tirto.id - Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menilai upaya pemerintah melibatkan anggota TNI dan polisi dalam pemadaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kurang tepat. Hal itu akan berdampak pada pengikisan fungsi aparat penegak hukum sebagai penjaga kedaulatan negara.
"Jujur dalam konteks nasionalisme itu kurang ajar menurut kami. Penjaga kedaulatan kita difungsikan sebagai pemadam kebakaran yang disebabkan oleh korporasi," ujar Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial Kelas WALHI Wahyu A Perdana di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis (1/8/2019).
Menurutnya, pemerintah perlu bertindak tegas menyikapi karhutla. Sebab, ia mencatat dalam periode Januari hingga Juli 2019 terdapat 4.258 titik panas dan sekitar 2.087 berada di kawasan konsesi dan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG).
Lalu, kata Wahyu, dalam kawasan konsesi tersebut terdapat 613 perusahaan yang beroperasi. Padahal seharusnya bisa dilakukan upaya penegakan hukum oleh pemerintah.
"Jika mengacu pada pasal 88 soal pertanggungjawaban mutlak dalam UU perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup semua yang melakukan perusakan lingkungan hidup baik itu individu atau badan hukum, mereka punya dua tanggung jawab: ganti kerugian dan memulihkan, tanpa perlu unsur pembuktian kesalahan," ujarnya.
Kendati demikian, menurutnya, upaya penegakan hukum tersebut perlu kepastian hukum yang jelas nanti pasti.
Lebih lanjut lagi, ia menilai, keterlibatan aparat penegak hukum dalam kasus karhutla bisa dilakukan jika dalam kondisi yang darurat. Namun, hal itu tidak bisa dijadikan solusi mutlak sebab tidak menyentuh akar persoalan sebenarnya.
"Tapi masa setiap tahun mau membebani keuangan negara oleh kesalahan yang sebenarnya bisa ditangguhkan kepada korporasi. Tidak menyentuh akar masalah, padahal secara dasar hukumnya kuat," ujarnya.
Kata Wahyu, negara sebetulnya bisa melakukan upaya penegakan hukum secara paksa. Terlebih lagi, menurutnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah pernah memenangkan gugatan atas belasan perusahaan namun tidak ada tindak lanjutnya.
"Akhir 2018, sudah diputuskan pengadilan harus ganti biaya kerugian dan pemulihan lingkungan hidup artinya bukan pakai uang negara. Tapi sampai sekarang tidak dieksekusi. Negara punya upaya paksa, bekukan rekening dan lain-lain," pungkasnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri