tirto.id - Menanggapi kritik dan skeptisisme banyak orang atas pilihannya pada Jenderal (Purnawirawan) TNI Fachrul Razi sebagai Menteri Agama, Jokowi menyatakan bahwa ini bukan pertama kalinya seorang menteri agama datang dari kalangan militer. Benar, selain Tarmizi Taher (1993-1998), pernah ada Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983), yang keduanya dipilih oleh Soeharto.
Persis di sinilah ada ironi dalam penjelasan Jokowi, yang mungkin juga mengkonfirmasi kekhawatiran yang mulai disuarakan banyak orang: bahwa ia, yang dipilih banyak orang pada 2014 dengan harapan menyelamatkan demokrasi, makin menunjukkan ciri-ciri yang mirip Orde Baru. Pilihannya untuk jabatan Menteri Agama hanya satu di antara beberapa indikator lainnya.
Kembali ke Wacana “Ekstrem Kanan” Orba?
Dibandingkan Tarmizi Taher, yang menjadi menteri ketika Islam politik dan pemerintah tengah menjalin hubungan bulan madu, kisah Alamsyah lebih berwarna. Alamsyah dipilih pada tahun 1978 untuk menggantikan Mukti Ali. Alm. Djohan Effendi, pembantu dekat Mukti Ali, membandingkan keduanya: Mukti Ali mengembangkan dialog dalam upaya mencitakan kerukunan umat beragama, sementara Alamsyah menciptakan aturan-aturan yang membatasi. Pembandingan ini mungkin terlalu sederhana, tapi menggambarkan pilihan yang tersedia. (Lebih jauh terkait pembandingan ini, lihat disertasi Mujiburrahman, Feeling Threatened: Christian Relations in Indonesia's New Order).
Masa Alamsyah menjadi Menteri Agama adalah era yang traumatik bagi sebagian kalangan Muslim. Ada pembajakan pesawat Garuda pada 1981 oleh kelompok “ekstrem kanan” yang dipimpin Imran Muhammad Zen. Pada masa itu pula Buya HAMKA mengundurkan diri sebagai Ketua MUI, karena tak mau mengikuti keinginan Alamsyah yang menghendakinya untuk mencabut fatwa tentang haramnya perayaan Natal bagi umat Islam. Pada 1984, setahun setelah Alamsyah selesai menjabat sebagai Menteri Agama, peristiwa berdarah Tanjung Priok pecah.
Jika Alamsyah diharapkan mengamankan pembangunan dengan menertibkan “ekstrem kanan” a la Orba, Fachrul Razi dibebani dengan tugas yang mirip, meskipun kini bahasanya adalah “radikalisme”. Salah satu obatnya juga sama: Pancasila.
Pidato Soeharto pada 16 Agustus 1982 yang menegaskan peran Pancasila sebagai asas tunggal, diikuti sebulan sesudahnya oleh pertemuan Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama, sebuah lembaga yang dibentuk Alamsyah pada tahun 1980. Para wakil agama-agama, tak hanya Islam, menolak keinginan itu, hingga pada 1985 kewajiban asas tunggal dijadikan Undang-undang.
Setelah Reformasi melemahkan ingatan orang pada Pancasila, pada tahun 2017, di tangan Jokowi, Pancasila mengalami kebangkitan luar biasa seolah mengulang sejarah Orba: ia bukan lagi ideologi negara alih-alih instrumen legal untuk membubarkan organisasi.
Pemilihan Fachrul Razi sebagai menteri agama, dengan mandat khusus terkait terorisme, melanjutkan kecenderungan ini.
Sekuritisasi Masalah-Masalah Keagamaan?
Persoalannya bukanlah sekadar apakah kalangan militer tepat dipilih untuk jabatan ini, tapi dimulai dari persepsi mengenai masalah apa yang diharapkan untuk diselesaikannya. Ada dua kekhawatiran utama di sini.
Pertama, persepsi tentang tantangan utama kementeriannya—yaitu untuk menghadapi radikalisme dan terorisme—yang lalu diterjemahkan dengan cara simplistik menjadi wacana pelarangan cadar dan celana cingkrang. Meskipun belakangan pernyataan itu dihaluskan, kecenderungan yang tampak adalah sekuritisasi problem-problem keagamaan.
Fokus berlebihan, dan mungkin salah arah, untuk mengatasi terorisme, justru membuat kita khawatir bahwa ancaman terorisme yang sebetulnya nyata itu, alih-alih diselesaikan dengan baik, justru akan memburuk karena ia menjadi komoditas politik untuk memperkuat pemerintah—bukan menyelesaikan masalah. Tuduhan yang marak tentang adanya ‘Taliban’ dalam KPK digunakan untuk menjustifikasi pelemahan KPK yang didukung Jokowi. Tanda-tanda yang telah tampak sejak beberapa tahun itu menjadi makin jelas dalam cara Jokowi mengimajinasikan kabinetnya di periode kedua ini.
Di tangan Menag yang baru, ide moderasi beragama yang dikembangkan Menag Lukman Saifuddin Hakim di ujung masa jabatannya pun akan dengan mudah mengarah ke sana. Pemilahan Islam moderat dan radikal biasa digunakan para penguasa di beberapa negara untuk menekan satu kelompok yang dianggap mengganggu sembari menghindari tuduhan Islamophobia. Alih-alih mencapai tujuan mencegah radikalisme, ia mungkin malah akan meradikalisasi kelompok yang dianggap—dalam pandangan penguasa—sebagai tidak “moderat”. Seperti sejarah Orde Baru, ekspresi-ekspresi yang direpresi tidak selalu mati, tapi mengalami hibernasi untuk sekali waktu muncul dalam bentuk yang tak selalu bisa diduga.
Kebebasan Beragama: Tidak akan Tersentuh?
Kedua, masalah-masalah intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan yang makin kerap terjadi sejak dua periode masa Susilo Bambang Yudhoyono, justru tak mendapat perhatian. Di hari-hari pertamanya, dengan meyakinkan Fachrul Razi menyampaikan bahwa ia bukanlah menteri agama Islam, tapi akan melindungi semua agama. Namun ketika ditanya soal kasus-kasus berlarut terkait pelanggaran kebebasan beragama, jawabannya tidak lagi tegas. Ia mungkin tak siap untuk berhadapan dengan isu itu, karena Presiden memang juga tak menyebut persoalan akut itu.
Di antara kasus menonjol yang diwariskan ke periode pertama Jokowi adalah kasus-kasus yang bahkan telah mendapat perhatian dunia, seperti kasus Gereja Kristen Indonesia Yasmin, Bogor, serta kasus pengungsi Ahmadiyah dan Syiah. Di sini tak ada kemajuan yang bisa dicatat. Sementara itu, kasus-kasus besar lain bertambah, di antaranya pengusiran 1000 pengikut Gafatar pada akhir 2015 dan awal 2016 yang berujung pada pemenjaraan beberapa orang pemimpinnya.
Pada tahun yang sama kerusuhan Tanjung Balai meledak dan berujung, lagi-lagi, pada pemenjaraan (seorang ibu, Meliana) dengan tuduhan “penodaan agama”. Pemenjaraan seorang gubernur aktif, Basuki Tjahaja Purnama, pada 2017, makin memberi taji pada pasal pidana dan undang-undang penodaan agama.
Bukan kebetulan jika semua kasus-kasus itu terkait fatwa MUI, yang menjadi dasar pemidanaan. Namun Fachrul Razi juga tegas mengatakan bahwa ia akan tunduk pada fatwa MUI, yaitu: lembaga tanpa otoritas legal dan tak dipilih warga negara. Apakah ini janji untuk makin banyaknya pelanggaran kebebasan beragama?
Persoalan Ideologi atau Pragmatisme?
Tepat lima tahun lalu, Indonesianis Bill Liddle menyambut berawalnya periode pertama kabinet Jokowi dengan skeptisisme (Kompas 20 September 2014). Pada saat yang sama, banyak orang menaruh harapan besar bahwa Jokowi akan memperkuat demokrasi, termasuk hak-hak kelompok minoritas agama. Liddle khawatir bahwa siapa pun presidennya, kebebasan beragama di Indonesia akan selalu terbatas karena adanya budaya politik, “suatu konsensus nasional tentang peran agama dalam politik”, yang mengikat bangsa Indonesia. Yaitu apa yang disebut Jeremy Menchik sebagai “nasionalisme bertuhan”.
Setelah lima tahun lewat, ada beberapa indikator, di antaranya contoh-contoh di atas, yang menunjukkan bahwa justru di masa Jokowi situasinya memburuk. Namun apakah ini karena faktor “nasionalisme bertuhan”? Perjalanan lima tahun Jokowi memberikan gambaran yang lebih terinci mengenai apa yang keliru.
Yang kita lihat dalam lima tahun terakhir ini bukanlah seorang presiden dan kabinetnya yang dikekang oleh nasionalisme bertuhan. (“Nasionalisme bertuhan” pun sebetulnya tidak meniscayakan diskriminasi telanjang atau pemakluman kekerasan). Ada dua hal yang kita lihat. Pertama, tidak ada keseriusan penegakan hukum dan HAM. Di masa-masa awal pemerintahan Jokowi, kerap diungkapkan bahwa prioritas utamanya adalah infrastruktur, sementara yang lain-lain, termasuk hukum dan HAM, akan diselesaikan berikutnya. Namun hingga ujung masa jabatannya, giliran untuk yang lain-lain itu tak kunjung datang. Dan kini, di periode keduanya pun, masih belum nampak perhatian.
Di antara kata-kata yang absen dalam pidato pelantikan Jokowi adalah: korupsi, HAM, hukum, dan keberagaman. Yang lebih menonjol adalah kekhawatiran pada terorisme, yang justru biasanya akan berujung pada makin banyaknya pengebirian kebebasan sipil.
Setelah publik dikejutkan oleh gerakan 212 pada akhir 2016, tiba-tiba ada perhatian besar pada isu intoleransi. Tapi, itu pun disikapi dengan cara gampangan menggunakan kekuasaan, seperti dalam pembubaran HTI. Di sinilah tampak faktor kedua, yaitu bukannya menegakkan hukum, tapi bermain-main dengan hukum, termasuk mengubah hukum (seperti dalam pembuatan perpu terkait organisasi kemasyarakatan) demi merespons ancaman terhadap penguasa. Sayangnya, visi yang tampak terbatas itu, sekali lagi, menyerupai Orba: hukum digunakan untuk menjamin stabilitas, termasuk melalui represi, demi pelaksanaan pembangunan.
Satu kemajuan yang perlu dicatat adalah Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2017 mengenai KTP penghayat kepercayaan yang permohonannya tidak ditentang Kementerian Dalam Negeri. Namun, di sini pun, kemajuan itu tak bisa sepenuhnya direalisasikan karena Mendagri memilih mendengarkan keberatan MUI alih-alih secara penuh menjalankan putusan tersebut. Mungkin dalam pandangan MUI itulah “nasionalisme bertuhan” berlaku. Namun, sejauh menyangkut otoritas negara, ketundukan pada MUI adalah salah kaprah tata kelola pemerintahan yang tak bisa dijustifikasi.
Barangkali kita tidak dapat mengharapkan adanya visi besar tentang demokrasi yang substantif dari Jokowi. Namun, pragmatisme sekalipun, yang dalam beberapa hal justru lebih tampak pada periode kedua ini, tak harus menjadi penghalang utama berkembangnya penghormatan pada HAM. Dalam banyak kasus, pertentangan antara pembangunan dan HAM adalah semu. Persoalan-persoalan besar terkait kebebasan beragama pun, jika dihadapi dengan pragmatisme untuk menyelesaikan masalah—yaitu memenuhi kepentingan semua kelompok agama, yang besar maupun kecil, yang utama maupun yang rentan—dapat bermanfaat. Syaratnya adalah keberanian untuk tidak harus menyenangkan semua orang.
Pemilu telah selesai. Kabinet yang merangkul oposisi pun telah dilantik. Sejauh ini sudah amat banyak kompromi, dan kini saatnya Jokowi membelanjakan modal dukungan pemilihnya untuk mengambil keputusan-keputusan berani—bukan hanya demi kebebasan sipil, tapi juga keadilan sosial dan kesejahteraan.
Kabinet ini baru berusia beberapa hari. Pilihan-pilihan yang keliru, khususnya orientasi kebijakan yang salah arah dan justru bisa menjadi kontra produktif, masih dapat dikoreksi. Jika tidak, beberapa tahun lagi presiden dan kabinet Indonesia Maju, yang hanya punya kesempatan bekerja selama lima tahun, akan dikenang bukan karena warisan baiknya tapi berkat kegagalannya memajukan Indonesia.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.