tirto.id - Pandemi COVID-19 telah memaksa sekitar 80 persen perusahaan tekstil dan produk tekstil (TPT) menghentikan seluruh aktivitasnya. Jika kondisi terus berlanjut dan mereka tidak mendapatkan insentif, maka dipastikan sekitar 70 persen dari industri ini akan tutup.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta menjelaskan, industri TPT saat ini menghadapi permasalahan cashflow.
"Karena meskipun stop produksi, mereka harus tetap bayar denda dari PLN dan PGN karena penggunaan listrik dan gasnya di bawah ketentuan minimum, termasuk pembayaran BPJS bagi mereka yang statusnya dirumahkan. Di sisi lain tidak ada pemasukan dari penjualan produk,” jelas Redma dalam keterangan resmi yang diterima Tirto, Rabu (29/4/2020).
Pada akhir Maret, APSyFI dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) telah menyampaikan kepada Kementerian dan Lembaga pemerintah terkait beberapa relaksasi yang dibutuhkan agar sektor TPT bisa ikut serta dalam pemulihan sektor ekonomi nasional pasca COVID-19. Sayangnya, hingga saat ini belum ada perkembangan yang signifikan dari usulan yang disampaikan tersebut.
Relaksasi kebijakan yang diminta di antaranya penghapusan denda pemakaian minimum untuk listrik dan gas. Redma menjelaskan, permintaan sektor tekstil ini sangat wajar karena turunnya pemakaian listrik dan gas bukan dikarenakan kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasionalnya, tetapi karena pandemi.
“Tapi pada kenyataannya PLN dan PGN tidak anggap situasi ini sebagai kondisi luar biasa dan masih menerapkan denda,” ujar dia.
Hal yang sama terjadi di sektor perbankan. Otoritas Jasa keuangan telah menerbitkan POJK 11/2020 yang memberikan keleluasaan sektor perbankan untuk merelaksasi kepada kreditur yang mengalami kesulitan memenuhi kewajibannya. Namun, hingga saat ini pihak perbankan tidak memberikan relaksasi itu.
Sektor perbankan masih menganggap ini sebagai ketidakmampuan perusahaan memenuhi kewajibannya sebagai kegagalan bisnis biasa, bukan karena ada kejadian bencana nasional.
“Kalau perbankan tidak bisa memberikan tambahan kredit untuk modal kerja, minimal kami diberikan keringanan berupa penjadwalan ulang pembayaran pokok dan bunga. Jangan sampai terjadi kredit macet massal di sektor TPT,” tegas Redma.
Pihaknya kembali menyoroti kebijakan perdagangan yang belum responsif dalam mendorong industri TPT nasional untuk kembali beroperasi pasca COVID-19.
“Per 20 April 2020 kemarin, Turki telah mengumumkan safeguard seluruh produk di sektor TPT dengan tambahan bea masuk hingga 35 persen, ini dilakukan untuk mengamankan pasar bagi industri dalam negerinya agar dapat kembali beroperasi pasca COVID-19 dalam rangka pemulihan ekonomi” jelasnya.
“Nah, ini kebijakan perdagangan kita masih pro impor terlebih lagi implementasinya, buat produk impor sangat mudah masuk pasar domestik. Padahal kita sangat butuh pasar domestik ini, terlebih ekspor diprediksi pulihnya akan lebih lama” sambung dia.
Untuk itu pihaknya meminta pemerintah melalui kementerian terkait untuk segera turun tangan.
“Kami mengerti bahwa pemerintah akan mempunyai keterbatasan sumber daya untuk menggerakan kembali ekonomi pasca-COVID-19, maka kami hanya meminta kebijakan yang tidak mengguras kantong pemerintah," kata dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti