tirto.id - Tim Sukses pasangan calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat menyesalkan polemik yang terjadi antara kubu Ahok dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kiai Ma’ruf Amin. Meski demikian, mereka berharap persoalan ini tidak disangkut-pautkan dengan kepentingan politik.
"Kami dari timses dan saya secara pribadi sangat menyesalkan terkait persoalan KH Ma’ruf Amin sebagai saksi di persidangan," ujar Guntur Romli di Warung Daun Cikini, Sabtu (4/2/2017).
Pernyataan itu disampaikan seturut latar belakangnya sebagai santri. Kepada Ahok, dia juga sempat mengatakan bahwa penghormatan terhadap Kiai adalah tradisi yang mutlak di kalangan santri.
"Ketika hari Rabu saya datang menjelaskan pada pak Ahok, sebelum jadi timses, saya adalah seorang santri. Menghormati Kiai adalah salah satu tradisi penting. Dalam proses persidangan sudah ada anggapan sebagai hal yang tidak terpuji. Pak Ahok juga menyadarinya," terang Guntur Romli.
Dia berharap, sikap lapang dada dari kedua belah pihak, yang berupaya meneduhkan suasana, juga bisa diterima oleh seluruh masyarakat. Sehingga, polemik antara kubu Ahok dengan Ma’ruf Amin tidak lagi dibesar-besarkan. "Saat ini sudah ada titik terang. Pak Ahok sudah meminta maaf dan itu serius. Pak Kiai Ma’ruf Amin juga sudah memaafkan," jelasnya.
Kendati demikian, Guntur Romli mengklaim bahwa persoalan yang belakangan menimpa Ahok kental dengan kepentingan politik. Karena itu, ia menyayangkan dilibatkannya tokoh-tokoh agama dalam polemik tersebut.
"Kalau persoalan politik, biar kami berhadapan dengan para politisi, dengan tim sukses dan sebagainya. Tapi, jangan tarik-tarik Kiai dan NU. Karena, Kiai dan NU sudah benar-benar menjaga keutuhan bangsa ini. Jangan dipakai dalam konteks politik, konteks pilkada. Ini sangat menyedihkan," katanya.
Pernyataan senada juga disampaikan Tommy Sihotang, kuasa hukum Ahok. Menurutnya, kasus dugaan penistaan agama yang menjerat Ahok murni urusan politik yang berhubungan dengan pilkada DKI.
Penilaian itu didasari pengamatannya di persidangan. Tommy melihat, tak satupun pelapor yang berada di kepulauan seribu. Padahal, dalam hukum terdapat prinsip, saksi harus melihat, mengetahui dan mendengar sendiri suatu kejadian.
"Setiap kali diperiksa suratnya sama, 'mohon Ahok ditahan, pak Hakim'. Tujuannya, mengganjal Ahok agar tidak ikut pilkada. Nggak ada masalah hukum. Akibatnya berimbas ke mana-mana."
"Kalau tanggal 15 Ahok tidak terpilih, atau tidak lolos ke putaran kedua, selesai kasus ini," ujar Tommy Sihotang.
Di sisi lain, KH Ikhsan Abdullah dari Komisi Hukum MUI menilai, persoalan yang terjadi di persidangan adalah masalah etika pengacara. Dia menyesalkan sikap pengacara yang menempatkan saksi seperti pesakitan dan terdakwa.
"Ini jadi pembelajaran bagi pengacara. Tidak elok memperlakukan saksi seperti itu. Ada 22 pengacara, 20 bertanya, cuma 2 yang tidak bertanya. Itukan menjatuhkan mental. Tidak melihat umur Kiai yang sudah 70 tahun," terangnya.
Selain itu, pihaknya memprotes, tekanan-tekanan pada saksi untuk mengakui sesuatu yang tidak diketahuinya. Tindakan itu dinilainya sebagai upaya mendelegitimasi fatwa MUI.
Dia berharap, format sidang berikutnya bisa dibenahi lebih baik lagi.
Sebelumnya, dalam persidangan dugaan kasus penistaan agama pada Selasa (31/1/2017), Ahok merasa keberatan dengan kesaksian yang disampaikan Ma’ruf Amin. Namun, karena reaksi dari banyak kalangan, Ahok menyampaikan permohonan maafnya.
"Saya minta maaf kepada KH Ma’ruf Amin apabila terkesan memojokkan beliau. Saya menghormati beliau sebagai sesepuh NU, seperti halnya tokoh-tokoh lain di NU. Gus Dur, Gus Mus, adalah tokoh-tokoh yang saya hormati dan panuti," kata Ahok dalam pernyataan tertulisnya.
Penulis: Themmy Aditya Nugraha
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara