tirto.id - “Bikin bentuk payung dari permen dalgona itu hampir tidak mungkin,” ucap Lim Suji saat mengisahkan pengalaman masa kecilnya di Korea Selatan. Ia kerap datang ke kios-kios penjual permen dalgona—atau ppopgi dalam bahasa Korea - yang banyak ditemui di kawasan perumahan dan pasar tradisional di Korsel pada akhir 1980an.
Biasanya kios-kios ramai dengan anak-anak Sekolah Dasar yang mencari hiburan sepulang sekolah. Setiap anak akan diberi adonan permen dan sebuah jarum. Mereka yang sukses bikin permen sesuai bentuk cetakan pada adonan, akan mendapat hadiah adonan permen gratis. Ini membuat Suji dan teman-teman sebayanya berlomba untuk bisa membuat bentuk sesempurna mungkin. Meski akhirnya gagal tiap dapat cetakan berbentuk payung.
“Ini hiburan ‘zaman susah’,” lanjut Suji yang sudah tinggal di Indonesia sekitar 15 tahun.
Seingat dia, pedagang permen dalgona muncul waktu Korea Selatan masih jadi negara miskin usai peperangan. Bila dibandingkan dengan jenis kudapan lain misalnya es krim, permen dalgona termasuk lebih mudah, murah, dan bisa dinikmati lebih banyak orang.
Suji bilang, zaman sekarang pedagang permen dalgona di Korsel sudah tidak sebanyak dan sepopuler dulu. Sampai pada Oktober lalu, serial Squid Game menyebabkan kudapan ini kembali ngetren di media sosial maupun di kehidupan nyata.
Hiburan membuat permen dalgona serta beberapa permainan yang tampil dalam serial Squid Game bikin beberapa orang Korea Selatan yang tidak lagi menetap di Seoul, bernostalgia tentang permainan tradisional di negara mereka.
Sophia, 37 tahun, sudah dua tahun tinggal di Indonesia. Saat menyaksikan serial Squid Game, pikirannya tertuju ke permainan-permainan yang ada sejak ibunya remaja.
“Dalgona, Squid Game, Munghwa flowers itu permainan-permainan di generasi ibu saya,” kata Sophia.
Ia pribadi jarang memainkan permainan-permainan yang ditampilkan dalam serial Squid Game karena beberapa diantaranya semisal squid—atau ojingeo dalam bahasa Korea—dan ddakji biasa dimainkan oleh laki-laki.
Anak-anak perempuan Korsel pada awal 1990an lebih terbiasa bermain karet dan gonggi—mirip permainan bekel namun tidak menggunakan bola dan biji bekel atau kuwuk.
Sophia bilang, permainan seperti tarik tambang pun hanya dilakukan bila ada kompetisi olahraga antar kelas di sekolah.
Walau begitu, permainan-permainan lawas yang populer gara-gara Squid Game bikin Sophia mengajarkan beberapa permainan ke putra sulungnya yang masih duduk di Taman Kanak Kanak. “Saya ajari dia main Munghwa Flowers dan ddakji.”
Pada akhir 1990an di Jakarta, ddakji dimainkan oleh anak-anak di gereja khusus jemaat asal Korea selepas sekolah minggu. Setidaknya itu yang dialami Ke Kang. Pria asal Korea Selatan yang besar di Jakarta.
Selain di gereja, permainan-permainan tradisional itu biasanya dimainkan saat ada acara olahraga di sekolah.
“Ikut kompetisi tarik tambang, Korean sumo, chicken fight, gi ma jeon. Kompetisinya tiap tahun, aku ikut terus dan sering menang. Bangga juga,” kata Ke Kang sambil senyum kecil.
Ia juga bilang kalau permainan-permainan tradisional asal Korea hanya dimainkan saat dirinya tengah ada di dalam komunitas orang Korea. Di luar itu, ia bermain permainan yang populer di Jakarta pada akhir 1990-an sampai awal 2000-an seperti Tazos, Beyblade, dan Pokemon.
“Permainan-permainan di Squid Game sebenernya biasanya dimainin sama generasi di atas aku. Aku jadi familiar sama semua permainan yang ada di Squid Game karena suka lihat drama-drama di TV,” lanjut Ke Kang.
Kehidupan Susah di Korsel
Pada akhir Agustus lalu, Reuters melaporkan bahwa warga Korsel yang banyak berhutang rata-rata berusia di bawah 30. Pinjaman dari bank biasanya digunakan untuk membayar sewa tempat tinggal, keperluan rumah tangga/pemenuhan kebutuhan hidup, dan investasi. Jumlah pinjaman yang diberikan bank terus meningkat setiap tahun sehingga memunculkan wacana bahwa pemerintah akan membatasi jumlah pinjaman ke warganya.
Ketika serial Squid Game keluar, kaum intelektual seperti Sarah A.Son, pengajar Kajian Korea di University of Sheffield beranggapan bahwa serial tersebut adalah cerminan kondisi sosial masyarakat Korea. Keterikatan dengan hutang, meningkatnya pengangguran, harga rumah melonjak tinggi, dan menajamkan berbagai ketimpangan sosial lain di kalangan masyarakat Korea.
Sophia mengatakan negara asalnya sedang mengalami krisis sosial. “Percuma belajar susah-susah, kerja keras karena kalau kita bukan datang dari keluarga kaya raya, kita tetap saja susah sukses. Standar hidup di sana tinggi sekali,” katanya dengan bahasa Inggris yang masih terbata-bata.
Sophia teringat masa-masa di mana ia masih jadi mahasiswa di Korsel. Ia merasa harus bekerja keras agar bisa kerja di perusahaan ternama. Tapi peluangnya juga tidak besar karena persaingan begitu ketat dan persyaratan yang diajukan perusahaan juga berat.
“Mahasiswa di bawah saya, tidak bisa main sepulang kuliah. Mereka juga tidak main di sela waktu kuliah karena harus belajar lebih kuat lagi dibanding zaman saya. Tuntutan sekarang lebih berat,” kata Sophia.
Sophia akhirnya bekerja sebagai personal trainer. Ia menikah dengan laki-laki seprofesi dan memutuskan untuk traveling ke berbagai negara ketimbang menetap dan mencari uang di Korsel. Mereka memilih untuk berkeliling kawasan Asia Selatan dan Tenggara kemudian memutuskan menetap di Bali.
“Kami cari tempat yang bagus untuk healing, yoga, surfing. Di Bali pemandangannya bagus. Orang-orangnya baik dan ramah,” ujar Sophia yang juga berprofesi sebagai content creator di Instagram.
Katanya, Bali tidak seperti Korsel di mana para warganya punya kecenderungan untuk berkompetisi dan membandingkan diri dengan orang lain. “Kalau aku mau fokus ke kondisi keluargaku saja.”
Suji mengingat bahwa kedua orangtuanya punya ekspektasi yang sangat tinggi terhadap dirinya terkait prestasi dalam ranah pendidikan.
“Saya sampai berpikir. Apa karena Korsel tidak punya sumber daya alam, jadi pemerintah sangat berharap pada sumber daya manusia. Maka orang harus pintar secara intelektual,” kata Suji.
Ketika muda, Suji diberi pemahaman bahwa dirinya harus jadi mahasiswi di universitas terbaik di Korea, bila tidak maka ia adalah pecundang. Pemahaman tersebut adalah pemahaman umum yang ada di sana.
“Dulu kalau sedang ada ujian masuk ke universitas, rute pesawat saja sampai diubah agar tidak melewati gedung tempat ujian. Jam kerja diubah agar jalanan tidak macet di jam dimana mahasiswa harus berangkat ujian,” kenangnya.
Menjelang lulus, biasanya para mahasiswa akan mengikuti kursus agar bisa masuk di lembaga pemerintahan. Ketika sudah bekerja, Suji bilang, “Koreans work like hell.”
“The company makes each employee compete to each other. There are company hierarchy.”
Suji memutuskan keluar dari Korsel saat jadi mahasiswa tingkat dua. Ia memilih kuliah di London demi mendapat kualitas pendidikan yang lebih baik. Di London, ia berjumpa dengan pria asal Indonesia yang kini jadi suaminya.
Sekarang Suji bekerja sebagai pengacara di firma hukum miliknya di kawasan SCBD, Jakarta Selatan. Seluruh kliennya adalah perusahaan Korsel. Ia telah menjadi warga negara Indonesia dan tidak berencana untuk kembali tinggal di Korsel.
Hal serupa terjadi pula pada Ke Kang. Ia mengaku cukup nyaman tinggal di Indonesia. “Di sini orang-orangnya lebih terbuka, bisa percaya dengan orang lain, lebih relaks.”
Bila bicara soal hidup di Korsel, yang Ke Kang pikirkan adalah individu-individu yang sulit berkomunikasi dengan orang lain dan susah menaruh rasa percaya. “Di sana banyak terjadi penipuan. Ada cerita-cerita soal orang bunuh diri di sungai setelah habis kena tipu ratusan juta.”
Ke Kang terbayang soal kesenjangan ekonomi di mana sebagian besar orang yang bukan berasal dari kelas menengah atas, hidup dari hutang-hutang. Para mahasiswa yang menurutnya meminjam dana untuk bisa kuliah dan harus melunasinya ketika sudah bekerja.
“Butuh waktu sampai 96 tahun untuk orang-orang dengan gaji standar fresh graduate agar bisa punya 1 unit apartemen di kota.”
Informasi-informasi itu membuat Ke Kang mantap tinggal di Indonesia. Kini ia berprofesi sebagai pengusaha sebuah restoran di Jakarta dan hotel sekaligus tempat wisata di kawasan Sukabumi, Jawa Barat.
Namun setelah menyaksikan Squid Game, Ke Kang berandai-andai: bila sistem lomba itu benar-benar ada, ia tertarik jadi peserta. “Walau pasti gak jadi juara.”
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Adi Renaldi