tirto.id - Ada anggapan bahwa ketika menyaksikan film queer perempuan, kita akan menyaksikan film dengan adegan seks liar, hubungan yang ruwet, hingga tokoh utama yang punya kecenderungan bunuh diri. Selama bertahun-tahun kita dihadirkan dengan tontonan yang depresif soal bagaimana masyarakat merepresi kehidupan queer atau adegan tak realistis yang menggambarkan kedekatan antar-perempuan.
Contohnya banyak. Adegan ranjang yang dipacak lewat mata laki-laki bisa Anda temukan dalam Blue is the Warmest Colour (2013), kisah cinta remaja yang depresif di Lost and Delirious (2001), represi sosial yang melelahkan di I Can’t Think Straight (2008), Kiss Me (2011), Carol (2015), hingga The Miseducation of Cameron Post (2018). Tapi, bukannya film-film seperti ini memang tak akan jauh dari stigma-stigma semacam itu?
Alice Wu membuat kita memikirkan ulang hal-hal tersebut. Kesan itu muncul selepas saya menonton Saving Face (2005), film panjang pertama Wu sebagai sutradara. Saving Face mengisahkan Wilhelmina Pang (Michelle Krusiec), dokter bedah yang gila kerja di Manhattan. Setiap minggu, ia mengunjungi keluarganya di Flushing, sebuah distrik di Queens, New York, untuk menghadiri pesta dansa yang sebetulnya ditujukan agar para muda-mudi keturunan Cina bisa menemukan jodoh.
Rupanya, Panah Cupid tak sesuai ekspektasi Ibunya Wil (Ma). Dokter cupu itu malah bertemu Vivian (Lynn Chen), penari balet yang rupanya juga tertarik dengannya. Kehidupan Wil tak serta-merta jadi mudah ketika menemukan cinta sejati. Realitas bahwa Wil menyembunyikan jati dirinya adalah satu hal, tapi konflik antara ibunya dan keluarga besar yang merupakan perantau Cina adalah kompleksitas lainnya.
Bicara soal imigrasi, asimilasi dan tarik ulur budaya Tionghoa-Amerika dan percintaan dengan jarak usia yang jauh bisa menimbulkan debat panjang dan ketegangan tak habis-habis. Namun, dalam komedi romantis bikinan Alice Wu, semua soal itu dibalut dengan kisah hangat Wil dan Vivian.
Karena Saving Face terasa sangat spesial, saya menanti Film Wu selanjutnya.
Cukup lama hingga 20 tahun kemudian, Wu kembali duduk di bangku sutradara lewat The Half of It. Film coming of age ini mengisahkan Ellie Chu (Leah Lewis), siswa nerd pemalu yang tinggal bersama ayahnya di sebuah kota kecil bernama Squahamish. Untuk menyambung hidup, Ellie menuliskan tugas esai teman-temannya di sekolah dan menjadi operator kereta di stasiun.
Ellie kemudian dimintai tolong oleh Paul Munsky (Daniel Diemer) untuk menulis surat kepada gadis yang ia sukai, Aster Flores (Alexxis Lemire). Ellie juga sebetulnya naksir kepada gadis itu, namun tak mengatakannya kepada Paul.
Karakter Ellie yang bertubuh ramping, kerap menguncir rambut, dan geek ini seketika mengingatkan saya pada Wilhelmina di Saving Face. Sebagaimana Ellie, Wil juga pemalu dan kaku di hadapan perempuan yang ia suka. Bedanya, Ellie lebih tegas pada perasaannya dan tak mengalami tahap ‘nervous’ laiknya Wil.
Selama 104 menit, The Half of It mengajak kita menjajaki rasa suka itu sendiri. Buat Ellie, rasa suka itu tak cuma melibatkan kualitas cantik, pintar, atau menjadi gadis baik-baik seperti yang dideskripsikan Paul. Bagi perempuan itu, rasa suka adalah ketika Aster menatap dalam ke Paul, memainkan rambutnya ketika membaca buku, atau ketika tertawa lepas namun tetap terlihat manis.
Ellie juga membawa masa pendekatan ke level yang berbeda. Ketika Paul bahkan tidak bisa menulis surat cinta ‘yang pantas’ dan cuma ingin mengajak Aster minum susu soda dan makan kentang goreng, Ellie turun tangan dan membuat pendekatan cowok itu berkelas.
Sejak disuruh membaca banyak karya sastra, membicarakan seni, mengutip film non-mainstream, hingga membahas politik internasional, Paul tak kelihatan seperti dirinya lagi. Stereotip seperti ini memang lekat dengan queer perempuan. Mereka sering dicitrakan pembaca kelas berat dan hapal kajian feminisme luar kepala.
Stereotip ini sama sekali tak berarti negatif. Malah, hanya dalam kerja-kerja intelektual seperti inilah kaum queer berani menunjukkan dirinya.
Ellie juga meminta agar Paul tak terburu-buru mengajak Aster berkencan alih-alih fokus membangun koneksi dengan gadis itu--hal yang seringkali digaris bawahi dalam queerrelationship.
Narasi-narasi yang diselipkan Wu bukan cuma tentang eksplorasi rasa suka. Wu paham, di tahun 2020 ini, bahkan saat Paman Sam sudah melegalkan pernikahan sesama jenis, cerita ‘coming out of the closet’ jadi tak relevan lagi. Semesta yang dibangun Wu lewat kisah Ellie, Paul, dan Aster berusaha menegaskan bahwa kisah cinta queer juga seperti kisah cinta pada umumnya.
Dilema akan nilai dan tradisi keluarga juga tidak berfokus pada Ellie atau identitasnya lagi, melainkan pada ayahnya yang gagal mencapai American Dream sebagai perantau generasi pertama. Saving Face juga menyinggung masalah yang sama:jadi perantau di tempat asing dan kesulitan-kesulitan yang muncul karena perbedaan bahasa.
Dari sini tampak kepiawaian Wu merangkai cerita. Ia mahir menyusun kepingan-kepingan cerita yang membentuk semesta The Half of It. Semuanya dijahit secara rapi serta tak menyisakan pertanyaan yang ganjil. Jalan cerita antara kehidupan Ellie dan latar belakang keluarganya bukan tempelan belaka.
Yang menarik dan penting, Wu lantas tidak membungkus eksplorasi tersebut dalam balut hitam dan putih; menjadi gay dan meninggalkan kepercayaan, atau berpegang teguh pada iman dan melupakan lapisan identitas yang baru saja ditemukan. Wu tak ingin menghakimi pilihan-pilihan tersebut sebagai benar atau salah. Di The Half of It, diskusi ini dibiarkan hidup dengan memberi kesempatan kepada Aster untuk memilih apa yang ingin ia yakini ke depannya.
Editor: Windu Jusuf