tirto.id - Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohamad Nasir mengklaim ada pertumbuhan signifikan publikasi ilmiah para akademikus Indonesia selama tiga tahun belakangan.
“Pertumbuhan publikasi ilmiah Indonesia meningkat sangat tinggi yakni sebesar 1.567 persen. Ini berdasarkan data Islamic World Science Citation Center (ISC),” ujar Nasir di Konferensi Pers Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK di Gedung Binagraha, Jakarta, Senin (23/10/2017) seperti dilansir laman Kemenristek Dikti.
Berdasar data Kemenristek Dikti, Jumlah publikasi Indonesia di jurnal internasional pada 2015 sudah sebanyak 8.098. Angka itu terkerek menjadi 11.936 di tahun 2016. Per Oktober 2017, jumlah itu menanjak lagi menjadi 12.077.
Dengan catatan itu, Kemenristek Dikti mengklaim Indonesia saat ini telah menyalip Thailand di urusan publikasi ilmiah pada jurnal internasional. Jika dibandingan dengan negara ASEAN lain, tahun lalu, jumlah publikasi Indonesia sebanyak 11.936, Thailand 14.436, sedangkan Vietnam sebanyak 5.678.
Sementara, per Oktober 2017, jumlah publikasi ilmiah Indonesia sebanyak 12.077, Thailand 10.797, dan Vietnam 4.520. Target kementerian ini, publikasi mampu mencapai 15.000-16.000 di tahun berikutnya sehingga bisa mengejar Singapura yang masih mengungguli Indonesia saat ini.
Meskipun demikian, Nasir mengakui rasio belanja penelitian dan pengembangan (litbang) pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) selama tiga tahun terakhir baru meningkat dari 0,08 persen di 2014 menjadi 0,25 persen pada 2016. Artinya belanja riset masih jauh dari 1 persennya PDB.
Hasil penghitungan Kemenristek Dikti dan Tim LIPI menunjukkan rasio belanja litbang terhadap PDB (Gross Expenditure on R&D/GERD) Indonesia pada 2016 setara nilai Rp30,78 triliun. Nasir juga mencatat, pada 2015, belanja litbang pemerintah setara 0,2 persen dari PDB.
“Kami akan terus memperjuangkan percepatan kenaikan pada masa mendatang sampai 4,20 persen dari PDB pada 2040,” kata Nasir.
Sekretaris Jenderal Kemenristekdikti Ainun Na’im menambahkan kementeriannya juga sedang berupaya mengonsolidasikan para akademikus dan ilmuan diaspora Indonesia yang bereputasi internasional dan masih berada di luar negeri.
Melalui program World Class Professor (WCP), Ainun optimistis upaya konsolidasi itu akan mengerek tingkat kualitas dan kuantitas penelitian serta Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Indonesia. Dia mengklaim seleksi WCP tahun ini akan jauh lebih ketat memeriksa rekam jejak calon peserta.
Dia mencatat jumlah HKI yang didaftarkan dari 2015 mengalami peningkatan signifikan hingga Oktober 2017. Tercatat di tahun 2015, HKI yang terdaftar baru 1.877 dan di tahun 2016 sebanyak 3.184. Sementara pada Oktober 2017, jumlah HKI sudah mencapai sebanyak 4.018.
Adapun untuk peningkatan akses pendidikan tinggi, Kemenristek Dikti juga mengklaim ada tren meningkat selama tiga tahun belakangan. Data kementerian ini mencatat, tingkat akses pendidikan tinggi pada 2015 mencapai 29,15 persen, di tahun 2016 menjadi 31,61 persen, dan di triwulan III 2017 sudah sampai 28,14 persen.
Pada akhir 2017, pemerintah menargetkan tingkat akses pendidikan tinggi di Indonesia mencapai angka 31,75 persen. Sementara target 2018 dan 2019 adalah 32,05 persen dan 32,55 persen.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom