Menuju konten utama

Subsidi Energi 2018 Membengkak: Faktor Politis atau Kebutuhan?

Mengapa realisasi subsidi energi pada 2018 membengkak hingga Rp59 triliun dari alokasi yang dianggarkan pemerintah?

Subsidi Energi 2018 Membengkak: Faktor Politis atau Kebutuhan?
Menkeu Sri Mulyani Indrawati (kiri) bersama Wakil Menteri Mardiasmo (Kanan) menyampaikan paparan dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Kamis (15/11/2018). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

tirto.id - Subsidi energi pada 2018 membengkak Rp59 triliun dari alokasi anggaran yang disediakan pemerintah. Berdasarkan data sementara Kementerian Keuangan, subsidi yang terealisasi hingga akhir 2018 mencapai Rp153,5 triliun dari pagu anggaran Rp94,5 triliun.

Imbasnya, belanja pemerintah untuk subsidi membengkak dan melebihi anggaran yang telah disediakan. Hingga 31 Desember 2018, realisasi subsidi secara keseluruhan tercatat mencapai Rp216,8 triliun--melonjak 138,8 persen dibandingkan pagu dalam APBN sebesar Rp156,2 triliun.

“Belanja subsidi pemerintah lebih tinggi dari yang dianggarkan. Karena ada perubahan kebijakan subsidi energi terutama BBM,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konfrensi pers realisasi APBN 2018, di kantornya, Rabu (3/1/2019).

Subsidi energi yang mengalami pembengkakan ini ibarat simalakama bagi pemerintah. Jika anggarannya dikurangi, maka badan usaha seperti PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero) bakal tekor karena harus menanggung ongkos produksi yang lebih besar.

Kalau tidak mau tekor, maka tarif listrik dan BBM harus meningkat dan imbasnya akan mengarah ke daya beli masyarakat menengah ke bawah.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menyampaikan pilihan keduanya sama-sama sulit bagi pemerintah, terutama menjelang pilpres.

“Kalau pilihan menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik tidak bisa lagi dielakkan, saya yakin langkah itu akan diambil setelah pemilu. Paling cepat Mei 2019,” kata Piter saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (3/1/2018).

Menurut Piter, membengkaknya subsidi energi tak lepas dari kenaikan harga minyak dunia dan menguatnya kurs dolar terhadap mata uang rupiah beberapa waktu lalu. Penyebab lainnya, yang paling sering dinilai politis, kata Piter, lantaran pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan tarif dasar listrik dan BBM di tahun 2018.

Meski demikian, Piter yakin pada tahun ini pembengkakan bisa ditekan lantaran asumsi makro dalam APBN sudah jauh lebih besar.

“Pemerintah sudah menaikkan asumsi harga minyak mentah atau ICP (Indonesia Crude Price) sehingga anggaran subsidi tahun 2019 sudah jauh lebih besar,” kata Piter.

Pada September 2018, pemerintah memang menaikkan alokasi subsidi energi dalam APBN 2019. Angka yang disepakati bersama Badan Anggaran DPR itu mencapai sebesar Rp157,79 triliun--lebih tinggi dari usulan semula yang sebesar Rp156,5 triliun.

Sementara perubahan asumsi makro ekonomi yang telah disepakati meliputi asumsi kurs rupiah terhadap dolar AS dari Rp14.400 menjadi Rp14.500, serta harga ICP sebesar 70 dolar AS dan lifting minyak dari 750 ribu barel per hari (bph) menjadi 775 ribu bph.

Hasilnya, subsidi BBM dan LPG dalam RAPBN 2019 yang semula dipatok sebesar Rp100,06 triliun, naik menjadi Rp100,68 triliun. Sementara alokasi subsidi listrik berada di angka Rp62,11 triliun dengan carry over sebesar Rp 5 triliun.

Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani menyampaikan, tujuan pemerintah untuk menambah subsidi BBM pada 2018 tak semata karena harga ICP dan pelemahan nilai rupiah.

Sebab, kata Askolani, tahun lalu penambahan subsidi energ juga sudah diarahkan untuk membayar kekurangan distribusi solar sebesar Rp12 triliun kepada Pertamina dan Rp5 triliun kepada PLN.

Alas hukumnya adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 43/2018, yang menetapkan bahwa beban biaya tambahan penyaluran BBM bersubsidi dan penugasan akan mendapat penggantian dari negara.

"Sebabnya, kami melunasi harus ada sistem hasil audit. Akan dibayarkan di 2019. Kami sudah pagukan, yang di 2018 sudah kami bayar semua," kata Askolani.

Meski demikian, Askolani mengakui bila penambahan subsidi di 2018 memang ditujukan untuk menjaga stabilitas harga, daya beli masyarakat, serta badan usaha supaya bisa stabil.

Menurutnya, selama 2018 terjadi sejumlah perubahan kebijakan subsidi terutama untuk BBM dan listrik. Selain itu, kata Askolani, subsidi energi ini juga sudah termasuk kekurangan bayar sebesar Rp12 triliun kepada Pertamina dan Rp5 triliun kepada PLN.

Kekurangan bayar kepada Pertamina yang dimaksud adalah penggantian biaya distribusi Solar di tahun 2017 yang belum dibayarkan pemerintah.

Baca juga artikel terkait ANGGARAN SUBSIDI ENERGI atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz