Menuju konten utama
Review Buku

Tak Selamanya Barat dan Islam Bertengkar

Salah satu efek kolonialisme adalah Barat menyerap kultur yang dijajah.

Tak Selamanya Barat dan Islam Bertengkar
ilustrasi Buku Islam and Romanticism. FOTO/oneworld-publications

tirto.id - Orientalisme punya dua wajah, pertama menciptakan representasi yang buruk atas Islam (dan Arab), kedua membagus-baguskannya. Dalam kaitannya dengan hubungan antara kolonialisme Barat di dunia Islam pada abad 19—satu hal yang memunculkan Orientalisme--menjelek-jelekkan dan membagus-baguskan bisa dilakukan oleh penguasa, seniman, intelektual, siapa saja.

Ada masanya ketika Napoleon mengambil sikap yang berbeda dari para pegawainya, ia merasa perlu belajar Islam demi mengambil hati rakyat Mesir. Voltaire menggunakan sosok Muhammad untuk mengkritik kebobrokan dan intoleransi gereja katolik di Perancis di dalam naskah dramanya, di mana Muhammad digambarkan sebagai seorang fanatik yang kejam. Namun beberapa tahun kemudian, salah satunya sebagai respons atas karya Voltaire, penyair Coleridge di Inggris menulis puisi heroik tentang Muhammad sang penghancur berhala.

Jeffrey Einboden, profesor Sastra Inggris dari University of Northern Illinois AS, memilih gambaran yang Islam dan Eropa yang hangat dalam bukunya, Islam and Romanticism: Muslim Currents from Goethe to Emerson, Muslim and Islamic Contributions to Culture and Civilization (2014). Ketika para penguasa menjadikan Islam dan Timur sebagai momok, para sastrawan menggali inspirasi darinya. Einboden menggeser topik diskusi Islam dan Barat dari riwayat penaklukan, kolonialisme, teror dan ketegangan berdarah lainnya, ke sejarah panjang keterlibatan sastra Barat dengan kebudayaan Islam, yang ia bedah di tiga tempat: Eropa daratan, Inggris, dan Amerika.

Jerman punya tempat yang khusus dalam buku Einboden yang dibuka dengan paparan tentang peresmian Monumen Goethe-Hafiz di Weimar pada Juli 2000 yang dihadiri Johannes Rau (Presiden Jerman) dan Muhammad Khatami (Presiden Iran). Bentuk monumen itu sendiri unik: dua kursi yang saling berhadapan, melambangkan dua penyair terkemuka yang masing-masing dimiliki masyarakat Jerman dan Iran; Goethe dan Hafiz.

Penyair Jerman Goethe adalah pembaca Hafiz, penyair Persia yang hidup antara 1320-1389. Namun, pengaruh Hafiz tak hanya sampai di Goethe seorang. Hafiz merupakan penyair muslim yang paling banyak dibaca di Barat selain Rumi dan Umar Khayam. "Tak ada yang dia takuti, penglihatannya jauh ke depan dan menyeluruh; dia satu-satunya orang yang ingin kujumpai, aku berharap aku lahir seperti dia,” tulis Ralph Waldo Emerson, sastrawan dan filsuf Amerika.

Di Jerman, kesenian romantik—sebagai reaksi atas realisme serta turunan-turunan anasir filsafat rasionalisme lainnya—turut dirintis oleh Goethe dan kemudian mencapai puncaknya dalam karya-karya komposer Beethoven, puisi Novalis, nasionalisme kebudayaan Herder. Hingga pertengahan abad 19, saat masih berupa negeri-negeri kecil di bawah Kekaisaran Austria, Jerman dikenal lebih membuka diri pada apapun yang berbau Timur, termasuk Islam. Tempat ini pernah menyambut Raden Saleh, pelukis modern pertama Jawa—yang merasa tak kerasan di Belanda—dan kaum cendekianya mempelopori studi-studi tentang teks dan masyarakat Islam dengan perspektif yang lebih netral. Bahwa Jerman baru bersatu pada paruh kedua abad 19 dan menjadi kolonialis kesiangan (di Afrika Timur) barangkali turut menyumbang pada kenyataan ini.

infografik Sastrawan Barat Melihat Islam

Dunia Anglo-Saxon punya sejarah perjumpaan dengan Islam serupa. Pujangga Lord Byron sempat melancong ke Turki Usmani dan menyerap ungkapan-ungkapan dan tradisi lokal ke dalam puisi-puisinya. Humberto Garcia dalam Islam and the English Enlightenment, 1670–1840 (2012), menulis “Inggris pada abad 18 penuh dengan para penulis terkemuka yang … memperlakukan Islam sebagai kerangka teologis, legalistik, dan filosofis guna mendefinisikan kebebasan konstitusional.” Teks-teks hukum Islam dikabarkan menjadi satu dari sekian tradisi yang dipelajari Presiden AS Thomas Jefferson sebeluum menyusun Declaration of Independence (1776), sebagaimana yang ditulis Denise Spellberg dalam Thomas Jefferson’s Qur’an: Islam and the Founders (2014).

Dalam tradisi sastra Inggris, Einboden menceritakan bahwa novelis Amerika Washington Irving menulis Mahomet and His Successors (1850) setelah beranjangsana ke rumah Mary Shelley, penulis Frankenstein. Sosok monster dalam novel Frankenstein bahkan dikisahkan dididik oleh Safie, seorang Arab yang menjadi pelayan di rumah Doktor Frankenstein, sehingga bisa mengenal budaya, bahasa, dan sastra. Di Amerika, Ralph Waldo Emerson menerjemahkan puisi-puisi Hafiz ke dalam bahasa Inggris, memperkaya terjemahan Jerman oleh Joseph Hammer, yang juga memengaruhi Goethe dalam memandang Islam dan Arab.

Bahasan Einboden sebetulnya tidak mengejutkan mengingat dalam sejarah dunia, seringkali terjadi pola di mana kelompok sosial yang dominan mengadopsi kebudayaan masyarakat yang didominasi—dan sebaliknya. Bukankah Romawi Kuno juga menemukan Kristen dari puak Yahudi yang tanahnya mereka taklukkan? Kita juga bisa mengingat bagaimana suku bangsa pagan dari Eropa Utara mengadopsi Kristen dari Romawi Kuno yang diserbunya. Dan tentu, di abad 20, bukan rahasia umum jika kemudian ada banyak juga penyair dan intelektual di tanah jajahan, muslim maupun bukan, yang menyerap banyak hal dari Barat sebagai bagian dari pengalaman modernitas, mulai dari republikanisme, sekularisme, sosialisme, hingga tradisi menulis novel.

Baca juga artikel terkait REVIEW BUKU atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti