Menuju konten utama

Tolaklah Vaksin, Penyakit Kau Tangkap

Gerakan anti-vaksin telah menurunkan angka imunisasi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris. Di Indonesia, wabah polio bahkan sempat kembali pada 2005.

Tolaklah Vaksin, Penyakit Kau Tangkap
Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany (kiri) memberikan vaksin polio kepada seorang balita pada acara pekan imunisasi nasional tingkat daerah di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal

tirto.id - “Aku sebagai orangtua yang anaknya mengalami autisme, merasa peduli dan ingin tahu kebenarannya. Dan aku bukan seorang anti-vaksin, aku [hanya] ingin vaksin yang aman.” Robert de Niro berbicara pada acara bincang-bincang televisi Today itu dengan mata sedikit berkabut.

Saat itu, De Niro sedang menanggapi kontroversi film anti-vaksin berjudul Vaxxed yang sedianya akan diputar pada Festival Film Tribeca. Sebagai salah satu penggagas festival, De Niro akhirnya memang membatalkan pemutaran film itu. Meski demikian, ia tak dapat menyembunyikan kekecewaannya atas protes besar-besaran terhadap rencana pemutaran Vaxxed. Menurutnya, film itu bagus untuk memulai diskusi publik tentang vaksin yang aman.

Vaxxed merupakan film yang disutradai oleh Andrew Wakefield. Ia adalah bekas dokter yang pada 1998 menyimpulkan hubungan antara vaksin campak, gondok, dan rubella (MMR) dengan autisme. Namun, berdasar penelusuran wartawan investigatif Brian Deer, penelitian itu terbukti dihasilkan dari data palsu. Bahkan lebih dari 40 penelitian oleh ilmuwan otoritatif menyanggah kesimpulan Wakefield. Pendek kata, tidak ada hubungan antara vaksin MMR dengan autisme seperti dihasilkan penelitian Wakefield.

Masalahnya, penelitian invalid Wakefield itu hingga kini masih kerap disebarkan di internet sehingga banyak orang percaya vaksin MMR adalah salah satu penyebab autisme. Karena kepercayaan itu pulalah banyak orangtua memutuskan tak memvaksin anak mereka.

Menurut The Guardian, antara 1996 dan 2004, angka vaksinasi di Inggris Raya menurun dari 92 persen menjadi 80 persen. Penurunan angka imunisasi itu menyebabkan naiknya angka penyakit campak pada tahun-tahun berikutnya. Seperti di Inggris, pola yang sama juga terjadi di Amerika Serikat: kampanye anti-vaksin menguat, kemunculan penyakit yang bisa dicegah pun meningkat.

Karena sudah kentara akibatnya terhadap ketahanan kesehatan, wajar bila festival Tribeca diprotes secara besar-besaran saat akan memutar film yang memuat kesimpulan keliru Wakefield soal vaksin. Pemutaran film itu dalam festival seolah memberi pengabsahan bagi gerakan Wakefield untuk semakin menancapkan pengaruhnya pada masyarakat.

“Itu akan sangat berbahaya. Pandangannya [Wakefield] sudah menyebabkan penurunan angka imunisasi dan menciptakan keraguan tentang vaksin tanpa dasar sains,” kata William Schaffner, profesor pengobatan preventif di pusat pengobatan Universitas Vanderbilt.

Di Indonesia sendiri, MMR bukan vaksin yang disubsidi. Ia tak termasuk vaksin yang diikutkan dalam program Pekan Imunisasi Nasional seperti halnya vaksin BCG, polio, DPT, hepatitis B, dan campak. Jika ingin melakukan imunisasi MMR dan vaksin lain di luar daftar yang lima itu, orangtua harus membawa anaknya ke layanan kesehatan selain posyandu. Namun, bahkan dalam pelaksanaan vaksin dasar yang hanya lima jenis pun masalah tak sepele muncul.

Kembalinya Wabah Polio

Salah satu masalah besar terjadi pada 2005. Di Cidahu, Sukabumi, 90 kilometer dari Jakarta, belasan anak menderita kelumpuhan akibat polio. Instansi kesehatan goncang. Menurut data WHO, ini kasus pertama setelah empat tahun tak ada kasus polio di negara ini (pemerintah bahkan menyatakan Indonesia sudah sepuluh tahun bebas polio). Total, ada 349 kasus polio pada tahun itu, menyebar di 10 provinsi dan 46 kabupaten. Meski wabah ini ditengarai menyebar dari wabah polio Nigeria, sesungguhnya ia bisa dicegah seandainya anak-anak itu divaksin polio.

Sejak wabah itu, menurut Unicef, dana sebanyak $39 miliar telah digelontorkan untuk kampanye imunisasi sehingga WHO pun menyatakan ASEAN bebas polio pada 2014. Namun, meski polio sudah tak ada di wilayah ASEAN, polio tetap menjadi bagian dari program kampanye imunisasi dasar. Dasarnya jelas: agar saat ada virus datang lagi dari wilayah lain, anak Indonesia sudah punya kekebalan dan tak terjangkit wabah lagi.

Tak hanya pada perseorangan, vaksin secara massif juga mencegah penyakit mewabah pada satu komunitas. Anak yang belum mencapai usia untuk melakukan imunisasi dan anak yang rentan terhadap zat dalam vaksin—sehingga tak bisa diimunisasi—akan terhindar dari penyakit jika anak-anak di sekelilingnya divaksin.

Itu sebabnya Provinsi Ontario, Kanada, mewajibkan siswa sekolah negeri divaksin sebelum masuk sekolah.

"Memilih memvaksinasi anak Anda berarti melindungi mereka dari penyakit, juga melindungi anak-anak rentan yang tidak bisa divaksin karena alasan medis. Itulah sebabnya penting bagi orangtua untuk menjaga imunisasi anak-anak mereka selalu up to date," kata menteri kesehatan Kanada Eric Hoskins, seperti dilansir CBC.

Anak-anak sekolah negeri di sana harus divaksin difteri, tetanus, polio, campak, gondok, rubella, pertusis (batuk rejan), dan penyakit meningokokus, serta vaksin cacar air bagi anak yang lahir pasca-2010. Pengecualian diberikan jika ada anak yang memenuhi pembuktian medis bahwa mereka termasuk kelompok yang tak bisa diimunisasi.

Isu Anti-vaksin di Indonesia

Seperti di negara-negara maju, Indonesia juga menghadapi gelombang skeptisisme terhadap imunisasi. Di kalangan masyarakat mampu, isu keamanan vaksin terutama MMR yang dikaitkan autisme kerap ditemui di forum-forum online bagi perempuan dan ibu kelas menengah. Tak sedikit yang memutuskan tak mengambil vaksin MMR setelah berbincang-bincang di forum seperti itu, meski lebih banyak yang menyatakan tetap berpegang pada otoritas keilmuan bahwa MMR aman-aman saja.

Namun, mencermati angka kemunculan rubella pada 2014, agaknya isu ini di Indonesia pun tak bisa disepelekan. Pada 2014, tercatat ada 3.267 kasus rubella, padahal tiga tahun sebelumnya berturut-turut ada 2.355, 1.020 dan 1.959. Artinya, pada 2012 angka kemunculan rubella sempat menurun, tapi setelahnya naik.

Selain perkara isu kelas menengah terkait ketakutan atas autisme, MMR (vaksin pencegah rubella) juga merupakan isu bagi kelas bawah. Sebab, harganya cukup mahal: sekitar Rp 200 ribu untuk sekali suntik.

Selain isu autisme, isu seputar kehalalan dan konspirasi Yahudi juga perlu menjadi perhatian. Tak sedikit yang membagikan tautan berisi teks yang menyebut bahwa vaksin mengandung babi sehingga tak halal. Padahal Majelis Ulama Indonesia sudah menyatakan vaksin halal, bahkan penting untuk dilakukan.

Tak jarang pula teks tentang isu konspirasi Yahudi ditendang dari satu grup ke grup perbincangan lain dan dibagikan di akun-akun media sosial. Isu ini menyebut bahwa vaksin dibuat oleh pihak Yahudi dan negara Barat. Pihak-pihak itu dianggap menginginkan generasi masa depan umat Islam lemah melalui pemberian vaksin.

Itu “teori” yang sangat mudah dipatahkan. Pembuat isu menyebutkan vaksin dibuat Yahudi dan Barat untuk merusak, padahal di Kanada, sebagaimana diceritakan sebelumnya, anak-anak hampir dipaksa untuk diimunisasi. Israel—negara dengan penduduk mayoritas penganut Yahudi—pada 2015 bahkan menggodok kebijakan untuk mengurangi tunjangan anak jika orangtuanya memutuskan tidak mengimunisasi mereka.

Betapapun terdengar cetek, isu-isu itu harus menjadi perhatian, terlebih angka keikutsertaan imunisasi dasar dari 2011 ke 2014 menurun sekitar 9 persen. Padahal angka penduduk umur batita (di bawah tiga tahun) meningkat sebanyak 4,5 persen pada kurun waktu itu.

Penurunan angka imunisasi seperti ini adalah indikator melonggarnya upaya pemerintah dalam mencegah wabah penyakit menular. Padahal, peta kemunculan kembali dan peningkatan penyakit di negara-negara maju setelah gerakan anti-vaksin meluas bisa dijadikan cermin untuk pengambilan kebijakan.

Membiarkan vaksin ditolak secara luas berarti mempersilakan penyakit yang seharusnya punah untuk kembali datang, seperti yang terjadi saat mewabahnya polio 11 tahun lalu.

Baca juga artikel terkait VAKSIN atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti