tirto.id - Pada 31 Oktober 1517, tepat hari ini 504 tahun yang lalu, Martin Luther menancapkan selembar kertas yang berisi 95 dalil di pintu Gereja di Wittenberg, Jerman. Isinya adalah argumen yang menentang praktik jual-beli surat pengampunan dosa yang berkembang di Gereja Katolik Roma pada waktu itu. Langkah berani tersebut dengan segera memantik api pemberontakan di berbagai wilayah Eropa. Sisanya adalah sejarah. Hingga hari ini, 31 Oktober biasanya diperingati sebagai Hari Reformasi Gereja oleh gereja-gereja Protestan--gereja-gereja yang terinspirasi oleh peristiwa di Wittenberg pada abad ke-16 tadi.
Dalam usianya yang telah melewati lima abad, tradisi Protestan telah meninggalkan banyak jejak sejarah. Para pewarisnya bukan hanya berkiprah di lingkungan gereja, tapi juga di kancah pertarungan politik dunia. Sebagian dari antara mereka terlibat pula dalam perjuangan kelas melawan kapitalisme global.
Sementara tradisi Katolik Roma punya nama-nama besar dari arus teologi pembebasan seperti Oscar Romero, Gustavo Gutierrez, Camillo Torres, hingga Ernesto Cardenal, banyak orang mungkin kurang mengenal para pendeta dan teolog dari tradisi Protestan yang bergerak di persimpangan kiri jalan.
Berikut ini adalah beberapa nama yang menapakkan jejaknya di jalur tersebut.
Dick Boer
Lahir di Belanda pada tahun 1939, Dick Boer adalah pensiunan profesor teologi di Universiteit van Amsterdam. Selain beraktivitas di kampus, beliau juga selama beberapa tahun (1984-1990) menjadi pendeta di Republik Demokratik Jerman(DDR)--negara sosialis yang menempati wilayah timur Jerman pada masa Perang Dingin. Ia juga menjadi anggota Partai Komunis Belanda (CPN) sewaktu partai tersebut masih ada.
Jemaat yang digembalakan Dick Boer di DDR terbilang unik. Mereka terbentuk dari orang-orang asal Belanda yang bekerja di Jerman dan bersolidaritas pada proyek pembangunan sosialisme di DDR. Dalam kata pengantarnya untuk buku karangan Dick Boer yang berjudul Deliverance from Slavery, Roland Boer menceritakan bagaimana jemaat tersebut berkomitmen pada pembacaan politis atas Alkitab, khususnya Perjanjian Lama, menyertakan lagu-lagu kiri sekuler seperti ‘Internationale’ dalam buku himnenya, dan secara rutin mengadakan seminar untuk umum dengan tema-tema yang bersinggungan dengan Marxisme (2017: xv-xvi).
Ketika Tembok Berlin baru runtuh pada bulan November 1989, Dick Boer berinisiatif untuk ‘menyelamatkan’ DDR dengan menggalang petisi. Dalam waktu beberapa minggu saja, lebih dari satu juta tanda tangan dari penduduk DDR berhasil diperoleh. Mereka menyatakan dukungan pada gagasan bahwa proyek negara sosialis di Jerman Timur perlu dipertahankan, sembari mengakui sejumlah praktik yang selama ini berjalan di sana harus diubah, misalnya kontrol menyeluruh aparat negara atas rakyat.
Pada akhirnya DDR tetap bubar. Namun petisi tersebut menjadi bukti bahwa tidak sedikit penduduk DDR yang sebenarnya masih menghendaki sosialisme.
Salah satu karya utama Dick Boer adalah buku berjudul Deliverance from Slavery (2017). Melalui buku tersebut, ia berusaha menunjukkan bagaimana cerita-cerita Alkitab dapat menginspirasi keterlibatan dalam perjuangan membangun sosialisme, dan bagaimana kepercayaan yang diinspirasikan oleh cerita-cerita tersebut dapat menolong kaum sosialis dalam mengarungi tantangan maha berat yang harus mereka hadapi.
Rinse Reeling Brouwer
Sama seperti Dick Boer, Rinse Reeling Brouwer juga adalah teolog Protestan dari Belanda sekaligus mantan anggota CPN. Ia lahir pada 1953, dan kini menjadi pensiunan profesor teologi di Protestantse Theologische Universiteit, Amsterdam dan pendeta emeritus di Gereja Protestan Belanda (PKN).
Pada masa Perang Dingin, Brouwer sempat menjadi sekretaris sekaligus salah satu pendiri kelompok bernama Christenen voor het Socialisme (CvS). Kelompok yang berjalan selama tiga puluh tahun (1974-1994) ini beranggotakan sekitar 300 orang Kristen yang berkomitmen pada cita-cita sosialisme. Mereka menjalin hubungan dekat dengan DDR dan bersolidaritas pada proyek tersebut sekaligus upaya-upaya untuk memperbaruinya.
Dalam wawancaranya di surat kabar Trouw pada tahun 2014, Brouwer menyatakan kekecewaannya melihat perkembangan yang terjadi di Jerman Timur sejak reunifikasi Jerman pada 1990. Orang-orang yang tadinya terbiasa dengan sistem kesejahteraan DDR mendadak harus berhadapan dengan kompetisi pasar bebas.
Di satu sisi ia merasa lega karena tanpa disangkanya Perang Dingin berakhir dengan damai. Rezim komunis DDR yang represif juga dianggapnya layak menemui ajal lewat keruntuhan Tembok Berlin. Namun di sisi lain, kenyataan bahwa Blok Barat akan memegang kendali penuh atas perkembangan selanjutnya dianggap Brouwer sebagai hal yang mengerikan.
Disertasi doktoral Brouwer, Over Kerkelijke Dogmatiek en Marxistische Filosofie (1988), mengekspresikan bayangannya mengenai aliansi (bondgenootschaap) teologi Kristen dengan filsafat Marxis. Dengan mengambil Karl Barth sebagai teolog rujukan, ia menunjukkan bagaimana kekristenan dapat menjadi sekutu bagi gerakan sosialisme modern--bukan hanya di level praktik, namun juga di level teori.
Hanfried Müller
Berbeda dengan dua nama sebelumnya yang berasal dari Belanda, Hanfried Müller adalah teolog asal Jerman. Ia mengajar di Fakultas Teologi Humboldt-Universität, Berlin Timur, sejak tahun 1959 hingga 1990, dan berkomitmen penuh pada DDR dan proyek sosialisme modern, bahkan setelah berakhirnya Perang Dingin.
Dalam salah satu bab disertasi doktoralnya tentang Müller, Christianity and Marxism: A Historical Perspective on the Role of Ideology in the Thought of Hanfried Müller(1997), James Currie menceritakan kisah perjumpaan Müller dengan tradisi sosialisme ilmiah. Pada akhir Perang Dunia Kedua, Müller yang pada waktu itu masih berusia 20 tahun mengalami banyak konflik batin. Ia merasa ikut menanggung beban kejahatan perang dan fasisme.
Konflik batin tersebut memicu pertanyaan-pertanyaan dalam benaknya mengenai sebab-sebab fasisme dan perang. Meski terlibat dalam gerakan Confessing Church yang menolak penundukan gereja pada otoritas Nazi, Müller merasa tidak puas dengan jawaban-jawaban yang ditawarkan oleh gereja. Menurutnya, gereja terlibat dalam ‘fasisme kaum klerus’ dengan mengambil jalan tengah--menentang segala bentuk totalitarianisme, baik Nazisme maupun Stalinisme, baik nasionalisme kanan maupun komunisme. Dengan menempuh jalan yang demikian, gereja dianggapnya hendak melindungi kepentingannya sendiri (h. 72).
Müller juga tidak puas dengan jawaban yang ditawarkan oleh kelompok borjuis-demokrat. Baginya adalah jelas bahwa fasisme lahir dari demokrasi borjuis dan Hitler menang lewat pemilihan suara (hlm. 73).
Kaum komunislah yang menurut Müller memiliki jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaannya, karena mereka bukan hanya sanggup menjelaskan bagaimana fasisme dan perang dapat bangkit, namun juga mampu menunjukkan bahwa mereka telah memberi peringatan tentang bahaya ini sejak jauh-jauh hari (h. 73).
Kecurigaan Müller terhadap klerikalisme dan simpatinya terhadap komunisme sekuler terus mewarnai corak teologinya. Di satu sisi ia menekankan tanggung jawab individu Kristen untuk melibatkan diri dalam perjuangan kelas, namun di sisi lain ia mengarahkan gereja agar menjauh dari politik. Maksud Müller adalah agar gereja menjauhi dorongan untuk mendominasi negara dan masyarakat dan menundukkan institusi-institusi tersebut demi kepentingannya (h. 78).
Dick Boer, Rinse Reeling Brouwer, dan Hanfried Müller hanyalah sebagian kecil dari deretan nama dalam tradisi Protestan yang melibatkan diri dalam gerakan sosialisme modern. Jejak-jejak yang mereka tinggalkan adalah saksi bagaimana api yang dipantik oleh Luther di Wittenberg lima abad yang lalu dapat menginspirasi kaum yang mewarisi tradisi imannya untuk berpartisipasi dalam upaya mengubah dunia.
Editor: Windu Jusuf