tirto.id - Menjelang akhir Juli 2016, kabar baik menyapa para penggemar alternatif rock era 90-an: supergrup Temple of the Dog akan melangsungkan reuni sekaligus tur konser untuk merayakan 25 tahun rilis satu-satunya album mereka.
Temple of the Dog lahir tahun 1990 di Seattle, Amerika Serikat, saat Chriss Cornell ingin mengenang sahabat baik dan teman satu kamarnya, Andrew Wood, vokalis grup Malfunkshun dan Mothe Love Bone. Chris yang kala itu sudah menggawangi Soundgarden mengajak mantan anggota Mother Love Bone yakni Stone Gossard dan Jeff Ament, serta dilengkapi Mike McCready, Matt Cameron, dan Eddie Vedder.
Niat awal ingin memproduksi satu-dua lagu saja akhirnya gagal terlaksana. Pada akhirnya, mereka menghasilkan satu album utuh bertajuk sama dengan nama band dan berisi 10 lagu. Album Tempel of the Dog yang rilis di tahun 1991 itu tak langsung dikenal di publik. Bukan saja karena promosi yang tak serius atau enggan melaksanakan tur, tetapi juga karena saat itu masing-masing personilnya belum memiliki nama yang mentereng, apalagi legendaris.
Mereka sibuk dengan band masing-masing. Chris dan kawan-kawan seperjuangannya di Soundgarden sibuk menggelar konser sana-sini untuk promosi album Badmotorfinger. Usaha yang cukup berhasil mengingat mereka terpilih menjadi pembuka konser Guns N' Roses dan Skid Row. Lewat album studio ketiganya itu mereka juga sempat dinominasikan sebagai Best Metal Performance di ajang Grammy Award tahun 1992.
Sedangkan Mike McCready, Matt Cameron, dan Eddie Vedder membentuk Pearl Jam dan langsung mengebrak telinga penggemar musik grunge AS di era 1991-1992 lewat album Ten. Nama Chris dan Eddie pun mendadak tenar dan lewat masing-masing band-nya menjelma menjadi ikon grunge Seattle— bersama dengan Alice in Chain dan Nirvana.
Belakangan, nama yang besar membuat publik mencari-cari lagi album Temple of the Dog. Dalam benak mereka, “Jika Chris dan Eddie mampu menciptakan lagu-lagu bagus di masing-masing band-nya, bagaimana jika keduanya bergabung dan membentuk sebuah supergrup?”
Sesuai hukum ekonomi klasik, permintaan publik segera direspons dengan penawaran dari A5M Records yang mempromosikan kembali album Tempel of the Dog dan “Hunger Strike” sebagai single andalannya. Popularitas Soundgarden dan Pearl Jam membantu meningkatkan hasil penjualan dengan progresif.
Hasilnya, Temple of the Dog dinilai James Lyons, penulis buku Selling Seattle: Representing Contemporary Urban America, masuk di daftar 100 album paling laris di tahun 1992 dengan angka penjualan lebih dari satu juta keping. Asosiasi Industri Rekaman AS pun menganugerahi album tersebut sertifikat platinum. Supergrup yang awalnya diinisiasi untuk mengenang seorang kawan itu berubah menjadi barang jualan yang menjanjikan.
Supergrup, Supername
Membentuk supergrup bukan perkara yang sulit. Namun tetap butuh nama besar dari para personil untuk menghasilkan profit yang besar pula.
Masih dalam buku yang sama, James Lyons memaparkan bagaimana produk-produk dari kota Seattle, Washington, laris di pasaran karena Seattle sendiri menjadi simbol kebudayaan populer Amerika. Band-band grunge legendaris bersanding dengan tumbuh dan berkembangnya perusahaan kenamaan seperti Starbucks, Microsoft, dan Amazon.com.
Jika nama-nama besar seperti Kurt Cobain (Nirvana) dan/atau Jerry Cantrell (Alice in Chains) mau membentuk sebuah supergrup layaknya Chris dan Eddie di Temple of the Dog, menjadikannya profitable adalah usaha yang cukup mudah.
Chris mencapai puncak ketenarannya selama era 1990-an saat Soundgarden melahirkan dua album mahakaryanya, Superunknown (1994) dan Down on the Upside (1996). Merujuk data dari Billboard, Superunknown terjual lebih dari 2,5 juta kopi dan meraih lima platinum di AS, tiga di Kanada, dan emas di Inggris, Swedia, dan Belanda. Total penjualannya mencapai di seluruh dunia mencapai 9 juta kopi. Sedangkan Down on the Upside, walaupun tak sesukses Superunknown, tetapi mencatatkan prestasi platinum baik di AS, Kanada, maupun Australia.
Kala Chris memutuskan untuk bersolo karier di akhir 1990-an, ia sudah terkenal sebagai salah satu rocker bertangan dingin dan mampu membuat setiap lagu bernilai jual tinggi. Maka saat ia membentuk Audioslave di tahun 2001, sudah bisa diperkirakan sebelumnya jika nilai penjualan album-album supergrup berbahaya itu akan laris di pasaran.
Format Audioslave serupa dengan Temple of the Dog, dengan Chris sebagai vokalis utama. Ia juga merekrut beberapa personil dari sebuah grup yang sudah mapan. Untuk Audioslave, ia mengajak para mantan personil grup rap metal legendaris, Rage Againts the Machine (RATM), yakni Tom Morello, Tim Commeford, dan Brad Walk.
Album pertama mereka yang bertajuk Audioslave (2002) menghuni urutan 7 daftar Billboard 200 dan di minggu pertama penjualan sudah terjual sebanyak 162 ribu kopi. Sebulan kemudian, mereka diganjar sertifikat emas oleh Asosiasi Industri Rekaman AS dan mendapat triple platinum empat tahun setelahnya.
Kesuksesan Audioslave masih berlanjut dari dua album berikutnya, Out of Exile (2004-2005) dan Revelations (2006-2007). Chris kemudian memutuskan untuk keluar pada Februari 2007 dan pelan-pelan membubarkan Audioslave sendiri.
Kesuksesan Audioslave selama masih aktif tak hanya pada nilai penjualan albumnya yang fantastis atau pendapatan dari konser yang digelar hingga Kuba (Audioslave adalah grup musik AS pertama yang konser di Kuba), tetapi juga tiga nominasi dari ajang penghargaan Grammy dan penghargaan bergengsi lainnya.
Atas Nama Kenangan, Jodoh dan Kreasi
Pertanyaannya, apakah pembentukan sebuah supergrup melulu didasari atas motif menumpuk kekayaan? Barangkali tidak untuk Chris Cornell.
Di saat Chris dahulu punya kesempatan untuk fokus membesarkan Soundgarden, ia memilih rehat sejenak untuk mengenang teman baiknya dengan cara mempersembahkan beberapa buah lagu. Secara kebetulan kreasinya itu mempertemukan para musisi lain yang kemudian besar di grupnya masing-masing. Keuntungan berlimpah dari penjualan satu-satunya albumnya juga sesuatu yang tak ia sangka-sangka.
Seperti dikutip dari laman Rolling Stone, motivasi atas reuni Temple of the Dog didasari rasa rindu Chris kala dulu membentuk supergrup bersama kawan-kawannya sendiri, saat belum menjadi apa-apa, dan benar-benar menikmati proses kreativitas dalam bermusik.
Chris, Jeff Ament, dan Stone Gossard dalam wawancara bersama radio KISW 25 tahun silam mengatakan bahwa kolaborasi di Temple of the Dogs sebagai “sesuatu yang amat cocok saat ini bagi kami untuk menciptakan dan memainkan musik yang sama”.
“Kami ingin melakukan sesuatu yang kami tidak pernah lakukan. Bermain bersama lagi dan merasakan bagaimana sensasi menjadi sebuah band yang telah kami tinggalkan 25 tahun yang lalu. Ini (reuni dan tur) adalah sesuatu yang tak pernah ada. Kami ingin kembali mengenang bahwasanya kami pernah membuat band ini. Kami ingin memberikan sebuah penghormatan.” ungkap Chris.
Tak bisa ditampik jika bersatunya para maestro musik dalam sebuah supergrup juga berkenaan dengan kejenuhan memainkan musik grupnya sendiri. Apalagi setelah band berjalan begitu lama dan titel “rockstar” telah diraih. Kebanyakan tak ingin bubar, tetapi di sisi lain merasa perlu menyalurkan hasrat membentuk grup baru, dengan orang-orang baru, namun dengan minat dan semangat bermusik yang serupa.
Dave Ghrol misal, mengenang kembali masa kejayaannya dulu saat bermain drum untuk legenda grunge Nirvana dengan cara membentuk sebuah band bernama Them Crooked Vultures di tahun 2009 silam. Ia kembali menjadi monster penggebuk drum, dimana gitar dan vokal diambil alih oleh pentolan Queens of the Stone Age Josh Homme, sedangkan salah satu personil Led Zeppelin yang masih bugar dan produktif, John Paul Jones, kembali aktif membetot bas.
Awalnya, Dave hanya iseng membantu konser Queens of the Stone Age, tetapi lama-kelamaan ia merasakan koneksi yang kuat dengan Josh. “Saat aku bermain bersama Queens of the Stone Age, aku sadar jika aku dan Josh memiliki koneksi yang kuat soal musik dan yang tak aku rasakan bersama yang lain,” ujar Dave kepada Guitar World.
“Jadi, usai proyek bersama Queens of the Stone Age, aku ingin kembali bermain dengan mereka suatu saat nanti. Tapi aku dan Josh tak pernah punya waktu sebab kami selalu melaksanakan tur bersama band kami masing-masing (Dave bersama Foo Fighters). Lalu suatu saat kami berpergian bersama dan aku bilang 'Brengsek seharian kita cuma duduk di bus dan wawancara. Ayo kita bikin proyek baru!'. Lalu aku ada ide, 'Bagaimana jika kita hubungi John Paul Jones?',” lanjut Dave.
Saat dihubungi Dave, Jones mengatakan jika waktunya tepat. Ia sedang rehat bersama Led Zeppelin yang terkadang masih menggelar konser reunian atau sesekali manggung bersama Foo Fighters. Ia merasa nyaman sebab semua personil di Them Crooked Vultures memiliki sumbangsihnya masing-masing kepada band dan mereka bersama-sama mengolahnya menjadi sebuah "monster".
“Ada kejujuran di band, sebuah kejujuran dalam bermusik. Tak ada gunanya membuang waktu untuk sesuatu hal yang tak kau senangi. Kita tak memiliki batas dalam berkreativitas baik sebagai pribadi maupun sebagai grup band. Anda bisa menelusuri jejak ke segala jenis musik yang mempengaruhi kami, apakah itu blues-rock, musik gurun pasir, atau punk—yang membentuk kami bertiga.”
Barangkali karena kenyamanan atas bermusik itulah Three Crooked Vultures selalu tampil lepas dan menghibur. Buktinya? Tahun 2011 lalu supergrup dengan tiga musisi rock yang matang di panggung itu sukses menyabet penghargaan Grammy untuk kategori penampilan hard rock terbaik.
Para musisi tenar itu memang tak bisa relaksasi barang sebentar, atau kreativitas akan mati. Proses yang demikian, terutama di ranah musik rock, juga berpengaruh besar terhadap kualitas musik yang dihasilkan. Mengutip John Paul Jones,
“Rock and roll hanya akan terdengar bagus saat sedang lapar dan seakan-akan ingin merenggutmu. Rock and roll akan terdengar buruk saat sedang relaks...”
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti