Menuju konten utama

Tiga Penguak Takdir

Jakarta masih menjadi kota metropolis udik. Di tengah menara-menara di Thamrin yang tumbuh modern, kampung-kampung kumuh terselip. Di tengah proyek MRT dipacu, bajaj-bajaj pesing tetap melaju. Di antara syahdu prostitusi kelas premium, bisnis asyik recehan berjejeran di sepanjang rel Stasiun Kota. Itulah Jakarta elu yang metropolis sekaligus udik. Dan lima bulan ke depan ini kesempatan untuk tentukan siapa pemimpin elu. Ente berhak tentukan “takdir” tiga bidak-bidak ntuh, untuk jadikan Jakartah lebih baik.

Tiga Penguak Takdir
avatar Agung DH

tirto.id - Genderang perang politik di Pilgub DKI 2017 telah ditabuh. Tiga pasangan calon gubernur (Cagub) dan calon wakil gubernur (Cawagub) resmi maju dalam Pilkada DKI 2017 mendatang. Masing-masing diusung oleh tiga politikus besar negeri ini. Ahok-Djarot didorong Megawati Soekarnoputri, Anies-Sandiaga diusung Prabowo Subianto, dan Agus-Sylviana digadang-gadang Susilo Bambang Yudhoyono.

Seru?

Ketiga bidak hidup itu menjadi representasi politik Indonesia kekinian: tiga klan kekuatan berebut kekuasaan setelah "tumbangnya" Orde Baru. Diamini atau tidak, Pak Beye dan geng Cikeas-nya belakangan tak pernah akur dengan Megawati dan para penyambung lidah geng Teuku Umar-nya. Prabowo, yang dua kali maju Pilpres dan masih gagal, senapsu kuda ingin menempatkan "joki-joki"-nya di level wahid kekuasaan.

Permainan kekuasaan di Jakarta makin seru sebab sebelum ada pengumuman calon, Ahok dalam beberapa kali survei unggul. Tapi kini setelah Anies dan Agus masuk arena, menjadi tidak mudah baginya untuk menguasai kursi DKI 1. Di sisi lain Ahok punya cacat dalam komunikasi politik: bicaranya kasar, arogan, dan menusuk hati. Itu watak Ahok, tapi dalam politik, terkadang, butuh kompromi. Politik butuh berendah hati. Teramat penting politik butuh persuasi.

Lalu Anies. Diam-diam pria berwibawa nan berkharisma ini merancang masa depannya sendiri. Hadir dalam bursa Pilgub, Anies yang dicap sebagai "SBY kekinian" disebut-sebut akan menjadi lawan sepadan Ahok-Djarot.

Dengan pencitraan yang lebih sempurna, lebih empati, dan membuai hati, ia punya kans besar melemparkan Ahok ke Kalijodo. Foto-foto "super fokus", sehari setelah ia didepak Presiden Jokowi, menunjukkan betapa pencitraan itu benar-benar nyata adanya dan entah bagaimana diterima begitu saja oleh para penggemarnya. Di luar sana suara-suara sumbang tentang Anies mulai bermunculan: Anies lalai mengawasi jumlah penerima sertifikasi guru, Anies luput membagikan Kartu Indonesia Pintar, Anies pergi ke Sulawesi saat Presiden Jokowi meminta semua menteri tak meninggalkan Jakarta. Tapi nyinyiran paling menohoknya, “banjir dan macet Jakarta tak bisa diselesaikan dengan senyuman dan retorika".

Uji kepemimpinan dan kharisma Anies dalam beberapa hal memang berbuah positif. Indonesia mengajar dan kelas inspirasi—betapapun masih minim monitoring dari pegiatnya—setidaknya memberikan khasanah baru bagi pendidikan. Para pegiat Indonesia Mengajar dan kelas Inspirasi Anies ini pula yang menjadi salah satu kekuatan baginya.

Tapi hemat saya, para pegiat ini juga para pendukung Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama di Pilgub DKI 2012 lalu, sekaligus pemilih Jokowi-JK di Pilpres 2014. Artinya, ada sebagian ceruk yang sama diperebutkan antara Ahok dan Anies.

Kondisi ini sedikit menguntungkan bagi Agus Yudhoyono, anak Pak Beye. Geng Cikeas mengambil massa dari ceruk-ceruk yang tidak diperebutkan Ahok dan Anies. Pemilih-pemilih labil akan jadi sumber suara Agus dengan bahan kampanye seputar kegantengan dan kegagahan dipadupadankan dengan kewibawaan khas tentara, Tapi sayangnya ia terlalu muda, terlalu sedikit prestasi kepemimpinannya.

Dengan demikian, si Mayor muda, yang entah bagaimana harus menangis ketika harus berpamitan dengan TNI itu, menjadi bahan pertaruhan Pak Beye dan geng Cikeasnya. Itu pertaruhan yang terlalu besar pada nasib Agus. Memang tak mudah bagi Agus untuk melanjutkan karir di militer, klan-klan lain di internal TNI yang berseteru dengan klan SBY dan klan Sarwo akan tergencet selama geng TNI di kubu Teuku Umar masih berkuasa, hal serupa juga terjadi bila geng Prabowo itu berkuasa.

Kondisi macam itu, katakan saja, akan menyulitkan Agus untuk bisa menyamai karir militer bapaknya. Pilgub DKI ini menjadi pertaruhan terbesarnya: menang sangat Alhamdulilah, tapi bila kalah masih ada kesempatan di 2019 mendatang. Tapi ingat itu pun tak mudah. Bahkan bisa jadi klan Cikeas amblas dibenamkan klan-klan lain.

Bila niatan geng Cikeas untuk memunculkan nama Agus sebagai “tes ombak”, maka tes itu terlalu mahal—kalau tak mau disebut konyol. Pak Beye sebenarnya bisa bersabar setidaknya sampai Agus menjadi jenderal ketika jejaring militer kembali direngkuh kembali. Taruhlah nanti Agus gagal jadi gubernur dan bisa jadi Presiden, jenderal mana yang mau dipimpin seorang bekas mayor? Maka sayang bila Agus si mayor muda itu harus “mati” bukan untuk apa-apa.

Di luar kandidat-kandidat dalam Pilkada DKI saat ini, munculnya ketiga calon dengan tiga kekuatan besar ini semakin menarik untuk para pragmatis politik. Setidaknya ada tiga peluang sumber duit bagi mereka. Ada tiga kelompok yang membutuhkan buzzer-buzzer ulung. Ada tiga kekuatan yang nyok jualan ideologi dan mensuplai duit ke kelompok-kelompok tertentu. Pendek kalimat, Pilkada DKI Jakarta membuat duit akan muter ke mana-mana.

Alangkah syahdu bila Pilkada Jakarta tidak sepragmatis itu. Pilkada Jakarta sebaiknya mencerminkan demokrasi yang jauh lebih baik ketimbang di daerah—di mana tiap kepala dihargai Rp100 ribu.

Sebab Jakarta itu centrum Nusantara sejak era VOC. Jakarta itu jantung Indonesia sejak Sukarno mengucap proklamasi. Karena itu Pilkada sudah selayaknya sehat dan menyehatkan jiwa raga para penghuninya.

Tiga calon penguak takdir Jakarta sudah seharusnya dilihat tawaran program-programnya untuk mengurai persoalan banjir, ketimpangan kelas, macet, dan para pendatang. Lalu setelah mereka dipilih, jangan lupa elu menagih.

Klise?

Ya! sangat klise! Tapi sampai sekarang persoalan pelik di Jakarta itu belum terpecahkan. Nyatanya sampai kini Jakarta masih menjadi kota metropolis udik. Di tengah menara-menara di Thamrin yang tumbuh modern, kampung-kampung kumuh terselip. Di tengah proyek MRT dipacu, bajaj-bajaj pesing tetap melaju. Di antara syahdu prostitusi kelas premium, bisnis asyik recehan berjejeran di sepanjang rel Stasiun Kota.

Itulah Jakarta elu yang metropolis sekaligus udik. Dan lima bulan ke depan ini kesempatan untuk tentukan siapa pemimpin elu. Ente berhak tentukan “takdir” tiga bidak-bidak ntuh, untuk jadikan Jakartah lebih baik.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.