tirto.id - Sejak menggulingkan Muhammad Mursi dari kursi Presiden Mesir lewat kudeta militer pada 2013, Abdul Fattah as-Sisi kerap menjaga jarak dengan Hamas. Ia memandang organisasi perjuangan Palestina itu tak lebih dari gerakan Ikhwanul Muslimin cabang Palestina.
Muhammad Mursi merupakan salah satu anggota kehormatan Ikhwanul Muslimin dan presiden yang terpilih secara demokratis dalam sejarah Mesir modern.
Saat kudeta berlangsung, Sisi menjabat Menteri Pertahanan dan memerintahkan untuk menghabisi para demonstran yang melakukan aksi damai menentang kudeta. Diinisiasi Ikhwanul Muslimin di alun-alun Kairo, ribuan demonstran yang mendirikan perkemahan diusir secara brutal oleh pasukan keamanan Mesir.
Insiden yang terjadi pada 14 Agustus 2013 ini kemudian dikenal dengan Pembantaian Rabba, menewaskan sekitar 1000 pengunjuk rasa.
Sisi lalu mempersempit gerak-gerik Ikhwanul Muslimin dengan penyitaan aset, memburu, dan menangkap para petingginya. Ia juga memperketat perbatasan dan menutup beberapa jalur yang dicurigai sebagai terowongan yang dapat mengganggu keamanan Mesir.
Enam dasawarsa sebelumnya, seorang anak muda disabilitas meninggalkan Gaza menuju Kairo untuk menuntut ilmu di Universitas Ain Shams. Tak sampai lulus karena kekurangan biaya, ia kembali ke tanah kelahirannya dan terpengaruh oleh gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Bertahun-tahun kemudian, ia mendirikan Harakat al-Muqawama al-Islamiya (Gerakan Perlawanan Islam) atau Hamas. Sosok ini adalah Syekh Ahmad Yassin, seorang orator ulung, guru spiritual, dan tokoh berpengaruh dalam sejarah perjuangan Palestina melawan Zionis Israel.
Lumpuh Sejak Kecil
Syekh Ahmad Yassin lahir pada 1936 (sumber lain menyebut 1938) di desa Al-Jura, pinggiran kota Al-Majdal, sekitar 20 kilometer sebelah utara Jalur Gaza. Ia berasal dari keluarga sederhana dan sudah yatim piatu sebelum beranjak dewasa.
Ayahnya meninggal saat dirinya masih berusia 3 tahun, sementara ibunya meninggal ketika ia berusia 12 tahun. Yassin kecil lantas dibesarkan oleh kakek dan neneknya.
Kakeknya, Syekh Muhammad Yassin, adalah ulama terkenal yang membekalinya belajar Al-Qur'an, hadis, dan fikih.
Saat pengusiran dan penghancuran lebih dari 500 desa yang dilakukan Israel pada Tragedi Nakba 1948, Syekh Ahmad Yassin beserta keluarganya mengungsi dan diangkut ke kamp pengungsi Shati di Jalur Gaza.
Warsa 1952, ia melanjutkan pendidikan di Madrasah Al-Sharafiyah, sebuah sekolah agama di Gaza. Nasib nahas menimpanya saat bermain yang membuatnya cedera permanen. Namun kekurangan fisik tak mengurangi hasratnya menimba ilmu.
Sekembalinya kuliah dari Mesir pada 1960, dia mulai ditunjuk sebagai imam dan guru agama di berbagai masjid dan sekolah di Gaza, lalu mulai menarik banyak pengikut yang setia akan metode dakwahnya yang mudah dicerna.
Ia juga dikenal sebagai tokoh yang sangat peduli dengan pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. Setelah Perang Enam Hari 1967, ia mendirikan badan amal Al-Moujamaa Al-Islami pada awal 1970-an. Badan ini membantu masyarakat yang membutuhkan.
Di sisi lain, dakwahnya kian memengaruhi pemikiran anak-anak muda Palestina untuk memerangi pendudukan Zionis Israel lewat pendekatan agama dengan keyakinan bahwa Palestina adalah tanah suci Islam yang harus dibela.
Syekh Ahmad Yassin percaya Israel didirikan atas dasar penindasan dan perampasan tanah, dan entitas apa pun yang berdasarkan hal-hal tersebut pasti akan mengalami perpecahan.
Mendirikan Hamas
Syekh Ahmad Yassin percaya perjuangan Palestina adalah perjuangan yang suci. Ia yakin Islam adalah agama yang damai, tetapi juga mampu membela diri.
Saat Intifada Pertama meletus pada 1987, ia bersama Abdul Aziz al-Rantisi, Mahmud al-Zahar, Abdul Fatah Dukhan, Hassan Yousef, dan lainnya, mendirikan Hamas pada bulan Desember.
Tujuan perjuangan Hamas, sebagaimana tercantum dalam Piagam Hamas tahun 1988, adalah membebaskan Palestina dari pendudukan Israel dan mendirikan negara Palestina merdeka dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya.
"Solusi terbaik adalah membiarkan semua orang Kristen, Yahudi, dan Muslim tinggal di Palestina, dalam sebuah Negara Islam," ujarnya kepada The Guardian pada 8 September 1988.
Syekh Ahmad Yassin menjadi pemimpin spiritual Hamas dan berperan penting dalam mengembangkan gerakan perlawanan. Hamas berhasil menjadi salah satu kekuatan politik dan militer yang paling berpengaruh di Palestina.
Pendirian Hamas adalah tanggapan terhadap gerakan-gerakan sebelumnya yang dianggap kurang efektif dalam merespons pendudukan Israel di wilayah Palestina.
Pada 1980-an, pendudukan Israel dan perluasan permukiman Yahudi semakin meningkat yang membuat kian membesarnya sentimen anti-Israel di kalangan masyarakat Palestina. Syekh Ahmad Yassin melihat ada kebutuhan akan gerakan perlawanan baru yang dapat mewakili sentimen ini.
Dibarengi dengan peningkatan popularitas gerakan Islamis pada saat itu, Hamas menarik perhatian dengan pesan dan keterlibatannya menyentuh lapisan bawah, seperti pembangunan masjid, mendirikan lembaga medis, sekolah-sekolah, serikat pekerja Islam, dan lain-lain.
Seturut Glenn E. Robinson dalam Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach (2004:126-127) jumlah masjid di Gaza meningkat dua kali lipat antara tahun 1967 dan 1987.
Robinson menambahkan, model Al-Moujamaa Al-Islami di Gaza yang didirikan oleh Syekh Ahmad Yassin menyediakan tipe komunitas masjid yang berbeda dibandingkan komunitas masjid tradisional, dengan kajian-kajian dan layanan syariah.
Hamas kemudian berkembang menjadi gerakan yang tidak hanya memiliki dimensi militer, tetapi juga terlibat dalam aktivitas kesejahteraan sosial dan pendidikan.
Syekh Ahmad Yassin tidak pernah secara eksplisit menyatakan tidak percaya dengan gerakan-gerakan perlawanan Palestina sebelumnya. Namun, dalam beberapa kesempatan, ia mengkritik gerakan-gerakan tersebut karena tidak cukup efektif dalam melawan pendudukan Israel.
Ia dan para pendukungnya percaya metode perlawanan Hamas yang lebih keras dan militan adalah yang paling efektif dalam mencapai kemerdekaan Palestina.
Syekh Ahmad Yassin ditangkap dan divonis penjara seumur hidup oleh Israel pada 1989. Namun delapan tahun kemudian ia dibebaskan atas kesepakatan Raja Husein dari Yordania.
Ia yang kesehatannya kian memburuk usai keluar dari penjara tetap tidak kenal kompromi dalam isu perdamaian (Perjanjian Oslo). Yassin menolak jalan itu sebagai pengganti jihad dan perlawanan.
"Hamas pada dasarnya adalah gerakan perlawanan terhadap pendudukan, dan pekerjaan utamanya adalah rahasia," ungkapnya dalam wawancara dengan Nael Nakhleh dari majalah Al-Bayan edisi 192 bulan Oktober 2003.
Pembunuhan dan Reaksi Setelahnya
Israel memandang Syekh Ahmad Yassin sebagai orang yang harus dimusnahkan untuk mempersempit gerakan Hamas yang terus melakukan aksi teror terhadap Israel.
Pada Desember 2003, upaya pembunuhan dilakukan oleh jet tempur F-16 dengan menghujani sebuah rumah yang sedang dihuni Syekh Ahmad Yassin dengan rudal. Ia hanya mengalami luka ringan dalam serangan itu.
Tiga bulan kemudian, tepatnya pada 22 Maret 2004, usai salat subuh di masjid yang didirikannya, tiga buah roket Israel menghantam pelataran masjid. Bersama sembilan jamaah subuh lainnya, Syekh Ahmad Yassin gugur.
Kematiannya memicu reaksi keras dari Hamas dan warga Palestina yang bersumpah akan melakukan pembalasan secepatnya dan mengevaluasi ulang pendekatan politik mereka terhadap Israel.
Sejumlah negara mengecam pembunuhan tersebut karena akan menghambat proses perdamaian. Para pemimpin dan organisasi Arab, termasuk dari Irak, Kuwait, Mesir, Sudan, Yordania, dan Lebanon, mengutuk keras dan menyatakan dukungannya terhadap perjuangan Palestina.
Iran menyebut pembunuhan itu sebagai tindakan krimina dan memperingatkan bahwa Israel akan semakin terjerumus ke dalam krisis yang mereka timbulkan sendiri.
Jauh sebelumnya, dalam sebuah wawancara dengan Al-Jazeera, Syekh Ahmad Yassin memperingatkan, jika dia terbunuh, akan muncul ribuan orang sepertinya dan pertempuran akan terus berlanjut. Rakyat Palestina akan meminta pertanggungjawaban Israel hingga membayar harga atas kejahatan mereka.
Syekh Ahmad Yassin juga pernah melontarkan prediksi akan kehancuran Israel pada 2027 berdasar pada siklus 40 tahunan, mulai dari peristiwa berdirinya negara Israel pada 1948 dan Intifada Pertama pada 1987.
Berbagai faktor seperti konflik internal, kegagalan pemerintahan, dan melemahnya dukungan menunjukkan kuatnya keyakinan bahwa negara Zionis Israel akan hancur. Prakiraan Syekh Ahmad Yassin didasarkan pada penafsiran subjektif terhadap ayat-ayat Al-Qur'an dan Talmud.
"Ada kemerdekaan hakiki, ada pula kemerdekaan yang palsu. Kemerdekaan hakiki dilambangkan dengan penghambaan manusia terhadap Allah; maka mereka bebas dari tekanan sesama manusia. Sedangkan kemerdekaan yang palsu ditandai dengan penghambaan manusia terhadap sesama manusia. Kami menuntut rakyat Palestina merdeka, hidup di tanah airnya, kembali dari pengasingan. Kami akan membangun negara Palestina yang betul-betul berdaulat, berdasarkan syariat Islam,” ucapnya kepada Gatra edisi 6 Oktober 1997.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi