beberapa tahun terakhir: klub-klub Eropa tak ragu mengeluarkan uang banyak untuk membeli pemain belakang. Lucas adalah satu contoh paling mutakhir.
Sebelum Lucas, sudah lebih dulu ada Virgil Van Dijk. Pada musim 2018, Van Dijk dibeli Liverpool dari Southampton dengan mahar 75 juta poundsterling. Nilai transfer tersebut membikin dirinya memegang status bek termahal di dunia sampai sekarang.
Strategi—atau mungkin perjudian—Liverpool nyatanya terbukti ampuh. Van Dijk menjadi pilar penting dalam kesuksesan Liverpool. Kemampuan bertahan, sekaligus menyerang, yang mumpuni merupakan salah satu jaminan kemenangan untuk The Reds.
Statistik sepanjang musim kemarin memperlihatkan Van Dijk berandil dalam 22 clean sheets dan hanya kebobolan 22 gol. Ia juga berhasil membuat 38 tekel dengan rasio keberhasilan mencapai 74 persen, 40 intersep, hingga 244 kali memenangkan duel.
Sebelum dipegang Van Dijk, status bek termahal di dunia berada di pundak David Luiz. Pemain asal Brazil ini pindah ke Paris Saint-Germain dari Chelsea pada 2014 dengan harga £50 juta. Di PSG, Luiz berhasil meraih gelar liga. Namun, Luiz tak lama di Paris. Pada 2016, ia kembali ke Chelsea dengan transfer senilai £34 juta.
Di musim ini, parade transfer bek dengan harga tinggi masih bermunculan. Real Madrid, ambil contoh, telah menghabiskan lebih dari £80 juta untuk dua pemain belakang: Eder Militao (dibeli dari FC Porto dengan mahar £45 juta) dan Ferland Mendy (dari Olympique Lyon dengan uang sebesar £43,2 juta).
Namun tak ada klub yang begitu getol memboyong bek dengan nilai tinggi selain Manchester City. Total, City telah mengeluarkan £233 juta untuk bek-bek baru dalam 3-4 tahun belakangan. Pengeluaran City untuk bek bahkan lebih tinggi dibanding anggaran pertahanan El Salvador, Trinidad & Tobago, Senegal, Chad, dan Guatemala.
Pemain belakang mahal pertama yang datang ke Etihad Stadium adalah Eliaquim Mangala, diboyong dari AS Monaco dengan uang sebesar £42 juta. Setahun setelahnya, giliran Nicolas Otamendi yang tiba di Manchester, dari Valencia, dengan tebusan £34 juta.
Gelombang ini masih berlanjut ketika tampuk kepelatihan dipegang Pep Guardiola pada 2016. Di era Pep, City makin agresif memboyong bek-bek dengan harga yang tinggi. Dimulai oleh John Stones yang dibeli dari Everton dengan harga £47,5 juta. Setahun kemudian, ada Benjamin Mendy (£52 juta, AS Monaco) dan Kyle Walker (£50 juta, Tottenham Hotspur) yang dibawa Pep.
Rekor pembelian bek termahal di City dipecahkan oleh Aymeric Laporte, yang dibeli pada Januari 2018 dari Athletic Bilbao, dengan nilai transfer sebesar £57 juta.
Aksi Pep tak luput dari kritikan. Menurut para pengkritiknya, Pep dinilai kelewat boros. Terlebih, uang yang dihabiskan di jendela transfer "hanya" untuk beli pemain belakang. Namun, Pep tak peduli. Ia beranggapan bahwa apa yang telah dilakukannya masih wajar untuk ukuran klub sebesar City.
“Saya akan memberi tahu mereka bahwa saya mengerti [tentang kritik yang bermunculan],” jelas Pep. “Namun, beberapa klub menghabiskan £300 sampai £400 juta hanya untuk dua pemain. Kami justru menghabiskannya untuk enam pemain.”
Saatnya Bertahan
Diakui atau tidak, pemain belakang dulunya tak punya popularitas cukup baik di mata publik, sekalipun posisi ini telah melahirkan para titan macam Franz Beckenbauer, Paolo Maldini, Javier Zanetti, sampai Franco Baresi.
Sepakbola, di mata publik, adalah arena terciptanya banyak gol, adu permainan menyerang, dan selebrasi kemenangan yang dihasilkan dari sepakan gelandang flamboyan maupun stiker jempolan. Permainan bertahan akan selalu dicap dan diledek sebagai membosankan. Singkatnya, tak ada ruang penghormatan untuk para pemain belakang.
Rendahnya apresiasi terhadap pemain belakang ini juga sampai hingga tataran formal. Ajang Ballon d’Or, misalnya, belum pernah lagi dimenangkan bek setelah terakhir kali Fabio Cannavaro menyabetnya pada 2006.
Jonathan Wilson, seorang pandit sekaligus penulis Inverting the Pyramid: The History of Football Tactics (2008), menyebut sepakbola punya sifat selebritas yang mengedepankan aksi para pemain depan sehingga performa bek, mau tak mau, tertutup sifat tersebut.
Jonathan menambahkan, para pemain belakang di era sepakbola modern sadar bahwa mereka sama sekali tak punya kesempatan untuk memenangkan penghargaan individu karena pekerjaan mereka tak disorot selama pertandingan berlangsung. Publik mengukur kinerja bek hanya dari berapa banyak jumlah tekel yang dibikin—tak kurang dan tak lebih.
Perlahan, makin ke sini ada perubahan sudut pandang publik mengenai para bek. Titik tolaknya terjadi pada 2002, ketika Rio Ferdinand dibeli Manchester United dengan mahar £29 juta dari Leeds United—memecahkan rekor transfer waktu itu.
Sejak saat itu, klub-klub mulai sadar dengan pentingnya eksistensi pemain belakang. Mereka menghargai para bek dengan nilai yang layak: dari Lilian Thuram (£36,5 juta dari AC Parma ke Juventus, 2001), Alessandro Nesta (£27 juta dari Lazio ke AC Milan, 2002), Ricardo Carvalho (£20 juta dari Porto ke Chelsea, 2004), sampai Pepe (£26 juta dari Porto ke Madrid, 2007).
Kebutuhan akan pemain belakang juga didukung dengan berubahnya tren gaya permainan sepakbola modern. Di era sekarang, permainan menyerang sudah bukan lagi jadi idaman. Semenjak tiki-taka, yang mendominasi bola dunia dalam kurun 2008 sampai 2012, berhasil diredam, klub-klub Eropa perlahan pindah haluan ke taktik yang lebih efektif dan efisien.
Contohnya dapat dilihat lewat strategi “parkir bus” yang dipopulerkan Jose Mourinho selama melatih Inter Milan dan Chelsea. Strategi ini, kendati dicerca karena dianggap membunuh sepakbola indah, tetap berhasil mendatangkan kejayaan.
Sam McGuire, dalam tulisannya berjudul “The Value of Central in A Warped World” yang dipublikasikan These Football Times (2015) menulis taktik parkir bus membuktikan bahwa sepakbola tak ubahnya permainan catur: strategi yang dinilai terus mendatangkan kemenangan bakal dipertahankan, tak peduli opini publik.
Dengan menjamurnya strategi yang menekankan keseimbangan antara sisi bertahan dan menyerang, maka, adalah suatu kewajiban bagi pihak klub untuk mempunyai bek yang mumpuni. Sebab, di sepakbola modern masa kini, mencegah banyak gol ke gawang sendiri lebih prioritas ketimbang mencetak banyak gol ke gawang lawan. Dan untuk memastikan lini belakang aman dan tentram, klub rela merogoh kocek dalam-dalam.
Editor: Nuran Wibisono