tirto.id - Perdana menteri Australia Scott Morrison mengecam langkah Indonesia untuk memberikan Abu Bakar Bashir, pada Selasa (22/1/2019).
"Saya jelas sangat kecewa tentang hal itu - seperti orang Australia lainnya ....," kata Morrison kepada sebuah stasiun radio di Cairns, dikutip dari SCMP.
"Kami tidak ingin orang seperti ini bebas dan menghasut untuk melakukan pembunuhan orang Australia dan Indonesia serta menyampaikan doktrin kebencian," tambah Morrison.
Morisson mendesak Indonesia agar membiarkan Ba’asyir tetap menjalani hukuman seperti yang telah ditetapkan oleh sistem peradilan Indonesia.
Sebagaimana dilaporkan SBS News, Senin (21/1/2019), Morisson dan anggota lain dari pemerintah federal telah berbicara dengan otoritas Indonesia tentang kemungkinan pembebasan Abu Bakar Ba’asyir dari penjara.
"Orang Australia meninggal secara mengerikan pada malam itu, dan saya pikir orang Australia di mana-mana akan berharap masalah ini ditangani dengan sangat serius," kata Morisson.
Ba'asyir pernah dijatuhi hukuman selama 2,6 tahun penjara terkait Bom Bali 2002 yang menewaskan 88 warga Australia.
"Posisi Australia tentang masalah ini tidak berubah, kami selalu menyatakan keberatan yang paling dalam," kata Morrison kepada wartawan Reuters di Melbourne.
Terpidana kasus terorisme itu bakal dibebaskan atas dasar pertimbangan kemanusiaan menurut Presiden Joko Widodo.
Pria yang akrab disapa Jokowi itu mengatakan, pembebasan Ba'asyir melalui pertimbangan yang panjang, termasuk kondisi kesehatannya.
"Ya yang pertama memang alasan kemanusiaan. Sepertinya beliau, kan, sudah sepuh, ya pertimbangannya kemanusiaan," kata Jokowi usai meninjau Rusun Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah di Desa Nglampangsari, Garut, seperti dikutip Antara.
Oleh sebagian orang, langkah Presiden Joko Widodo untuk membebaskan pria berusia 81 tahun itu dilihat sebagai upaya untuk menarik pemilihan Muslim menjelang Pemilu Indonesia pada 2019.
Indonesia dan Australia memiliki kemitraan kontra-terorisme yang sangat baik. Serangan Bali mendorong Indonesia untuk membentuk pasukan anti-terorisme Detasemen 88. Densus tersebut menerima dana dan pelatihan dari Australia dan Amerika Serikat.
Editor: Agung DH