tirto.id - Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan platform Telegram berbeda dari platform lain seperti Facebook, Twitter, atau YouTube. Telegram tidak menyediakan staf, orang atau organisasi dalam melayani keluhan yang timbul akibat platform ini.
"Hal ini berbeda dengan platform sejenis yang sesuai dengan prosedur yang kita buat," kata Rudiantara saat mendampingi Wapres Jusuf Kalla mengunjungi Padang, Sabtu (15/7/2017), seperti diwartakan Antara.
Ia menilai, platform media sosial Telegram banyak mengandung konten radikalisme dan terorisme yang membahayakan sehingga harus diblokir.
"Semua platform yang mengandung konten negatif dan bertentangan dengan aturan akan selalu kami awasi," ujarnya.
Menurut dia, dalam mengawasi platform itu kementeriannya bekerja sama dengan instansi berkompeten dalam mengawasinya.
Ia mengakui telah mencoba menghubungi pihak Telegram namun belum ada tanggapan dan konten radikalisme serta terorisme terus ada sehingga pemerintah akhirnya memblokirnya.
"Kita hanya melakukan pemblokiran terhadap website mereka, terkait platform di telepon pintar masih tetap bisa diakses," kata Rudiantara.
Ia juga menyebutkan pada 2012 Telegram pernah dengan bangga menyebutkan mereka adalah platform yang paling aman sehingga banyak benih radikalisme dan terorisme berkembang di dalamnya.
"Apabila mereka telah melakukan penyesuaian dengan standar operasi yang kita buat, maka akan kita kaji lagi pemblokiran tersebut," kata dia.
Sebelumnya, Rudiantara mengatakan 11 situs Telegram diblokir karena mengandung konten radikalisme. "Iya, betul. Ditutup karena mengandung konten radikalisme seperti mengajarkan orang cara membuat bom," ujar Rudiantara kepada Tirto, Jumat (14/7/2017).
Rudi mengungkapkan pihaknya telah memberi “karpet merah” kepada tiga lembaga untuk menginisiasi pemblokiran terhadap situs-situs yang mengandung konten radikalisme dan terorisme. Ketiga lembaga itu adalah kepolisian, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Badan Intelejen Negara (BIN).
“Karpet Merah” yang dimaksud Rudi adalah kemudahan bagi tiga institusi tersebut dalam mengusulkan pemblokiran situs yang mengandung konten radikalisme dan terorisme. Artinya proses pemblokiran tidak perlu melalui penelitian tim Panel Penilai sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Nomor 90 tahun 2015. “Proses pembatasan aksesnya (blokir) tidak berkepanjangan. Bisa cepat tidak perlu ke saya,” katanya.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra