tirto.id - Sejak 2001, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) selalu memperingati tanggal 1 Juni sebagai Hari Susu Dunia. Perayaannya dilakukan secara serempak di berbagai negara seperti Jerman, Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan negara-negara maju lainnya.
Indonesia baru ikut serta merayakan Hari Susu Dunia pada 2009. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 2182/KPTS/PD.420/5/2009, akhirnya tiap tahun diadakan peringatan yang sama dengan tajuk Hari Susu Nusantara. Puncak acara biasanya dilakukan terpusat dan didatangi langsung oleh Presiden.
Hari Susu Nusantara ditetapkan karena latar belakang mirisnya konsumsi susu masyarakat Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, konsumsi susu orang Indonesia merupakan yang terendah. Harapannya, peringatan Hari Susu Nusantara bisa menggugah kepekaan orang tentang pentingnya minum susu bisa bertambah.
Data USDA Foreign Agricultural Service tahun 2014 memaparkan bahwa konsumsi susu per kapita Indonesia hanya 13,4 liter. Angka ini sangat kecil jika dibandingkan dengan Brunei Darussalam (129,1), Malaysia (50,9 liter), Singapura (46,1 liter), Thailand (33,7 liter), Myanmar (25,2 liter) , Filipina (22,1 liter), dan Vietnam (20,1 liter).
Sebenarnya, secara total angka, konsumsi Indonesia merupakan yang terbanyak di ASEAN dengan 2,8 juta ton per tahun. Namun, jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 250 juta orang membuat angka pembaginya menjadi lebih besar sehingga konsumsi per kapita menjadi sangat rendah. Di sisi lain persebaran konsumsi susu itu tak merata, sebesar 38,5 persen terkonsentrasi pada masyarakat kelas menengah saja.
Penyebab Konsumsi Rendah
Pemerintah selalu berkelit bahwa harga susu yang mahal jadi sebab susu kurang begitu laku jadi konsumsi pokok di Indonesia. Namun, jika merujuk dari data Numbeo, harga susu reguler di Indonesia paling murah di ASEAN, hanya 1,22 dolar per liter. Bandingkan dengan Kamboja dan Laos yang harga susunya di atas 2 dolar US.
Di sisi lain, muncul sebuah kesalahpahaman pada sebagian masyarakat yang menilai susu merupakan makanan yang mewah dan mahal. Jika merujuk pada grafis di bawah, anggapan ini mestinya bisa terbantahkan. (lihat grafis)
Selain soal harga, faktor persepsi dan budaya bisa jadi alasan utama kurangnya minat terhadap susu di Indonesia. Kambing hitam ini bisa diarahkan pada pemerintah. Dari zaman orde lama, orde baru hingga pasca reformasi sekarang pemerintah tetap saja mengkampanyekan slogan empat sehat lima sempurna yang dicetuskan Prof. Poorwo Soedarmo.
Dalam slogan itu susu ditempatkan pada urutan kelima, sebagai makanan pelengkap .Akibatnya, muncul persepsi di masyarakat bahwa meminum susu bukanlah prioritas, sehingga boleh diabaikan. Masyarakat lebih memprioritaskan mengkonsumsi makanan yang mengenyangkan dan lebih murah.
Kita mungkin akan tak percaya saat tahu konsumsi susu di India dan Pakistan terbanyak di Asia. Salah satu penyebab tingginya angka itu dikarenakan susu jadi komoditas asupan sehari-hari pendamping makanan pokok. Tak lengkap jika makan tanpa susu. Hal sama terjadi di Brunei, Singapura, Malaysia, dan Thailand yang membudayakan minum susu sebagai teman sarapan di pagi hari.
Di sini, susu identik sebagai konsumsi untuk para anak-anak atau bayi. Kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah berpendapat bahwa susu hanya perlu diberikan pada anak berusia dibawah lima tahun (Balita) saja. Analisa ini bisa dibenarkan jika kita mengacu dari data dari Tetra Pak yang dirilis 2014. Data itu memaparkan, 31 persen olahan susu di Indonesia untuk susu balita.
Sebuah fenomena menarik ditemukan Guru besar Universitas Muhammadiyah Jakarta, Prof Irdam Ahmad dalam penelitiannya tentang konsumsi susu di Indonesia.
Pola konsumsi susu cair di Indonesia bertolak belakang dengan negara lain seperti di AS, India, Jepang, Cina, Thailand, dan bahkan Vietnam. Di beberapa negara ini, konsumsi susu murni segar jauh lebih banyak dikonsumsi ketimbang susu olahan.
Di Indonesia susu yang mendominasi adalah susu bubuk dan susu kental manis. Hal ini tak lepas dari tipe produk seperti itu yang membanjiri pasar susu di Indonesia. Banyaknya konsumsi susu pabrik disebabkan perkembangan teknologi pengolahan susu modem yang disebut Ultra High Temperature (UHT). Melalui proses UHT, susu cair tidak cepat rusak sehingga dapat tahan lebih lama, sementara nilai dan rasa susu tidak berubah.
Dalam hal konsumsi susu, data BPS mencatat 70 persen susu yang dikonsumsi orang Indonesia adalah susu kental manis. Konsumsi per kapita susu kental manis mencapai 9,31 liter per tahun, lalu disusul susu cair pabrik dan susu bubuk berkisar 2,23 liter per tahun. Sedangkan konsumsi susu cair murni sangatlah rendah, hanya sekitar 0,26 per tahun.
Tingginya konsumsi susu kental manis ini tampaknya disebabkan harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan susu bubuk dan susu cair pabrik. Di samping itu, rasanya yang manis disukai anak-anak yang notabene adalah pangsa pasar terbesar dalam industri susu di Indonesia.
Penyebab minimnya konsumsi susu murni segar disebabkan pasokan susu yang memang kurang. Jangankan untuk susu murni segar, untuk bahan baku susu olahan pun kita masih kekurangan.
Kebutuhan bahan baku susu untuk beragam industri di dalam negeri saat ini sekitar 3,8 juta ton per tahun. Peternak lokal hanya bisa mencukupinya 21 persen saja. Kekurangan itu mau tak mau harus diimpor dari Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Masalah muncul saat kondisi peternakan sapi perah di Indonesia belum dikelola berskala besar. Rata-rata peternak hanya memilik 4 ekor, jauh dengan kepemilikan di negara lain yang berkisar dari selusin hingga ratusan ekor.
Faktor minimnya lahan jadi sebab peternak kesulitan mengembangbiakan ternaknya. Data Animal Production and Health Commission for Asia and the Pacific (APCHA) menyebutkan, luas lahan peternak sapi perah di Indonesia merupakan yang terkecil di ASEAN.
Selama ini produksi susu segar di Indonesia memang masih terpusat di pulau Jawa. Hampir 98,5 persen susu kita di produksi di tiga provinsi saja: Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Sebaran industri susu berskala besar/kecil di Indonesia memang masih timpang. Di luar jawa, hanya Sulawesi Selatan, Sumatera Utara dan Sumatera Barat saja yang angka produksinya bisa mencapai lebih dari seribu ton per tahun.
Untuk menangani masalah ini, Kementerian Pertanian berencana mengintensifkan kerjasama dengan Perum Perhutani dalam penyediaan lahan.”Kami ingin membuat integrasi sapi-hutan, bentuknya seperti integrasi sapi-sawit. Jadi nanti kita impor indukannya untuk dikembangkan di sini. Kami usahakan ada kerjasama lahan dengan Perhutani,” terang Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman awal Maret lalu. Proyek percobaan ini akan dimulai di Baturaden, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Selain solusi ini, Kementan mungkin bisa mencoba membagi beban produksi susu ini ke daerah lain di luar pulau Jawa.
Dalam masalah susu ini, Kementan sudah membuat rencana srategis jangka panjang, kenaikan produksi susu harus berkisar 6,25 persen tiap tahunnya. Artinya pada 2020 nanti, produksi susu harus mencapai 1,065 juta ton.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian telah menetapkan industri pengolahan susu sebagai salah satu industri prioritas untuk dikembangkan dan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14/2015 Tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional.
Kemenperin menargetkan, pada 2020 produksi susu harus mencapai 2,75 juta ton. Awal mula pencanangan target ini memang sungguh mulia. "Keinginan kami, Indonesia mampu swasembada susu agar tidak perlu impor lagi karena potensi industri susu di Tanah Air sangat besar," ucap Menteri Perindustrian, Saleh Husin.
Tapi, ambisi mulia ini tampaknya akan sulit dicapai. Swasembada susu itu hanya utopia mengingat tren konsumsi dan industri olahan susu di Indonesia naik rata-rata 7-10 persen per tahun. Di sisi lain para peternak sapi perah nasibnya kini seolah mati suri. Pakan dan biaya perawatan yang mahal, lahan yang sempit, harga jual yang murah membuat dunia persusuan lokal di Indonesia semakin suram.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti