tirto.id -
Tiba di lokasi festival sore hari, saya bertemu Cholil di depan booth Gudskul Ekosistem, tak jauh dari pintu masuk. Sementara saya celingukan mencari Berto Tukan, penulis dan pegiat kebudayaan kontemporer yang sehari-hari beraktivitas di Gudskul, Cholil lekas-lekas menuju XYZ Stage, memburu penampilan The Jansen.
Di malam hari, saat merangsek ke depan Lake Stage hendak menyaksikan Ahmad Band, saya ketemu Cholil lagi. Eks duo Banda Neira Ananda Badudu juga terlihat berada di antara rapatnya kerumunan.
Ditanya kesannya sebagai penonton Syncrhonize Fest, Cholil angkat topi. Menurutnya, sejak pertama kali diselenggarakan, Synchronize berhasil mencairkan dan meleburkan buble-buble dalam musik Indonesia. Sebagai gambaran, dulu, penonton yang cenderung menikmati musik rock, pasti hanya bakalan menyambangi festival rock belaka. Demikian juga penikmat musik jazz. Sukar dibayangkan kelompok ini bakal rela berdesakkan menikmati panggung dangdut.
"Gue rasa ini salah satu kelebihan Synchronize, mempertemukan banyak genre musik. Gak ada fanatisme genre di sini. Fanatisme kan kadang-kadang menimbulkan arogansi, ya. Misalnya jadi ngerasa lebih cool gitu. Nah sekarang hal kayak gitu gak ada. Dia yang nonton Janapati, proyek Dewa Budjana dan Tohpati, bisa tiba-tiba geser ke panggung King Nasar. Dari nonton The Jansen yang lagi hits dan punk banget, kemudian nonton Gabber Modus Operandi. Sprektumnya luas," beber Cholil.
Cholil tak tahu apakah fenomena demikan timbul dari kedewasaan penonton atau lantaran mereka semata tidak peduli: yang penting gua asyik menikmati musik. Biar begitu, Cholil melihat fenomena semacam ini bikin takjub sekaligus menimbulkan perasaan bahagia.
"Tadi lewat-lewat gue lihat banyak banget orang nyanyi-nyanyi sambil jalan. Mereka gak nonton band yang lagi main, gak tahu karena panggung penuh atau lagi ngejar band lain yang pengen ditonton, tapi saat satu band tampil dan suaranya kedengaran, mereka hapal lagunya, ikut nyanyi-nyanyi juga sambil jalan. Ini bener-bener menarik dan menyenangkan. Orang punya antusiasme menonton konser dan mendengarkan musik dalam level yang berbeda dibandingkan dahulu."
Sedangkan saat ditanya mengenai kesannya sebagai band penampil, Cholil mengaku Synchronize Fest 2022 ini sedikit mengejutkan buat ERK.
"ERK tahun ini dapat panggung yang gede, biasanya yang kecil-kecil. Kaget, awalnya, karena kalau ERK dikasih panggung yang gede biasanya kayak gak pernah berhasil. Rasanya selalu ada yang kurang. Tapi kemarin baik-baik aja. Sound aman, penonton juga kelihatan happy."
ERK yang tampil di hari pertama kebagian Dynamic Stage, panggung besar yang juga digunakan oleh Tulus, King Nassar, dan Agnez Mo pada hari ketiga.
Tak mengherankan, mereka yang kiprahnya konsisten atau melejit bakal mendapat panggung yang lebih besar pada gelaran Synchronize berikutnya.
"Dulu, pertama kali main di Synchronize .Feast dikasih panggung kecil, siang-siang. Makin ke sini, seiring berkembangnya karier musik mereka, panggung yang diberikan Synchronize buat mereka juga makin besar," ungkap Dila.
Selain Cholil dan Ananda Badudu, musisi lain yang saya lihat turut menikmati gelaran hari terakhir Synchronize Fest adalah Yasintha Pattisiana (Nonaria), Poppie Airil (ERK), dan Eki Tresnowening (Silampukau).
"Synchronize selalu keren, ya. Sound system enak, penataan panggungnya juga. Meski panggungnya berdekatan, tapi sound dari satu panggung gak tabrakan dengan panggung yang lain. Buat senang-senang, Synchronize oke banget," ungkap Eki.
Silampukau, yang sudah tiga kali manggung di Synchronize, mengawali debutnya di festival yang mensinkronisasikan beragam genre serta beragam generasi musik tanah air ini dengan menjajal Gigs Stage (2016).
Panggung dalam ruangan ini biasanya dikhususkan buat para pendatang anyar. Di Synchronize Fest 2022, Silampukau bergantian mengisi Forest Stage dengan—menyebut tiga nama—Sore, Mocca, dan Radja pada hari kedua.
Sebagai penonton, Eki menyebut keberadaan Sumber Mata Air sebagai salah satu capaian terbaik Synchronize Fest.
"Keren banget itu. Jadi penonton gak bakal kehausan karena bisa ambil air minum gratis dari situ."
Sumber Mata Air atau Water Refill Station menjadi salah satu fasilitas yang membedakan Synchronize dengan festival apa pun di Indonesia. Sadar bahwa dalam acara sebesar ini penonton gampang kehausan, sejak 2019 penyelenggara Synchronize menggandeng Dinas Lingkungan Hidup Pemprov DKI Jakarta untuk menyediakan teknologi yang memungkinkan air tanah bisa langsung diminum.
Ditanya penampil mana saja yang ingin ditonton selain Anda Perdana, Eki, pemegang gelar Sarjana Psikologi dari Universitas Surabaya ini, memberi jawaban mantap: "Ahmad Band, tapi gak jadi, penuuuh."
Melihat saya sedikit kaget dan kemudian cekikikan (sebab seketika teringat lirik "Doa 1" Silampukau, tentu saja), Eki buru-buru memberi penjelasan. "Eh, di Ahmad Band, Ahmad Dhani masih keren, lho."
Saya sepakat.
Di samping komposisi super band yang Dhani usung sejak formasi Ahmad Dhani-Andra Ramadhan-Pay Burman-Bongky Marcel-Bimo Sulaksono hingga formasi Ahmad Dhani-Andra Ramadhan- Stephen Santoso-Thomas Ramdhan-Yoyo Prasetyo, karya grup musik yang dibentuk Dhani pada 1998 ini memang jempolan. Cuma satu album yang mereka bikin, tapi sebagian besar lagunya akrab di telinga orang sampai sekarang.
"Ferdy Sambo!" ungkap Dhani, tiga kali, di sela lagu “Distorsi”.
Meski sekilas tampak sebagai gimmick belaka, ungkapan demikian membuktikan bahwa kritik maupun protes yang diungkapkan Ahmad Band lewat lirik “maunya selalu menegakkan keadilan/tapi masih saja ada sisa hukum rimba” masih relavan sampai sekarang.
Pendapat Budayawan
Dalam kondisi teler, Berto Tukan akhirnya bisa saya temui lewat pukul 01.00, sehabis kegiatan. Sosok berambut gimbal asal Larantuka, Nusa Tenggara Timur ini mengatakan, di samping beragamnya genre musik yang tampil di Synchronize, hal menarik lain dari festival ini adalah ditampikannya seni tradisi, seperti penampilan grup Tanjidor dari Betawi atau Tari Kecak dari Bali.
Berto juga menggarisbawahi beberapa aktivitas di Synchronize Fest yang menurutnya patut dicatat dan ditiru oleh para penggagas kegiatan serupa lainnya di Indonesia. Mulai dari meminimalisir penggunaan plastik, penonton diminta bawa tempat minum sendiri, hingga kampanye sampah plastik bareng Stuffo dan geng lainnya juga.
"Synchronize juga kasih tempat buat inisiatif-inisiatif kolektif komunitas. Misalnya memberi ruang buat Gudskul Ekosistem untuk berkreasi dan terlibat. Satu yang mungkin belum terlihat, atau mungkin terlewat sama gua: seberapa besar jejak karbon yang dihasilkan dri Synchronize Fest. Kalau ini bisa dihitung dan dipikirkan konpensasinya kayak apa, menarik banget."
Soal penampil pilihan, Berto memanfaatkan kehadirannya di Synchronize Fest 2022 untuk melihat Tipe X, White Shoes and The Couple Company, Goodnight Electric, dan The Adams.
Editor: Nuran Wibisono