tirto.id -
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang baru saja dilantik, Tito Karnavian, menolak spekulasi pembubaran Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri. Kinerja Densus 88 akhir-akhir ini kembali dipertanyakan setelah munculnya kasus kematian terduga teroris Siyono dan penggeledahan di TK Roudlotul Athfal Terpadu Amanah Ummah Klaten.
“Kalau Densus dibubarkan, ya kelompok-kelompok radikal ini nanti tambah bebas. Sekarang saja ditekan masih bebas," kata Tito kepada wartawan usai dilantik sebagai Kepala BNPT oleh Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, (16/3/2016).
Densus 88, menurut Tito, memiliki penguasaan teknis yang diperlukan untuk menghadapi terorisme, seperti data-data tentang jaringan teroris di Indonesia sera karakter jaringan tersebut.
"Kalau dibubarkan, siapa yang kerjakan dan mau 'start' dari nol lagi. Ini akan berat," katanya menegaskan.
Di sisi lain, Tito juga mengakui bahwa BNPT tidak sepenuhnya bergantung kepada Densus 88. Ia siap berkoordinasi dengan satuan antiteror lainnya, khususnya dari unsur TNI. Ia kembali menekankan pentingnya kerja sama antarlembaga dalam menangani terorisme.
Beberapa lembaga seperti DPR dan KPAI mempertanyakan metode-metode penuh kekerasan yang digunakan Densus 88 dalam menangani terduga teroris.
Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil mempertanyakan prosedur standar operasional Densus 88 saat menangkap Siyono yang akhirnya berujung pada kematiannya.
"Padahal pelaku yang ditangkap belum tentu menjadi tersangka dan bahkan sering terjadi salah tangkap. Densus 88 seringkali melakukan pendekatan penyiksaan kepada terduga teroris," ujarnya di Jakarta, Rabu, (16/3/2016).
Di lain kesempatan, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Badrodin Haiti agar meninjau kembali kinerja Densus 88, khususnya setelah penggeledahan di TK Roudlotul Athfal Terpadu Amanah Ummah Klaten yang dilakukan di depan anak-anak.
"Penangkapan dan penggeledahan tersebut tidak memperhatikan ikhtiar perlindungan anak. Padahal, seharusnya berbeda sekali. Anak yang diduga terlibat terorisme atau menjadi simpatisan kelompok radikal hanyalah korban dari beberapa faktor seperti indoktrinasi, dijebak, diradikalisasi dan lain-lain ," kata Susanto di Jakarta, Selasa, (15/3/2016).