Menuju konten utama

Solidaritas Sosial dalam Berpuasa bagi Wamenlu A.M. Fachir

Bagi Fachir, berpuasa memiliki tiga makna utama: cara mengendalikan diri, evaluasi, dan membangun empati.

Solidaritas Sosial dalam Berpuasa bagi Wamenlu A.M. Fachir
A.M Fachir. tirto.id/Sabit

tirto.id - Bulan suci Ramadan selalu menciptakan kesan mendalam di hati sebagian orang. Kenangan-kenangan dari masa silam, seperti saat kali pertama belajar berpuasa, menjadi rasa haru yang sukar hilang dari ingatan. “Saya mulai berpuasa sejak umur lima tahun,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Abdurrahman Mohammad Fachir kepada Tirto, Jumat pekan lalu.

Fachir dilantik sebagai Wakil Menteri Luar Negeri oleh Presiden Joko Widodo pada 27 Oktober 2014. Ia lahir di Banjarmasin, 26 November 1957, dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang religius.

Orangtua memiliki andil besar dalam menanamkan kesadaran berpuasa pada dirinya. Fachir mengatakan, ayahnya adalah pengurus langgar (musala) yang giat mengikuti acara-acara sosial keagamaan. Fachir selalu senang ketika ayahnya memberi kesempatan mengumandangkan azan atau memukul bedug. Ia merasa ikut menjadi bagian bagi orang lain menjalankan kebaikan.

“Orangtua menjadi idola saya. Mereka yang membentuk saya berpuasa dengan cara memberi contoh,” katanya.

Mantan Duta Besar Indonesia di Mesir dan Arab Saudi ini menuturkan kenangan berpuasa di masa kecil memanglah sukar dilupakan. Meski belum mengerti benar mengenai makna moral berpuasa bagi kehidupan, Fachir kerap gembira bila Ramadan tiba. Dalam diri kanak-kanaknya ada perasaan bangga saat bisa berpuasa penuh seperti orang dewasa.

Fachir paling senang saat-saat menjelang sahur. Ia bersama teman-temannya biasa keliling kampung membangunkan warga. Seperti kebanyakan anak lain di Indonesia, ia senang berteriak dan membunyikan apa saja untuk mengajak orang sahur. Biasanya kegiatan ini dilakukan satu jam sebelum waktu imsak.

“Itu kegirangan yang sudah menjadi rutin. Hiburan tersendiri buat kami,” kenangnya.

Zaman terus berkembang. Teknologi semakin maju. Apa yang dilakukan Fachir kecil dan menjadi kebiasaan di masa Ramadan dulu mungkin saja sudah mulai banyak ditinggalkan. “Padahal," katanya, "membangunkan orang sahur bersama-sama itu bisa menjadi modal perekat sosial."

Momen berbuka puasa juga menjadi saat paling dinanti Fachir. Saat itulah seluruh anggota keluarga berkumpul dan menikmati hidangan yang dimasak sang ibunda. Menu favoritnya saat berbuka adalah ikan gabus atau ikan sepat yang diasinkan dengan nasi panas bercampur mentega. Rasanya? “nikmat sekali,” kenang Fachir.

Fachir mengingat masa-masa remajanya pada tahun 1970-an. Ia berkata bahwa perkembangan teknologi, bagaimanapun, ikut andil mengubah gaya hidup.

Jauh sebelum media sosial hadir, misalnya, Fachir mengatakan pergaulan seseorang umumnya hanya dibatasi pada lingkungan tempat tinggal dan sekolah. Sekarang orang bisa bergaul dan bahkan membentuk komunitas dengan siapa saja berdasarkan hobi dan minat, salah satunya berkat media sosial.

Meski ada sisi positifnya, tetapi media sosial juga berdampak menjauhkan orang-orang terdekat di lingkungan sendiri.

“Dahulu kita tahu persis orang-orang di setiap rumah per rumah," ujar Fachir, kini berusia 59 tahun. "Rasa kekeluargaan dan kekerabatan sangat kental. Sekarang sangat berbeda. Lebih rumit."

Infografik AM Fachir

Makna berpuasa

Bagi Fachir, berpuasa memiliki tiga makna utama. Pertama, sebagai cara mengendalikan diri.

Fachir menjelaskan, dalam diri seseorang, selalu ada sifat serakah dari apa yang telah kita miliki dan kita butuhkan. “Puasa itu instrumen yang disediakan Allah untuk mengendalikan diri dan nafsu kita,” ujarnya.

Kedua, puasa berarti evaluasi. Puasa seyogyanya bisa melatih kesadaran berefleksi diri, kata Fachir. Apa-apa saja kesalahan yang mesti diperbaiki dan apa-apa saja kebaikan yang mesti ditingkatkan.

Ketiga, puasa mesti bisa membangun empati. Orang yang berpuasa bisa merasakan lapar dan haus, sebagaimana orang-orang papa. Dari situasi ini tumbuh rasa empati untuk membantu sesama.

“Dengan puasa yang sungguh-sungguh," ujarnya, "diharapkan solidaritas sosial bisa muncul.”

Baca juga artikel terkait RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Humaniora
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Fahri Salam