Menuju konten utama

Tax Amnesty dan CSR Perusahaan

Masalah pada perusahaan-perusahaan di Indonesia bukan sekedar soal pajak. Membayar pajak hanyalah secuil kecil kewajiban perusahaan. Dalam konteks yang lebih besar, perusahaan punya tanggung jawab sosial, yang dikenal dengan corporate social responsibility (CSR). Intinya, dalam melakukan operasi bisnis perusahaan bertanggung jawab untuk memenuhi berbagai ketentuan hukum dan standar etika, juga bertanggung jawab untuk menjamin bahwa aktivitas bisnisnya tidak menimbulkan dampak negatif.

Tax Amnesty dan CSR Perusahaan
avatar hasanudin abdhurakman

tirto.id - Pengampunan pajak atau tax amnesty sedang ramai dibicarakan. Tokoh-tokoh bisnis kelas kakap seperti James Riady dan Sofyan Wanandi menjadi semacam buzzer atau bintang iklan bagi kegiatan ini. Meski identitas pengguna fasilitas pengampunan pajak ini seharusnya dirahasiakan, mereka berdua rela hal itu diabaikan. Mereka tampil di depan publik, datang melaporkan harta, sekaligus mohon pengampunan. Lalu mereka menghimbau pihak-pihak lain, khususnya pengusaha, untuk memanfaatkan fasilitas ini.

Di satu sisi kita bisa melihat kedua orang itu sebagai patriot yang mau ikut menyukseskan program pemerintah ini. Tapi di sisi lain, ini seakan membuka kotak pandora, ternyata ada begitu banyak pihak yang selama ini tidak taat pajak. Orang-orang yang datang meminta ampunan ini adalah orang-orang yang selama ini tidak taat. Kini mereka diampuni, tentu saja dengan harapan bahwa setelah ini mereka tidak boleh lagi ingkar pajak.

Tentu kita tidak terkejut dengan kenyataan ini. Kita semua maklum bahwa menghindari pajak dengan berbagai cara adalah tindakan alami para pengusaha. Bahkan mungkin ini adalah tindakan alami semua manusia. Siapa yang akan dengan suka rela menyetorkan uang hasil kerja kerasnya untuk pihak lain, meski pihak lain itu adalah negara? Hanya sedikit yang mau begitu.

Kita akan semakin tidak terkejut kalau mengingat bahwa para pengusaha besar di Indonesia ini lahir dan besar di zaman Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Di bawah rezim Soeharto, apa yang tidak mungkin terjadi? Kalau pengusaha sudah dekat dengan Soeharto, apapun bisa diatur. Soeharto bisa menyediakan berbagai regulasi untuk memfasilitasi pengusaha yang menjadi kroninya. Ia membuat regulasi monopoli bernama tata niaga. Regulasi yang sudah ada bisa diubah demi kepentingan pengusaha. Atau, pengusaha bisa terang-terangan melawan regulasi, kalau sudah mendapat restu Soeharto. Urusan pelanggaran pajak bukanlah perkara besar. Selama setoran dana sesuai permintaan Soeharto dipenuhi, urusan lain bisa diselesaikan secara damai. Jadi, kalau Sofyan Wanandi, James Riady, dan berbagai konglomerat lain punya catatan sejarah penyelewengan pajak yang berlangsung hingga saat ini, itu bukan hal yang mengejutkan.

Yang perlu kita perhatikan sekarang adalah, masalah pada perusahaan-perusahaan di Indonesia bukan sekedar soal pajak. Membayar pajak hanyalah secuil kecil kewajiban perusahaan. Dalam konteks yang lebih besar, perusahaan punya tanggung jawab sosial, yang dikenal dengan corporate social responsibility (CSR). Intinya, dalam melakukan operasi bisnis perusahaan bertanggung jawab untuk memenuhi berbagai ketentuan hukum dan standar etika, juga bertanggung jawab untuk menjamin bahwa aktivitas bisnisnya tidak menimbulkan dampak negatif.

CSR sayangnya sering kali dimaknai secara sempit. Perusahaan mengeluarkan sejumlah uang, disumbangkan untuk kegiatan sosial, untuk menunjukkan bahwa perusahaan atau pemiliknya dermawan. Karena itu masyarakat diharapkan tutup mulut bila melihat perusahaan melakukan penyimpangan, atau ketika bisnisnya menimbulkan gangguan. Artinya, CSR sering dimaknai sebagai uang tutup mulut. Bagi sekelompok orang, CSR adalah proyek bagi-bagi uang. Mereka datang ke perusahaan, meminta sejumlah uang dengan dalih dana CSR, dan menetapkan diri mereka sendiri sebagai pengelola dan penyalurnya.

Ada banyak pendekatan yang biasa dipakai untuk menjelaskan konsep CSR, salah satunya dengan Model Caroll. Dalam model ini tanggung jawab perusahaan dibagi 4, yaitu ekonomi, legal, etik, dan filantropik. Secara ekonomi perusahaan punya kewajiban untuk memperoleh laba, ini adalah bagian alami dari sebuah bisnis, dan menjadi fondasi bagi kewajiban lain. Secara legal, perusahaan wajib memenuhi setiap ketentuan hukum yang berlaku. Demikian pula, perusahaan punya kewajiban untuk memenuhi standar etika, berbisnis berbasis pada kebenaran dan keadilan. Lalu yang terakhir, perusahaan wajib menjadi bagian dari masyarakat yang memberikan manfaat kepada orang banyak.

Kembali ke cerita zaman Orde Baru, perusahaan-perusahaan kita terbiasa melanggar dengan membayar pejabat negara atau aparat penegak hukum. Bisnis yang tidak boleh dilakukan bisa menjadi boleh. Tanah yang tidak boleh dipakai, bisa dibebaskan dan dipakai. Kerusakan yang ditimbulkan bisa didiamkan. Fondasi dari semua itu adalah korupsi. Kabar buruknya, kita belum beranjak jauh dari zaman Orde Baru dalam soal korupsi. Hari-hari kita masih dipenuhi kabar berita soal pejabat negara tertangkap korupsi terkait dengan berbagai perizinan bisnis.

Pertanyaan kita terkait pengampunan pajak ini adalah, apakah kegiatan ini bisa menjadi ikrar bahwa pengusaha-pengusaha yang sekarang minta pengampunan akan berkomitmen pada kepatuhan pajak di masa depan? Apakah setelah mendapat pengampunan ini mereka akan menjamin bahwa perusahaan dan diri pribadinya akan taat pajak setelah diampuni? Bila jaminan komitmen itu tidak terjadi maka pengampunan pajak ini hanya akan jadi komedi yang tidak lucu. Ia hanya akan jadi panggung basa basi. Atau, ia hanya akan jadi kegiatan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek pemerintah, yaitu mendapatkan sejumlah dana tambahan untuk memenuhi kebutuhan anggaran.

Kalau pengampunan pajak ini menghasilkan komitmen untuk taat pajak, maka kita bisa meningkat ke pertanyaan berikutnya, apakah komitmen ini diikuti dengan komitmen untuk menegakkan tanggung jawab sosial perusahaan? Apakah misalnya setelah ini perusahaan dan pengusaha akan menjaga lingkungan hidup agar tidak tercemar oleh bisnis mereka? Apakah perusahaan akan menjaga agar bisnisnya tidak menimbulkan berbagai dampak sosial yang negatif? Apakah perusahaan berkomitmen untuk mengembangkan SDM baik di luar maupun di dalam perusahaan?

Pertanyaan-pertanyaan itu jauh lebih besar dari soal pajak. Meski tidak terkait langsung dengan uang sebagaimana pajak, semua komitmen tanggung jawab sosial berkonsekuensi pada biaya, yang tentu saja akan menentukan laba perusahaan. Menangani limbah perusahaan agar tidak menimbulkan pencemaran, misalnya, memberi beban biaya tambahan kepada perusahaan. Tidak sedikit perusahaan yang mengabaikan hal ini, demi memastikan keuntungan yang lebih besar.

Kunci bagi terpenuhinya tanggung jawab sosial tadi ada di dua pihak, yaitu pengusaha dan pemerintah. Sayangnya kedua pihak ini masih rendah komitmennya. Pengusaha hanya berpikir untuk mendapat untung sebanyak-banyaknya. Sementara aparat pemerintah masih korup. Mereka lebih peduli pada kesejahteraan pribadi ketimbang kepentingan negara dan masyarakat.

Saya melihat pengampunan pajak seharusnya bisa menjadi pintu masuk bagi penegasan berbagai komitmen lain terkait tanggung jawab sosial. Namun fakta yang ada menunjukkan bahwa untuk sekedar mendapatkan komitmen taat pajak saja mungkin masih sulit.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.