tirto.id - Badan Energi Internasional (IEA) baru-baru ini menyerukan perlunya langkah strategis mengatasi krisis energi dunia, akibat perang Rusia-Ukraina. Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) menemukan solusi untuk itu, yang sekaligus mengatasi problem sampah.
International Energy Administration (IEA) menyatakan krisis energi saat ini mirip dengan krisis minyak di tahun 1970-an, kecuali untuk satu hal: krisis global sekarang melibatkan semua bahan bakar fosil, sedangkan di tahun 1970-an hanya terbatas pada minyak.
Saat ini, ekonomi dunia memang bergantung pada berbagai jenis bahan bakar fosil yang semuanya saling terkait baik minyak, batu bara, maupun gas alam. Alhasil, dampak yang dirasakan oleh masyarakat dunia kali ini lebih kritis dibandingkan dengan 50 tahun lalu.
Situasi demikian semakin membuka mata dunia mengenai pentingnya beralih dan segera berinvestasi pada energi baru terbarukan (EBT). Sebagai negara dengan potensi EBT yang besar, Indonesia semestinya tidak ketinggalan.
Pemerintah dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali berupaya mengatasi persoalan transisi energi dari sisi pendanaan dengan meneken perjanjian kerja-sama internasional, bertajuk Just Energy Transition Partnership (JETP).
Presiden Joko Widodo mengklaim mengantongi dana hingga US$20 miliar atau Rp314 triliun (asumsi Rp15.700/US$) untuk membiayai peralihan atau penghentian penggunaan beberapa pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan menggantinya dengan EBT.
Salah satu proyek yang telah disepakati dalam skema JETP adalah program mekanisme transisi energi (Energy Transition Mechanism/ETM) yang bertujuan mempensiundinikan pembangkit listrik berbasis batu bara.
Proyek ETM akan pertama kali diuji coba pada PLTU Cirebon 1 yang berkapasitas 660 Mega Watt (MW). Bank Pembangunan Asia (ADB) selaku mitra kerja-sama memperkirakan proyek ini memakan dana US$250-US$300 juta (sekitar Rp4 triliun).
Namun sayangnya, pendanaan proyek tersebut tidak sepenuhnya berasal dari hibah, melainkan proyek investasi yang bercampur dengan utang. Hal ini menjadi dilema, khususnya bagi negara dengan utang yang terus meninggi seperti Indonesia.
Solusi Murah Berdampak Luas
Di tengah situasi demikian, Universitas Indonesia (UI) belum lama ini merilis berita bahwa tiga mahasiswa Fakultas Teknis (FTUI) berhasil menjuarai kompetisi ESG Symposium 2022 tingkat regional dengan memprakarsai teknologi panel surya gulung.
Mahasiswa tersebut yakni Afra Moedya Abadi, Tiffany Liuvinia, dan Yosep Dhimas Sinaga memprakarsai teknologi panel surya gulung berbahan plastik hasil daur ulang produk polietilen. Seperti kata pepatah: sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui.
Perguruan tinggi berbasis di Depok, Jawa Barat ini menggagas produk bernama Printable Alternative Solar Roll (PARASOL) yang tidak hanya menyerap energi terbarukan, yakni matahari, tetapi juga memanfaatkan limbah plastik sebagai bahan baku pembuatannya.
Menurut Yosep, inovasi PARASOL dilatarbelakangi dua hal. Pertama, mempertimbangkan krisis energi global yang menghantui sementara panel surya silikon di Indonesia masih terbatas. Kedua, Indonesia adalah salah satu penyumbang limbah plastik dunia.
Mengutip Bank Dunia, Indonesia menghasilkan 7,8 juta metrik ton plastik tiap tahun, dengan lebih dari separuh berakhir jadi sampah. “4,9 juta ton sampah plastik salah kelola – misalnya, tidak dikumpulkan, dibuang di tempat pembuangan terbuka atau bocor dari tempat pembuangan sampah resmi yang tidak sehat,” tulis mereka dalam laporannya.
Dari situ, sampah plastik jenis PET (Polyethylene Terephthalated) dipilih karena paling mudah ditemukan dan didaur ulang dengan biaya tidak terlalu tinggi. Argumen terkait PET tersebut dibenarkan oleh beberapa penelitian terkait daur ulang sampah plastik.
Septiariva dkk meneliti pemanfaatan limbah PET untuk pemulihan energi di area pariwisata. Mereka menemukan bahwa PET menjadi sampah plastik yang paling umum ditemukan karena diproduksi secara luas sebagai serat sintetis, wadah plastik, botol, dll.
Studi tersebut menjelaskan PET banyak digunakan karena memiliki sifat mekanik dan termal yang sangat baik. Terlebih lagi jenis plastik ini juga cukup kokoh, jernih, dan memiliki ketahanan kimia.
Penelitian yang dikembangkan oleh Amirudin dkk juga berkesimpulan serupa. PET adalah polimer yang sering digunakan untuk pengemasan produk keseharian karena keunggulannya dalam hal daya tahan, transparansi, dan sifat penghalang gas.
Sekitar 583 miliar botol plastik diproduksi tahun lalu, di mana 62% di antaranya terbuat dari PET. Akan tetapi, sampah PET sulit terdegradasi secara alami, dan justru melepaskan racun ke tanah dan air, serta emisi berbahaya bagi manusia dan keanekaragaman hayati.
Oleh karena itu, limbah PET harus didaur ulang untuk penggunaan kembali. Selain itu, banyak studi yang membuktikan bahwa limbah botol PET adalah salah satu sumber paling menjanjikan untuk konsep waste-to-treasure.
Optimalkan Potensi Tenaga Surya
Mempertimbangkan gagasan teknologi PARASOL, pemerintah perlu melirik untuk investasi mengembangkan solusi tersebut. Terlebih lagi, ide ini diusung oleh anak bangsa dengan ongkos rendah (dari limbah plastik) dan sumber EBT yang melimpah yakni tenaga surya.
Harap dicatat, dari 3.686 Giga Watt (GW) potensi EBT yang dicatat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hampir 95% atau sebesar 3.295 GW berasal dari energi surya. Sisanya dari air, biomassa, angin, panas bumi dan arus laut.
Sejauh ini hanya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang produktivitasnya tembus 95%, sementara produktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berturut-turut di kisaran 60-65% dan 17-20%.
Persoalan muncul karena PLTP yang digadang-gadang justru memiliki kelemahan, yakni anggaran investasi yang besar, di mana pengeboran 1 sumur eksplorasi dapat memakan biaya hingga US$6 juta-US$7 juta, atau ratusan miliar rupiah.
Belum lagi soal izin pembukaan hutan dan pembangunan akses jalan mengingat sumber panas bumi umumnya berada di gunung atau di tengah hutan lindung. Di tengah situasi pelik tersebut, panel surya berbasis sampah plastik menjadi solusi yang ideal.
PARASOL yang mereka temukan juga memiliki efektivitas menyerap sinar matahari dan dapat bekerja pada kondisi minim cahaya matahari. Produk tersebut disinyalir memiliki daya saing tinggi dengan panel surya silikon berbahan plastik PET.
“Inovasi panel surya alternatif ini kami rancang dalam bentuk plastik rol yang praktis, fleksibel, dan semi transparan. PARASOL memanfaatkan prinsip perovskite solar cell (PSC) dengan nilai efisiensi yang mampu bersaing dengan panel surya konvensional,” ujar Yosep.
PSC adalah sel surya generasi baru yang mulai banyak dikembangkan. Di buku Energy Materials Fundamentals to Applications (2021), disebutkan bahwa PSC lebih hemat, sangat efisien, dan dapat diterapkan di masa mendatang dalam skala Tera Watt (TW).
“PARASOL mampu menghasilkan efisiensi konversi listrik 15-20%, masa pakai sekitar 20 tahun, dan temperatur kerja maksimum lebih dari 100℃. Hal ini membuktikan PARASOL memiliki performa yang mampu bersaing dengan panel surya silikon. Saat ini tim tengah mengembangkan prototipe PARASOL dengan tujuan komersialisasi,” ungkap Dekan FTUI Heri Hermansyah.
Di tengah program transisi energi nasional, ada baiknya pemerintah melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) fokus mendukung pendanaan untuk penelitian-penelitian seperti PARASOL, dan tak hanya mendanai renovasi kantor saja.
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono