tirto.id - Puluhan warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) menggelar aksi di depan kantor gubernur DKI Jakarta, Balai Kota, Jakarta Pusat, Kamis (22/3/2018).
Warga membawa gerobak berisi 20 jeriken untuk aksi teatrikal: mandi dan mencuci di depan Balai Kota. Mereka juga mengacungkan beragam poster berisi protes sambil berorasi meminta Pemprov DKI mematuhi putusan MA Nomor 31 K/Pdt/2017 yang memerintahkan PT Aetra Air Jakarta, PT PAM Lyonnnase Jaya (Palyja) dan Pemprov DKI Jakarta menyetop swastanisasi air.
Ela, salah satu peserta aksi dari Rawa Badak, Jakarta Utara, mengatakan, aksi tersebut digelar untuk memperingati hari air sedunia yang jatuh pada hari ini, Kamis, 22 Maret 2018.
Ia juga meminta Pemprov segera menghentikan swastanisasi pengelolaan air bersih karena harga air bersih di Jakarta tak sebanding dan pelayanan yang diterima warga. Bahkan, selama swastanisasi berlangsung, pemerintahan belum bisa memenuhi kebutuhan air bersih warga terutama di wilayah pesisir Jakarta.
"Air yang merupakan sumber kebutuhan utama, tidak bisa didapatkan warga dan dampaknya sampai ke para perempuan yang sangat menggantungkan kehidupannya atas air," ujarnya saat berorasi.
Tigor Hutapea, orator lain yang merupakan aktivis Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan, menyebut bahwa masyarakat pesisir hingga kini masih membeli air jeriken lantaran belum menikmati saluran air bersih dari PAM Jaya--Badan Usaha Milik Daerah yang mengelola air bersih di Jakarta.
"Satu jeriken harganya Rp5 ribu. Satu Keluarga rata-rata menghabiskan 20 jeriken untuk kebutuhan sehari-hari, satu bulan Rp3 juta. Untuk air saja sudah hampir menghabiskan satu kali gaji UMP," katanya.
Kalil, nelayan yang tinggal di, Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara, membenarkan bahwa akses air bersih tak sampai ke banyak rumah warga di daerahnya. Sementara air sumur, ungkapnya, tak bisa lagi dipakai untuk kebutuhan sehari-hari karena tak bersih dan berbau busuk.
"Apabila untuk membeli air bersih saja enggak bisa, bagaimana rakyat Indonesia punya tanah air. Airnya saja sudah susah sementara tanah malah [bangunannya] sering digusur," katanya dalam orasi.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dipna Videlia Putsanra