tirto.id - Rencana pemerintah merelaksasi Pajak Penghasilan (PPh) 21 alias pajak karyawan dinilai tak cukup efektif untuk menghadapi perlambatan ekonomi akibat wabah Corona (COVID-19). Soalnya, resep yang pernah dipakai Menteri Keuangan Sri Mulyani pada masa krisis finansial 2008-2009 itu belum terbukti ampuh menjaga konsumsi domestik.
Apalagi, stimulus fiskal tersebut juga tak dijelaskan seperti apa bentuknya: penundaan pembayaran, penundaan ditanggung pemerintah, atau menurunkan batas komponen pengurang pajak karyawan—yang terdiri dari biaya jabatan dan biaya pensiun.
Jika hanya berbentuk penundaan, maka sudah jelas hal tersebut tak punya dampak signifikan. Sebab, karyawan tak memiliki tambahan penghasilan dan pajak mereka yang berada di tangan perusahaan hanya ditangguhkan jadwal transfernya.
“Enggak akan signifikan membantu ekonomi kalau ke perusahaan saja, bukan ke karyawan,” Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap saat dihubungi reporter Tirto, Senin (9/3/2020).
Sebaliknya Manap menyarankan agar pemerintah meringankan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dari 10 persen menjadi 8 persen. Kendati demikian, opsi ini punya potential loss cukup signifikan atas penerimaan PPN Dalam Negeri (PPN DN) yang sumbangsihnya terhadap total pajak mencapai 21,7 persen.
Lantaran itulah, menurutnya, pemerintah bakal lebih memilih diskon PPh 21 yang porsinya hanya 11,2 persen dari total penerimaan pajak di tahun 2019.
Konsekuensi lainnya, penurunan PPN berpotensi meningkatkan inflasi bila saat kenaikan konsumsi yang terjadi tak diimbangi dengan ketersediaan pasokan barang yang juga terganggu karena Corona.
Peneliti fiskal Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan, pemberian insentif alternatif dari PPh 21 memang bisa dilakukan melalui PPN.
Namun, menurutnya, pemerintah bisa menggunakan skema itemized deduction ketimbang standard deduction agar dampak keringanan pajak bisa lebih dirasakan oleh karyawan.
Maksudnya, pemerintah memberi keringanan pembayaran pajak dengan memperhitungkan keberadaan biaya-biaya penting yang sering digunakan masyarakat seperti transportasi, konsumsi harian, biaya pengasuhan anak, dan lainnya.
Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, ujar Rendy, juga sudah menerapkan ini.
“Jadi disposable income atau pengeluaran yang bisa dilakukan setelah dipotong pajak bisa meningkat,” ucap Yusuf kepada reporter Tirto, Senin (9/3/2020).
Jika pun pemerintah tetap merelaksasi PPh 21 dengan menunda penarikannya, maka uang ini tetap tidak boleh dibiarkan mengendap. Menurutnya perlu skema agar uang itu digunakan untuk kebutuhan perusahaan lainnya sehingga nantinya secara tidak langsung menggerakkan kegiatan perekonomian.
Menkeu Sri Mulyani belum mau menanggapi pertanyaan terkait konsep stimulus fiskal yang ia tawarkan tersebut. Ditemui di Kantor Kemenkeu, Senin (9/3/2020), ia hanya menjawab, “Nanti saya akan beri statement sendiri buat stimulus.”
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana